Senin, 27 Desember 2010

FIKSI

Ketika aku membahas perasaan dalam posting-posting terdahulu, pada mulanya aku berfikir orang-orang akan memahami kejujuranku namun pemikiran semacam itu ternyata terlalu naif. Obsesiku pada perasaan dianggap sentimentil. Walaupun setidaknya aku merasa lebih baik setelah menuliskannya, dan berulang kali aku meyakinkan diriku bahwa hal itu sudah cukup, dunia berubah menjadi asing dan dingin. Aku berusaha terlalu keras meyakinkan pembacaku bahwa perasaan adalah hal yang signifikan, malahan lebih terdengar konyol, sensitif, dan menyedihkan. Oleh karenanya aku ingin meringkuk di sebuah gua sempit yang hangat di suatu sudut antah berantah dalam benakku, menciptakan duniaku sendiri, mungkin para pembaca akan menganggapku lari dari realitas, walaupun aku meragukan apa kita tahu apa sesungguhnya realitas itu. Kenyataan bahwa aku menganggap perasan adalah realitas paling nyata bagiku membuatku berfikir itu adalah suatu mekanisme pertahanan diri. Dan kenyataan bahwa aku menganggap hal itu sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, aku hanya merasa geli mendapati diriku tak henti-hentinya berfikir dan merasa, bahwa melakukan kedua hal itu paling tidak membuatku merasa masih hidup.

Aku mulai dengan menumbuhkan sepasang sayap kokoh dari punggungku yang terkadang berjerawat, menembus kemeja kotak-kotakku. Namun kamu hanya menatap ke dalam mataku, jauh hingga ke relung hati, menimbang-nimbang perasaanku yang bergejolak. Sepasang tangan indahmu melingkar di leherku yang ketika itu terasa kaku. Kamu tidak menyadari bahwa aku mengepakkan sayapku dan kita berdua terbang perlahan. Aku tak perlu lagi mengungkapkan rasa cintaku, sedalam samudra atau seluas semesta, karena akan terdengar aneh dan basi. Kita melewati genteng rumahmu, kabel-kabel listrik yang berantakan, pohon kelapa yang jadi terlihat pendek, membumbung tinggi. Kamu masih saja membaca mataku, seperti menyusuri jalan setapak menuju suatu lembah dengan air terjun yang berderu. Hatiku bergemuruh. Aku melihat cahaya silau di belakangmu dan aku terpaku. Kita sempat berhenti, mengambang di udara seperti balon yang tersesat lalu kamu goyah, tersadar bahwa kita telah sampai di ketinggian dimana rumah dan gedung jadi semacam miniatur. Kamu ketakutan dan langsung memelukku hingga aku bisa merasakan detak jantungmu di dadaku. Lalu kilatan perasaan menjalar ke seluruh penjuru nadiku, aku mengepakkan sayapku sekali kemudian kita terbang lagi. Matamu terpejam. Aku membawamu pada segumpal awan paling dekat, berwarna putih keabuan. Lalu kita melompat-lompat seperti anak kecil hingga kelelahan. Ketika senja merayap di kejauhan dimana langit berubah oranye kamu terdiam dan jadi sendu. Kamu bercerita sebenarnya pada mulanya kamu tidak menyukaiku bahwa ada lelaki lain di hatimu namun sudah beristri, dan kamu bertanya-tanya mengapa setiap lelaki yang membuat jantungmu berdetak kencang selalu saja sudah beristri. Pada mulanya kamu muak dengan kepolosanku. Namun aku terlalu menyedihkan bahkan untuk kamu abaikan. Bahwa sepasang sayapku yang mengembang saat itu terlihat terlalu besar, tidak seimbang dengan ukuran tubuhku yang kecil. Bahwa aku terlihat ganjil. Dan perlahan kamu  hanya berusaha mencintaiku. Aku membeku mendengar semua ucapanmu, tiba-tiba merasa kedinginan sendiri seiring malam yang menyergap. Ketika bintang pertama muncul aku jadi merasa jauh darimu lalu ketika bulan mencapai penampakan paling sempurnanya, kamu bilang bahwa saat itu kamu meragukan perasaanmu terhadapku, bahwa kamu tidak bisa membayangkan seandainya kita berdua hidup berdua di bulan itu--gambaran yang seharusnya romantis jika kamu bersama orang yang paling kamu cintai. Jujur saja ucapan itu lebih terdengar konyol  di zaman dimana orang telah berhasil mendarat di bulan dan membuktikan bahwa di tempat itu  tidak terdapat kehidupan. Mulanya hanya mati rasa namun perlahan amarah menyelimutiku. Seiring amarah yang membuatku menyala aku bergegas menujumu. Entah bagaimana kamu jadi bersinar di mataku seperti bintang-bintang di langit malam itu dan membuatku bernafsu. Di malam sunyi itu, di atas segumpal awan yang berarak pelan itu kita bercinta.

Aku masih tertidur karena kelelahan, tidak terusik sedikitpun ketika kamu beranjak dariku, perlahan, menuju tepian awan. Aku terbangun sendirian, meradang mendapatmu tidak lagi di sisiku. Aku kepakkan kedua sayapku, malahan merasa lelah sekali, bahkan untuk sekedar marah, tanpa sengaja melihat ke arah tepian awan yang sama dengan tempat dimana sebelumnya kamu merentangkan kedua tangan indahmu untuk kemudian menjatuhkan diri. Ketika cahaya fajar pertama meretakkan kepingan malam kelam itu, aku hanya merasa kedinginan dan tak berdaya. Seiring cahayanya yang berwarna merah merekah aku jadi membayangkan darah. Ada sesuatu yang membuat kesakitan di ulu hatiku. Tiba-tiba dengan perlahan sayapku berguguran satu per satu.

Minggu, 12 Desember 2010

The Social Network

Seiring waktu bergulir semakin aku menyadari bahwa kebutuhanku untuk menulis sebuah posting di blog ini adalah caraku menunjukan diri di hadapan dunia. Seperti seseorang yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk kekasihnya agar kekasihnya tahu bahwa dia ada. Setelah aku membaca respon di posting-posting terdahulu dimana tidak semua komentar sesuai dengan apa yang aku harapkan, aku juga menyadari bahwa blog ini semacam jurnal psikologis dan filosofis dimana setelah untuk kesekian kalinya aku membaca ulang, aku akan semakin berkembang. Ketika seseorang menasehatiku tentang bagaimana seharusnya aku menjalani hidupku, bersikap, bahkan untuk sekedar merasa, pada mulanya aku terbakar amarah, bertanya-tanya mengapa mereka harus mengucapkan hal-hal semacam itu, mengabaikan perasaanku, menjadi guru kehidupanku tanpa kuminta, aku mulai mengembangkan rasa benci, namun semakin lama hal itu membuatku merana, lalu aku berusaha keras untuk menemukan resolusi untuk semua ini.

Lalu aku juga terjaga pada kemungkinan bahwa aku menulis posting ini untuk menunjukan bahwa aku cukup bijaksana, bahwa beginilah caraku menangani hidupku dan aku baik-baik saja. Semacam pembelaan diri untuk tuduhan-tuduhan yang bahkan kusangkakan sendiri. 

Lama-kelamaan aku menjadi psikolog sekaligus filosof konyol. Ketika seseorang memberiku informasi tentang kadar nutrisi suatu makanan, efek buruk suatu hal, atau bahwa seharusnya aku melakukan sesuatu, aku mulai beranalisis; apa motivasi mereka, apakah mereka pamer, apa mereka sungguh-sungguh peduli, mengapa mereka begitu mengusik. Tuhan, apa aku termasuk si anti sosial itu? Apa hanya aku yang terusik oleh pendapat orang lain? Lalu ketika aku mulai mengurai semua hal itu dengan menulis posting ini, aku mulai takut terjangkiti penyakit kegilaan. Ha...ha...ha

Aku tergoda untuk menutup jurnal ini dengan sebuah kesimpulan; bahwa ini hanyalah sebuah cara bersosialisasi. Seperti terkadang kita tergoda untuk mengirim permintaan pertemanan kepada seseorang asing dalam facebook karena dia teman dari teman kita, lalu kita terhubung begitu saja, karena begitulah cara dunia bekerja. Mengapa harus selalu mempertimbangkan motivasi atau perasaan, apakah kehidupan sedingin itu? Apa salahnya sebuah benturan, absurditas, atau suasana kikuk? Aku tidak ingin menyimpulkan sesuatu kali ini karena itu membosankan, karena ini bukan suatu karya ilmiah. Aku hanya ingin bersulang, merayakan intervensi orang lain dalam kehidupan kita, konflik, bahkan kegilaan yang mulai menjangkiti pikiranku. Untuk kali pertama aku ingin diserang, lewat posting ini, karena aku takut kesepian.


Selasa, 30 November 2010

Mempelajari Perempuan

Aku tidak tidur pada sabtu malam, bukan karena memikirkan cinta, atau insomnia, aku menonton serial korea. Sehingga pada keesokan harinya aku bisa sholat subuh di masjid. Aku mengenakan sweater-ku menyambut hawa dingin di luar, berjalan di atas rerumputan yang berembun, dan tertatih menyembahMu. Aku bertanya-tanya apa aku sungguh-sungguh tulus dengan semua ritual itu. 

Sejak SMA aku mulai membatasi doaku sehabis sholat, aku tidak ingin terdengar berlebihan di hadapanMu namun fajar itu aku berdoa secara khusus untuk ibu karena hari itu ulang tahunnya. Setelah sholat aku menelpon ibu untuk mengucapkan selamat. Aku sempat merasa malu menelpon di jam sedini itu, apalagi dengan perbedaan waktu Ruteng-Salatiga dimana tempatku  satu jam lebih cepat. Pada kenyataannya ibu belum bangun tidur, dan hal itu membuatku makin merasa tidak enak. Walaupun dia menjawab tidak apa apa atas pertanyaan masih-tidurkah-ku, malahan mengeluhkan diri sendiri mengapa akhir-akhir ini dia malas bangun untuk sholat tahajud, dia bingung merespon ucapan selamatku, seolah-olah aku lelaki yang ditaksirnya yang baru saja mengucapkan kalimat-kalimat cinta. Dia berterima kasih padaku lalu bercerita bahwa dia sedang flu padahal sehari sebelumnya dia ikut acara bekam massal. Aku bersimpati pada flu yang menyerang di hari ulang tahunnya. Ibu semakin tua dan aku jadi takut kehilangan dia. Aku jadi terkenang masa-masa sehabis subuh-ku di rumah dimana ibu sering memaksaku menonton acara siraman rohani di televisi. Sebelum aku duduk di bangku kuliah acara semacam itu jadi acara yang wajib ditonton. Ibu menontonnya sambil memotong sayuran atau bumbu-bumbu yang akan dimasak untuk menu sarapan.

Karena hari itu hari Minggu jadi sah-sah saja aku lalu tidur seharian. Aku sudah mencuci baju pada hari Sabtu, mengucapkan selamat ulang tahun untuk ibu di awal hari, tak ada alasan lagi untuk tidak tidur nyenyak. Aku tidur hingga melewatkan telepon kakak perempuanku.

***

Aku baru menelpon kakak pada keesokan harinya. Dia bertanya apa aku sudah memberi ibu ucapan selamat ulang tahun kemarin. Apa aku tahu kalau ibu terserang flu. Sekarang kakak sedang asyik mengurus bayinya. Dia sering menceritakan perkembangan anaknya yang baru berusia beberapa bulan, bahwa sekarang keponakanku sudah bisa miring, semakin sering memasukkan jemarinya ke mulut, atau kulitnya kemerahan karena biang keringat. Aku mendengarkan semuanya dengan antusiasme seorang ayah, bahwa aku membayangkan betapa luar biasanya perasaan itu. Di telepon dia sering mengajak ngobrol anaknya bahwa Om sedang menelpon sekarang. Lalu aku akan mendengar suara keponakanku yang menggumam tidak jelas dan hal itu membuatku tertawa.

Ibu dan kakak perempuanku adalah dua wanita yang paling dekat denganku. Dari mereka aku belajar bagaimana cara memperlakukan seorang wanita. Bagaimana mereka bisa terluka atau jadi sangat peyayang. Minimnya pengalamanku dengan seorang wanita sering jadi bahan olokan teman satu kontrakan. Bahwa aku terlalu bodoh menyia-nyiakan masa mudaku dengan pasif dalam memburu wanita. Ada seorang teman yang bercerita bahwa dia tak pernah mandeg dalam mendapatkan pasangan, bahwa jeda paling singkatnya sebagai jomblo tidak kurang dari satu bulan. Teman yang lain menunjukkan foto bersama sang mantan dan aku mengancamnya akan melaporkan hal itu pada pacarnya sekarang. Yang lain lagi memaparkan teori psikologi mereka tentang perempuan; romantisme, perhatian, atau sensitivitas. Bahwa mereka hanya menunjukkan prestasi mereka sebagai seorang lelaki, bahwa mereka memiliki masa muda yang penuh warna, kenyataan itu membuatku merasa rendah diri. Kemudian aku akan terus menjalani hari demi hari sepiku, merindukan cinta, aku akan belajar tentang wanita dari serial korea yang kutonton hingga bergadang, teman-teman satu kontrakan yang hobi mengolok-olokku, bahkan jika akhirnya aku menemukan seorang wanita yang lebih bawel dari ibuku, lebih cerewet dari kakak perempuanku, aku akan menahan rasa frustasiku, sepanjang aku sungguh-sungguh cinta.




Rabu, 17 November 2010

Kurban Perasaan

Lebaran kurban tahun keduaku di Ruteng, kali ini aku tidak datang paling akhir ke masjid untuk sholat, tidak lagi sholat di jalan raya luar masjid yang telah ditutup, namun di halaman masjidnya yang sekaligus merupakan lapangan voli. Kambing-kambing diikat pada pepohonan di halaman rumput. Anak-anak mengelilingi mereka, mempermainkan tanduk salah seekor kambing jantan yang jinak, merasa bangga dan  terlihat bodoh. Aku tak akan melakukan hal semacam itu bahkan di masa kanak-kanak paling nakalku. Ada seorang gadis kecil berkerudung yang melakukan hal yang sama pada kambing yang lain. Sialnya tidak semua kambing bersahabat seperti dalam dongeng dunia taman kanak-kanak, kambing itu memberontak dan membuat gadis itu menangis. Kasihan sekali, walaupun aku lebih merasa itu lucu, aku berharap semoga gadis itu tidak mengalami trauma jangka panjang.

Tahun ini aku tidak ikut berkurban. Tabunganku tipis. Tapi alasan utama yang menjadi pembelaanku, yang kuutarakan di hadapan ibu lewat telpon tadi subuh adalah aku mengalokasikan uang kurbanku untuk donasi bencana yang sedang melanda negeri ini. Entah apa itu alasan yang masuk akal atau tidak, ibu hanya berkata tidak jadi soal. Dia bercerita beberapa hari yang lalu dia menjadi relawan di Magelang untuk korban bencana letusan gunung. Dari tunjangan kerjanya pun sudah dipotong untuk donasi semacam itu. Di perkumpulan para guru ada juga bentuk donasi yang serupa. Dia melakukan semua hal itu dan tetap berkurban. Aku hanya merasa iri saat dia menceritakan semua hal itu dan sedikit merasa bersalah. Diam-diam aku mengagumi ibuku sendiri yang walaupun aku membenci cara berfikirnya yang kolot dan cenderung konservatif, dia melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh nyata dan berguna. Sedangkan aku di sini hanya menghitung tabunganku apa akan cukup untuk aku membangun rumah dan menikah, merasa mematikan lampu sudah akan membantu dunia, seperti halnya menghemat air ataupun kertas di kantorku.

Hari ini aku hanya main PES 2011, bukannya membantu memotong daging kurban di masjid, kalah berkali-kali dan menjadi bahan olokan. Rambutku dipotong salah seorang teman kontrakanku dengan gaya alay--gaya yang tak pernah kupakai hampir selama 22 tahun hidupku dimana aku biasa rapi dan membosankan. Lalu tanpa keramas, menjalani sisa hari dengan kealayan. Tidur sampai sore lalu terbangun dan merasa tak berguna. Setelah itu mencuci motor dan pergi ke toko swalayan sendirian dengan rambut alay itu, memilih sepatu kerja seorang diri, dan membelinya tanpa pikir panjang. Lalu memborong makanan ringan yang membuatku merasa bersalah telah menghamburkan uang. Di kontrakan, teman-teman memasak daging sapi yang dibagikan mesjid menjadi dua macam masakan; gulai dan oseng kacang panjang. Melihat bagaimana mereka menangani daging sapi mentah itu menjadi sedemikian rupa, membuatku kembali merasa inkompeten. Aku hanya makan makanan ringanku di kamar lalu memikirkan cinta yang tak kunjung datang, atau bagaimana untuk kesekian kalinya aku melewatkan cinta, aku merasa pipiku semakin cabi dan hal itu membuatku ketakutan setengah mati. Aku hanya bisa menyimpulkan hari itu, walaupun aku tidak ikut berkurban kambing seperti ibuku, aku sudah berkurban hati dan perasaanku habis-habisan.

Rabu, 10 November 2010

Doa Cepet Jodoh

Dengan sepeda motor kotorku, dari kantor aku meluncur ke sebuah ATM, seharusnya aku mencuci motor itu dari dulu. Langit telah gelap, Maghrib lewat, aku merasa bersalah sendiri belum sholat. Berhati-hati melihat sekitar, Ruteng malam hari adalah keremangan yang membawaku pada kesendirian. Di pinggir jalan masih saja dijual bensin dalam botol-botol air mineral. Aku jadi teringat tangki bensin motorku yang hampir kosong. ATM menyambutku dengan suara mesinnya yang telah diprogram, hal semacam itu sedikit menghiburku. Lampu dalam ruangan ATM itu redup sekali, ketika melihat layar handphone untuk melihat nomor rekening dimana aku akan mentransfer uangku, aku merasa kesulitan. Aku mulai terbiasa belanja online sekarang--sesuatu yang tak terbayangkan bahwa hidup jadi lebih mudah sekarang namun aku jadi kelebihan waktu dan hal itu jadi membuatku lebih sering mengingatmu. ATM itu dalam komplek sebuah bank, meninggalkan komplek bank itu aku jadi teringat pegawai-pegawai bank yang biasanya cantik. Aku memikirkan bagaimana seandainya aku jatuh cinta pada mereka.

Cahaya lampu motorku berwarna oranye, aku merasa cahaya itu tidak terlalu membantu. Aku pelan-pelan menyusuri jalanan Ruteng dan jadi berfikir bahwa jauh  dalam hati aku cukup konservatif dalam menjalani hidup; memimpikan menikah, memiliki anak, menabung, dan  tak terpikir untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Aku melihat lampu papan reklame yang benderang. Lampu-lampu berbentuk huruf yang merupakan nama sebuah toko. Melintasi warung makan yang menyajikan masakan mereka di balik kaca sehingga kita bisa melihat ikan-ikan yang terpejam, telur-telur yang ditumpuk, atau mi goreng yang menggunung. Hampir lupa, akhirnya aku membeli bensin eceran dari seorang pemuda yang tak bisa kulihat dengan jelas wajahnya karena gelap. Sampai di kontrakan aku hanya merasa lega, tersebersit dalam pikiranku untuk berlari sekuatnya ke arah patung Yesus atau siapalah itu yang mengarahkan telunjuknya ke arah bandara. Aku hanya sedang romantis, berlari sekuatnya menujumu. Melintasi kantor-kantor daerah yang tutup, lapangan kosong tempat dimana pernah disinggahi rombongan pasar malam yang dipenuhi anak-anak, dan lapangan yang lebih sempit tempat kami bermain bola di sore hari. Akhir-akhir ini aku merindukanmu. Aku berharap kamu menyambutku, menyelamatkanku dari kesendirianku yang beku. Dengan sabar mengajariku bahwa cinta itu adalah hal yang benar-benar eksis, bukan hanya romantisme semu. Aku merindukanmu dan gemetaran dalam naungan langit Ruteng yang kelam malam itu.

Di kontrakan aku segera menunaikan sholat Maghrib dan mengaji. Sudah lama sekali aku tidak mengaji. Aku berdoa semoga kita cepat bertemu. Ketika adzan Isya' berkumandang aku memutuskan untuk sholat di masjid, sudah jarang sekali aku sholat bersama di masjid, aku merasa akhir-akhir ini jadi kurang religius. Melihat gapura masjid, menyusuri rerumputan basah di halamannya, dan pada akhirnya memasuki ruangan masjidnya yang megah, mendengar ayat-ayat Tuhan dilafalkan, aku jadi agak terhibur. Ternyata aku masih punya Tuhan yang menghiburku. Sehabis sholat aku akan berdoa lagi pada Dia agar kita cepat bertemu.




Minggu, 07 November 2010

Melankolis Romantis

Seandainya aku punya kisah untuk diceritakan, aku akan menceritakannya kepadamu. Kamu akan menatap wajahku yang malu. Terpesona dengan ceritaku dan menganggapku lucu atau menarik. Seandainya aku menjadi semua yang kamu impikan dari seorang lelaki. Aku akan menikahimu.

Namun satu-satunya cerita yang kumiliki hanyalah cerita kesenduan. Aku tak ubahnya seekor anak kucing yang terlantar. 

Aku akan berusaha meyakinkanmu bahwa aku lelaki yang baik, setia, dan pekerja keras. Namun aku takut kamu berfikir bahwa aku membosankan. Bahwa hidupmu akan jadi tidak menarik jika kelak menjadi istriku. Lalu aku akan merasa kedinginan lagi.

Aku bertanya-tanya harus berapa lamakah, memutari jalan sejauh apakah, menyingkirkan rintangan seberapa banyakkah untuk sampai ke tempatmu? Berdiam di hatimu yang cantik? Aku lewati malam-malam yang panjang dan dingin. Hari-hari kerja yang hampa dan datar. Aku menderita karenamu.

Kamu menghancurkanku. Kamu membuatku sekarat.

Kenapa kita tak bisa langsung saja bertemu, langsung saja jatuh cinta pada pandangan pertama, langsung saja meyakini satu sama lain bahwa kita akan menghabiskan sisa hidup kita bersama? Kenapa harus serumit ini?

Cinta, aku tahu aku tak bisa menyerah, bahwa perjuangan untuk mendapatkanmu mungkin berliku dan tak mudah, bahwa aku akan melewatkan bahkan seribu tahun lagi, namun untuk sesuatu yang sangat berharga dan indah, untuk sesuatu yang membuat hidupku pantas untuk dijalani, aku akan lebih banyak belajar lagi, berusaha lagi, bersabar lagi, berdoa lagi.....

Senin, 01 November 2010

Menulis Kesenduan

Ada saat-saat dimana aku berfikir dan bertanya kepada diriku sediri mengapa aku terus-menerus menulis seperti ini. Aku selalu berusaha menggambarkan suasana sendu seolah-olah langit selalu kelabu. Seolah-olah hal semacam itu menarik untuk dituliskan lalu terkadang menulis tentang cinta dengan romantisme murahan. Tentu pembaca--yang merupakan lingkaran teman facebookku--punya penafsirannya sendiri; aku cowok kesepian, menyedihkan, atau hanya menunjukkan bakat menulisnya yang payah. Prasangka itulah yang menghantui pikiranku. Terkadang aku ingin menyingkirkan prasangka itu dan mengesampingkan kecemasan akan motivasi diri yang kurang tulus maupun penilaian-penilaian miring yang membuatku menulis dalam keraguan. Aku seperti pelukis yang tertatih menyapu kuasnya di atas selembar kanvas terbuka.

Kesenduan yang kurasakan dalam hawa dingin di Ruteng ini atau dalam masakan yang kumakan sehari-hari, di tempat dimana aku tidur, di dinding-dinding bisu rumah-rumah, atau di dalam bangunan masjid yang lengang muncul bukan karena ada yang salah dengan kota ini. Tentu saja hal semacam itu tumbuh dari dalam diri. Bahwa aku kurang optimis dalam memandang hidup. Bahwa ada gambaran yang lebih sempurna dalam benakku. Aku sedang bergelut dengan idealismeku sendiri.

Cinta dan kapitalisme adalah tema besarku. Aku hanya ikan kecil yang terseret arus.

Kesenduan yang menarik perhatianku mungkin salah satunya berasal dari kesendirian. Aku berfikir jikalau aku telah beristri dan memiliki beberapa anak mungkin aku akan lebih bersemangat dalam menjalani hidup; bekerja lebih keras dan merencanakan keuangan dan sebagainya. Satu hal lagi sumber kesenduanku mungkin berasal dari kemiskinan daerah tempat aku bekerja. Di masa aku menulis hal ini provinsi Nusa Tenggara Timur cukup terkenal dengan kasus gizi buruk dan tingkat kelulusan yang mengenaskan. Walaupun aku tahu bahwa warga di sini bisa hidup bahagia dengan keadaan mereka, masih bisa saling mencintai dan bercanda, namun citra ketidakadilan yang selalu digemborkan media dengan cara dramatis bagaimanapun juga mengusikku. Aku hanya terusik kemudian merasa sendu kemudian menuliskan hal itu dalam sebuah blog. Sendu sendiri dengan perasaan tak berdaya.

Aku akan menikmati kopi pagiku. Tersenyum kepada orang-orang yang datang ke kantor pajak tempat aku bekerja. Aku akan menjalani hariku. Berhemat untuk masa depanku. Tidur dengan mimpi-mimpi indah. Kesenduan pada akhirnya mengajarkanku tentang optimisme. Cahaya yang terang benderang. Angin segar yang menerpa wajah mengantukku.

Pertanyaan mendasar yang seharusnya diajukan bukannya mengapa aku menulis tentang kesenduan namun mengapa aku masih saja keras kepala untuk menulis seolah-olah tulisanku ini akan dibaca jutaan orang. Satu hal yang kusadari seiring bertambahnya usia adalah aku ingin sekali menjadi seorang penulis dan berusaha mewujudkan hal itu walaupun aku akan menyesal di masa tuaku nanti karena mendapati diri ternyata aku gagal, paling tidak dengan terus menulis seperti ini, walaupun hanya dibaca oleh lingkaran teman facebookku, aku telah berusaha menerangi ruang gelap kesenduan dalam hatiku. 

Kamis, 21 Oktober 2010

KISS ME!

Tiba-tiba aku menjadi sosok ini; kurang percaya diri, kikuk, berhidung besar, dengan kaca mata bodohnya, duduk seharian di bagian depan suatu kantor pajak di suatu kota yang berteman dengan kabut dan hujan, memberikan senyuman formal kepada orang-orang, menerima laporan pajak mereka, merekamnya dengan komputer, mencetak tanda terima, membubuhkan tanda tangan, dan stempel. Aku jadi ingin distempel di jidatku: KISS ME! Kemudian pada sore harinya pulang ke kontrakan tercinta dan mulai mengetikkan kalimat-kalimat konyol ini:



Aku berusaha tidak memikirkanmu. Di hadapan layar monitor dungu di kantorku. Di hadapan cewek cantik yang menyodorkan laporan pajak kepadaku. Di piring nasiku. Di langit malamku. Di saat aku merasa putus asa. Di malam dingin sebelum aku memejamkan mata.

Aku malu menjadi sosok yang lemah di hadapanmu. Gentar di hadapan dunia. Terkadang aku berharap menjadi lebih tinggi dan gagah. Pemberani. Tanpa ragu memukul mantan pacarmu yang berengsek. Sehingga kamu merasa aman di dekatku. Sehingga ketika kamu bersedih dapat bersandar di bahuku. Sehingga kamu sungguh-sungguh membutuhkanku.

Aku bermimpi suatu kali menggenggam tanganmu dengan penuh keyakinan. Membisikkan kata-kata ke telinga indahmu bercerita seolah-olah hidup itu rahasia dan menarik. Memelukmu dari belakang dan kamu bergeming tanpa berusaha melepaskan diri dariku. Menyusuri rambutmu dan mengecup matamu. Membuatmu jatuh cinta hanya dengan melihatku. Membuatmu bersyukur terbangun di suatu pagi menyadari bahwa aku di ada sisimu. Bahwa aku akan menjadi ayah dari anak-anakmu.



Setelah menyelesaikan tulisan ini aku beranjak menghampiri cermin di kamarku, membetulkan letak kaca mata lalu tersenyum melihat sosok menyedihkan di sana. Aku jatuh hati padanya.

Selasa, 12 Oktober 2010

Kelebayan yang Manis

Aku ingin meromantisir senyummu, yang membuatku bersyukur jadi belajar bahwa kebahagiaan itu sederhana. Aku akan menatap matamu sebentar karena aku memang tak tahan. Aku ingin selebay ini seumur hidupku karena kamu memang berlebihan buatku. Dalam masa kanak-kanakku aku pernah berusaha menarik perhatian seorang teman perempuan kecil yang manis dengan lelucon-lelucon--kenangan itupun jadi lelucon manis dalam ingatanku--namun kalimat-kalimat ini walaupun mungkin membuatmu tertawa bukanlah lelucon sama sekali. Paling tidak aku berusaha jujur aku bukanlah pujangga yang bisa membuatmu menjerit walaupun aku menantikan hal itu darimu, kelebayan yang manis.

Aku jadi terkenang tentang peperangan yang pernah terjadi yang kubaca dalam buku sejarah maupun yang masih berlangsung yang kini disiarkan televisi. Aku bersyukur bisa bersamamu dan merasa begitu damai di saat-saat tertentu. Peperangan di atas bumi ini terus bergulir karena selalu ada kesalahpahaman dan hidup kita pun terus bergulir. Terkadang kita salah mengerti satu sama lain dan menjauh, namun aku terlalu mencintaimu dan itu indah. Terkadang terlintas dalam benakku ingin memberikanmu seikat bunga paling indah seperti yang seorang pangeran lakukan. Berlutut di hadapanmu pada suatu senja yang merah. Meninggalkan hingar-bingar peperangan yang berkecamuk di muka bumi kita ini dan larut dalam suasana romantis itu. Mencintai rambutmu. Mencintai jari-jemarimu. Mencintai pikiranmu. Mencintai kemarahanmu. Mencintai setiap detil-detil-mu.

Menyusuri trotoar di masa SMA ketika musim angin banyak sekali daun-daun berserakan, aku sering bertanya-tanya bagaimana petugas kebersihan kota membersihkan itu semua. Ada suara gemerisik ketika menginjak daun-daun itu, begitulah juga perasaanku saat mendengar suaramu. Suaramu menggema sampai ke relung hatiku. Menguatkan aku yang serapuh dedaunan itu. Terkadang aku merasa ngawur dengan semua tulisan ini: tentang lelucon, perang, dedaunan, namun sebut saja semua ini sebagai kelebayan yang manis. Seperti ketika kamu kaget lalu berteriak manja, dan terkadang sampai mencubit lenganku sampai sakit.

Entah sampai ke mana tulisan ini berakhir. Cinta memang indah. Aku membayangkan selembar uang lusuh yang sering kudapati di Ruteng ini yang telah berpindah dari ribuan tangan. Karena kita mempercayai nilainya kita menyimpannya dalam dompet atau membayarkannya. Aku jadi berfikir seperti itulah cara kerja cinta, bukannya yang diukur dengan uang, namun karena aku percaya pada nilai cinta yang berpendar dalam hatiku itu aku yakin bisa membeli kebahagiaan. Aku yakin akan mendapatkan hatimu yang indah. Paling tidak pemikiran semacam itu bisa menjadi landasan kedamaian atau lagi-lagi hanya menjadi sekedar kelebayan yang manis.


Minggu, 10 Oktober 2010

Celana Dalam Favorit

Ini tentang perasaan terkalahkan seperti ditolak seorang perempuan. Lalu hujan turun dan aku mencoba menghentikannya dengan doa. Dapatkah hujan menghapuskan kemiskinan? Hujan hanya jadi membuatku sedih.
***

Dulu aku sering berlari menyusuri trotoar kenangan terburu-buru menuju SMA-ku. Lalu gerbang sekolah ditutup di hadapan kita. Kehampaan masa muda jadi menyelimuti kita. Aku ingin menari balet di hadapan semua orang biar mereka tahu kalau aku mengagumkan. Kalau masa mudaku menggairahkan, tidak seperti hidup mereka yang membosankan. Beranjak dari motif tegel trotoar yang berbentuk segi lima itu menuju masa depan yang tak terbatas. Aku jadi ingin berteriak sekuatnya. Lalu terbang.

Aku anak muda yang membaca buku filsafat di masa SMA. Jenis yang berkaca mata, dengan jerawat, dan sebut saja cupu. Mungkin aku termasuk si kutu buku absurd itu yang lama-lama kelihatan seksi. Yang percaya dengan memahami kehidupan akan membuatku mendapatkan cewek paling keren se-SMA. Lalu bertapa dengan buku-buku dan berharap bertransformasi jadi sesosok cowok korea yang imut yang digandrungi cewek-cewek labil.

Ini hanya kilasan kenangan tentang idealisme. Aku hanya ingin menuju tempatku sekarang. Berdoa dengan keimanan seorang ulama. Surga ada di kehidupan berikutnya, kawan. Dunia ini dipenuhi bau amis kemiskinan dan kita jadi mengutuk kapitalisme namun tetap saja memborong semua hal di mall-mall dengan keimanan seorang pendeta sambil mendorong troli belanja dengan khusyuk seperti menyusuri gereja.

Aku melihat rumah-rumah kayu sederhana di Ruteng ini, anak-anak sekolah yang harus berjalan jauh untuk sekolah, pemuda-pemuda pengangguran yang bermimpi menikah, dengan kepahitan dan kemelengosan, bertanya kenapa semua uang di dunia ini hanya jadi milik segelintir orang. Aku membawa idelisme konyol ini seperti celana dalam favorit. Aku rajin mencucinya untuk aku pakai lagi. Aku jadi merasa seksi.

Aku akan jadi filsuf kali ini. Anggap aku membosankan. Kita pikir kita membenci kemiskinan namun jauh dalam hati kita hanya cemas terjerumus ke dalam lumpur itu, lalu karena kita tak cukup kaya kita mengutuk kapitalisme seperti nenek-nenek, diam-diam kita memendam rasa iri pada orang kaya, dan berandai dengan putus asa kalau kita seperti mereka pasti akan hidup bahagia. Paling tidak aku begitu. Aku ingin mengalahkan sistem itu namun aku tak punya jalan keluar. Aku hanya anak SMA yang berlari menyusuri trotoar mimpi suatu kali dan mendapati gerbang sekolah itu telah ditutup sekali lagi. Bahwa hidup tidak melulu idealisme, karena surga sudah menanti di kehidupan berikutnya.
***

Selang tak lama setelah hujan itu reda kabut perlahan menutupi kota. Aku jadi merasa agak lega, selain karena kabut menyamarkan kemiskinan daerah ini yang sendu, aku jadi teringat bahwa hari itu aku sedang memakai celana dalam favoritku. Aku jadi merasa seksi.




Minggu, 03 Oktober 2010

Menafsir Kebahagiaan

Bagaimana cara melewati suatu hari Minggu dengan sempurna? Aku tak bisa mengunjungi salah satu katedral indah di kota ini untuk berdoa karena aku seorang muslim. Seharusnya aku lari pagi, menyusuri jalanan Ruteng yang lengang menuju bandara untuk melihat sebuah pesawat dari Kupang mendarat, namun malahan masih tertidur. Aku lelaki kurang sigap, bagaimana nanti aku akan membahagiakan istriku? Aku bangun jam tujuh kemudian sholat subuh dilanjutkan sholat dhuha (kuharap ayah-ibuku tak membaca blog ini). Apa Tuhan menerima ibadahku itu. Aku mulai jadi seenaknya sendiri seolah-olah dunia ada dalam genggaman tanganku.

Aku mengajak salah seorang teman maen game PES 2010--game yang menghangatkan malam-malam kami yang dingin. Aku menang di pertandingan pertama namun kalah di dua berikutnya. Kami saling mengejek seperti anak remaja. Ada rasa kepuasan yang aneh setelah menang dan ada rasa kekecewaan yang menggiringku pada kesenduan setelah aku kalah. Lucu juga memikirkan hal itu. Perut terasa lapar. Aku sarapan teri yang dimasak salah seorang teman yang lain dimana ketika sedang memasaknya dia membubuhkan kuliah tentang kehidupan kepadaku. Bagaimana nanti kalau istri kita hamil dan terobsesi makan teri?

Aku ingin menelpon rumah namun kuurungkan niat itu karena aku tak punya bahan pembicaraan (menyedihkan sekali), apalagi ibu sedang tidak di rumah karena mengikuti suatu diklat untuk guru SD selama satu minggu. Aku memutuskan membaca buku yang sudah kubeli dua tahun silam, namun belum juga selesai. Aku membaca di halaman belakang kontrakan, bersandar pada salah satu sisi temboknya dan merasakannya sebagai suatu kemewahan sederhana, menikmati matahari, dan sesekali memandangi ilalang dan barisan tanaman ketela pohon yang masih setinggi lutut orang dewasa. Anginnya bertiup pelan, sesekali membolak-balik lembar-lembar buku dan membuatku kebingungan. Buku itu mengulas pemikiran Gadamer--jenis-jenis buku serius yang mulai kubaca semenjak SMA hanya untuk menguj kesabaranku, lebih banyak yang tak kupahami, dan menganggap menyelesaikannya sebagai sebuah prestasi tersendiri. Terkadang aku merasa konyol dengan hal itu namun kupikir aku hanya kesepian saja. Aku sama membosankannya dengan buku itu namun kegantenganku sama sekali tidak membosankan. Setelah mulai berkeringat karena panas, aku putuskan kembali ke kamar untuk melanjutkan membaca, namun malahan jatuh tertidur.

Kemudian berakhir dengan blog ini.
***
Apakah hari ini jadi Minggu yang sempurna? Dengan menulis blog ini aku bisa membuat hari Mingguku menjadi apa saja. Seperti menonton Oprah membuatku bahagia. Atau mendengarkan musik alih-alih mencuci baju kotor yang menumpuk. Menghirup kopi murahan di pagi hari. Sarapan nasi teri. Makan siang dengan nasi kuning. Maen PES. Menulis di blog. Ini semacam pembelaan cowok jomblo kesepian yang bekerja di kota kecil tanpa hiburan. Selalu ada saat-saat dimana aku merasa ringan dengan semua rutinitas datar ini, bahwa aku bisa melangkahkan kakiku untuk hidup di tempat-tempat baru yang ajaib dan menertawakan nasib yang kurang beruntung ataupun perasaan sendu yang diam-diam menyelimutiku seperti pakaian berkabung.

Jujur saja aku tak paham apa isi buku yang kubaca hingga setengah halaman lebih itu. Namun dalam benakku, dari buku itu aku belajar bagaimana menafsirkan tanda-tanda, seperti membaca langit atau kata-kata. Seperti blog ini; apakah dengan mencermati kalimat-kalimat yang kutulis ini kamu jadi ikut merasakan kebahagiaan atau kesenduanku? Apakah kata-kata yang kugunakan bisa terasa tepat dengan apa yang ingin aku gambarkan dengan segala keterbatasannya? Bahwa itu semua tergantung penafsiraanmu, seperti motivasi menulisku ini. Aku hanya membayangkan untaian kalimat-kalimat ini berpendar dan mengambil jalannya sendiri menuju sejarah. Aku akan membacanya satu kali lagi. Ini adalah buku yang terbuka............

Selasa, 28 September 2010

Surat Untuk Calon Istriku ( I )

Dear, Kasih
Aku menulis surat ini pada suatu malam yang dingin di kota Ruteng dimana ketika itu aku merasa sendu. Aku hanya memandangi sepetak kamar kontrakanku yang berantakan--bukannya ingin kamu anggap maskulin, aku hanya seorang pemalas kelas kakap. Itu saja. Maafkan aku, Sayang, mungkin kamu tidak menyukai hal itu dan terpaksa membereskanya suatu hari nanti. Membereskan hidupku yang berantakan tanpamu. Kamar sempit itu membuatku jadi bertanya-tanya; adakah ruang yang cukup luas untukku di hatimu? Ruang yang cukup luas untukku marah dan menjadi orang lain? Ruang yang cukup luas untukku menangis karena merasa seperti seorang pecundang? Hari-hari terus bergulir dan kita harus berbagi ranjang, berbagi masa lalu, masa depan, perasaan, kisah-kisah, dan aroma tubuh satu sama lain. Berbagi kehidupan kita yang absurd. Aku hanya ingin mendekapmu dan memimpikanmu di tidurku.

Dear, Bidadari
Kamu selalu cantik di mataku, percayalah, walaupun aku seorang munafik nomor satu. Percayalah bahwa aku lelaki paling sempurna yang pernah kamu temui dalam hidupmu. Percayalah, Cinta, dengan keras kepala, bahwa aku akan membawamu ke suatu taman bunga dengan warna pelangi dimana seribu kupu-kupu mengelilingi kita berdua Aku hanya ingin kamu percaya, seperti aku akan selalu percaya kepadamu.

Dear, Kupu-kupu
Apakah aku cukup romantis? Apa aku cukup representatif untuk sosok pangeran dalam dongeng itu, Putri? Apakah rekening tabunganku cukup? Aku akan berpindah dari satu daerah ke daerah lain, begitulah pekerjaanku, namun aku tak akan berpindah dari hatimu. Aku berjanji. Aku bukan politisi, jadi percaya sajalah kali ini. Akan kuceritakan kisahku mengelilingi pulau-pulau itu dalam surat-suratku agar kamu dapat merasakan keterpesonaanku, kesepianku, atau kerinduanku padamu. Semuanya. Sekarang aku di Ruteng, Manis, merasa kedinginan, memandangi barisan pegunungannya yang kelam, kemudian merasa hampa. Hanya kamulah yang sanggup mengisi kehampaanku itu. Hanya kamu.....

Dear, Permata
Perkenankan aku bertanya padamu. Apakah kamu masih akan mencintaiku ketika aku bukan diriku sendiri. Ketika aku menjadi lain sama sekali? Apakah kamu akan setia menunggu kepulanganku pada suatu kali cuti? Hari Raya? Tidur sendirian di malam-malam gelapmu? Membesarkan anak-anak kita yang lucu? Mengerjakan semua tetek-bengek rumah tangga tanpa aku? Bersediakah kamu menemaniku hingga nanti aku renta dan lupa. Namun aku takkan bisa lupa padamu. Takkan bisa.....

Dear, Cahaya
Surat ini dipenuhi kalimat-kalimat gombal yang aku sendiri tidak sanggup mempercayainya. Dan aku, dengan segenap hatiku, hanya meminta kamu percaya.........


Ruteng, 29 September 2010
ttd.
Belahan Jiwamu.





NB : Kalau kamu bukan calon istriku tapi terlanjur membaca surat ini, tolong jaga ini sebagai rahasia. Jangan sampai dia tahu, nanti dia malu.

Rabu, 22 September 2010

Pertemuan, Kenangan, dan Kilasan Masa Depan

Sebaiknya kita berterima kasih kepada facebook, dialah yang membentuk hidup kita sekarang. Hati kita seperti dililiti kabel-kabel telepon kasat mata yang saling berhubungan, sejauh apapun. Senaif apapun kita, jadi lebih terbuka--sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kemudian acara-acara reuni dihidupkan kembali. Seperti mengunjungi museum kenangan-kenangan dengan suka cita. Merayakan pertemuan.
Libur lebaran ini ada lima reuni. SD. SMP. SMA. Kuliah. Magang. Yang terakhir aku absen.
***
Aku tiba di Salatiga dua hari sebelum lebaran dan pada akhirnya bertemu keponakan baru yang ketika itu hampir berusia dua bulan. Kakak perempuanku hanya tersenyum menatapku seolah-olah berkata bagaimana semua ini bisa menimpanya. Anak itu berpipi merah seperti bayi kebanyakan dan langsung membuatku jatuh sayang. Pada sore harinya reuni sudah dimulai: buka bersama dengan teman satu kelas di SMA disertai rintik hujan. Kami dua tahun bersama menghabiskan masa-masa paling tak terlupakan dalam kehidupan kami ; musim asmara, lelucon, dan pencarian masa depan. Sebelum acara itu usai, kami berjanji akan tetap saling berkomunikasi walaupun nanti sudah berkeluarga dan mengulang acara semacam itu kembali.

Pada sore hari berikutnya jadwal reuni SD. Buka bersama di malam sebelum lebaran--malam-malam dimana ketika masih kecil aku habiskan dengan takbir keliling kampung sambil membawa obor. Aku memesan steak udang yang ketika hidangan itu datang jadi bahan lelucon karena ukurannya yang super kecil. Teman-teman menyuruhku makan pelan-pelan. Yang membuatku lega adalah bagaimana kami bisa cepat akrab lagi. Mereka sama menyenangkannya ketika masih SD. Kami membicarakan masa lalu dengan antusias walaupun sedikit lupa. Permainan-permainan masa kecil. Menu dalam kotak makan siang kami. Guru-guru. Aku hanya tertawa mengenang cerita salah seorang teman perempuan yang mengantarku suatu kali pulang ke rumah dimana waktu itu aku menangis di kelas karena tidak dapat membaca tulisan di papan tulis dengan jelas. Sejak saat itulah aku mulai mengenakan kaca mata rabun jauh yang kupersalahkan seumur hidup telah membuat hidungku membesar. Kami sepakat bahwa tidak ada yang berubah dari kami, setidaknya tidak ada yang berganti kelamin, hanya seseorang jadi lebih gemuk, yang lainnya gondrong seperti penyanyi rock, atau jadi lebih tegas karena latihan militer. Kami sempat kursus singkat bahasa spanyol dengan seorang teman, membicarakan permasalahan usaha versus kuliah--beberapa dari teman kami sedang merintis usaha namun malas sekali menyelesaikan kuliah mereka, dan mengulas tema 'pengusaha versus pajak', hanya untuk mengolok-ngolokku. Teman perempuan yang dulu mengantarku pulang itu membawa sang pacar yang ternyata teman kuliahku. Aku cukup kaget, namun wajah mereka terlalu serupa--mungkin memang berjodoh--yang mengingatkanku pada pasangan dalam film Slumdog Millionaire. Aku katakan pada teman kuliahku itu seharusnya dulu aku menembak pacarnya ketika gadis itu mengantarku pulang sehingga aku tak menyesal sekarang, aku menangis waktu itu berpura-pura rabun jauh hanya agar kami bisa berduaan. Tentu saja aku bercanda namun hal-hal semacam itu selalu menjadi pikiran, dimana dalam benakku tergambar bahwa aku cowok menyedihkan di pinggir peron itu, yang ditinggalkan cintanya naik kereta. Pada kenyataannya, satu-satunya hal yang membuat kami semua bersedih waktu reuni itu adalah fakta bahwa sekolah kami sudah dibubarkan karena dianggap gagal.

Pada lebaran hari pertama; sholat id di lapangan, ziarah ke makam nenek, dan pergi ke Suruh--sebuah kecamatan di luar Salatiga--untuk mengunjungi sanak saudara. Hal-hal yang terus berulang dari tahun ke tahun. Kakek-nenek semua telah tiada. Kemudian tahun-tahun bergulir dan beberapa orang pergi. Aku tak bisa membayangkan bila nanti kedua orangtuaku tiada, merekalah penghubungku, pemandu silaturahmi dari rumah ke rumah, beberapa dari saudaraku itu ada yang tak kukenali atau bahkan sekedar tahu namanya pun tidak, untuk pembicaraan aku hanyalah pendengar yang baik, dungu bahkan. Mereka berdualah yang memborong semua pembicaraan. Aku jadi merasa kecewa sendiri tumbuh menjadi semacam orang urban penyendiri yang hanya menikmati hidupnya yang hampa.]

Acara reuni berikutnya: SMP tahun pertama. Entah mengapa banyak sekali yang terlupa mengenai masa-masa itu, yang kuingat hanyalah tahun itu aku mulai berjerawat dan jadi kurang percaya diri. Waktu itu aku diingat sebagai ketua kelas--suatu kualitas yang tak kumiliki sekarang dan bagaimana aku selalu dipuji guru sejarah kami yang terkenal galak, karena nilai ulanganku. Acara itu berlanjut dengan kunjungan ke rumah salah seorang teman kami yang telah tiada. Kami bertemu sang ibu dan ikut berduka atas kematian putrinya setahun silam. Ibunya menceritakan kisah tragis kematian putrinya dalam suatu kecelakaan yang sama seperti dalam gambaran mimpinya hingga menitikkan air mata. Aku hanya menduga sudah berapa kali dia menceritakan hal itu dan berduka dengan cara semacam itu.

Reuni terakhir adalah reuni kuliah. Kami berkumpul di rumah salah seorang teman perempuan yang tengah hamil lima bulan ketika itu. Kami semua gembira melihat kehamilannya dan tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Aku menghadiahinya selendang untuk menggendong bayinya suatu saat nanti dan selimut bayi yang kuminta dari kakak perempuanku yang dibanjiri hadiah paska persalinan. Kata kakakku aku terlalu terburu-buru menghadiahi hal semacam itu, tapi kupikir menghadiahinya hadiah pernikahan pun sudah terlalu terlambat. Melihat temanku itu jadi membuatku bertanya-tanya apa aku nanti punya cukup nyali untuk merebut seorang gadis dari tangan orang tuanya lalu menghamilinya? Punya cukup uang untuk membuat pesta pernikahan, membangun sebuah rumah, membesarkan anak-anak, dan membeli sebuah mobil? Seribu harapan untuk satu cowok melow seperti aku ini.

Untuk reuni magang diadakan di kantor pajak di kawasan kota lama Semarang dimana dulu aku di sana selama delapan bulan. Aku tidak ikut, selain karena jaraknya yang agak jauh, ketika itu harinya cerah, aku memutuskan mengajak ayah jalan-jalan di sepanjang Sudirman di pertokoan dua tingkat dengan warna cat mencolok, memasuki beberapa toko elektronik untuk melihat-lihat mesin cuci dan mencoba menawar dengan usaha terbaik kami. Akhirnya kami membeli sebuah mesin cuci yang masih saja diragukan kemampuannya oleh ibu yang biasa mencuci di kali dan sebuah TV LCD yang terlihat terlalu mewah untuk rumah kami yang bobrok. Walaupun begitu kedua barang itu adalah dua barang pertama dalam dua puluh tiga tahun hidupku yang menurutku mahal namun aku tak merasa menyesal telah membelinya. Sama sekali. Bahkan tanpa perlu diyakinkan lagi.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Dari Aroma Laut Sampai ke Bau Kentut






Dimulai di sini. Di hadapan langit luas ini. Langit yang sama yang kamu lihat hari itu. Dengan aroma air lautnya yang bebas. Debur ombak dan suara percakapan yang samar. Kemudian kehampaan.
Namun sebaiknya kita kembali ke dalam mobil, berjalan mundur melewati jalan sempit dimana monyet-monyet bergelantungan di pepohonan di kanan-kiri kita. Aku sendiri sudah menganggap binatang itu membosankan, seperti wajah pacar kita, kuno dan tak menarik. Maafkan aku, monyet, bukan maksudku menyinggung kalian. Aku hanya ingin kembali menyusuri jalanan yang tadi kita lewati, yang berliku. Menembus satu buah gunung dengan kabut putihnya. Dua buah lubang jalan yang tadi telah dihafal sebelumnya. Ayam-ayam hutan. Dan sebuah pohon dengan diameter yang membuat kita semua tercengang. Sampai di kota kita tercinta, Ruteng, dengan katedralnya yang eksotis. Menuju kontrakan. Lalu kamarku, untuk membuka selimut di atas kasurnya dimana separo hatiku telah kusimpan di dalamnya .Dengan kebaikannya. Rasa irinya. Ketidakpuasannya.
Aku melakukan hal itu karena kamu tidak tahu aku pergi bersama siapa hari itu.
***
Dapatkah kamu membayangkan bagaimana seorang cowok mellow seperti aku ini menghabiskan akhir minggunya duduk di jok paling belakang sebuah mobil hanya untuk menemani dua orang asing yang jauh lebih tua dan terhuyung-huyung karena sebuah perjalanan? Aku tidak ingin terdengar berlebihan. Aku bukannya tipe anak durhaka yang pernah kamu dengar dalam sebuah cerita itu. Aku hanya pemuda kikuk--jenis anak SMA payah yang tidak akan menjawab pertanyaan sebelum disuruh. Aku hanya merasa tak nyaman membangun percakapan dengan orang yang lebih tua. Aku tidak akan pernah mengerti lelucon mereka. Berpura-pura pun bukan keahlianku. Sejenis orang yang merasa akan muda selamanya sehingga berhak untuk bertingkah konyol kapan saja. Aku tidak bisa lebih mellow lagi dari hari itu.
Sebenarnya dua orang itu bukannya asing sama sekali. Salah satunya adalah kepala kantorku. Satunya lagi seorang kepala seksi.
Aku bersyukur ditemani seorang teman satu seksiku. Dia lebih muda beberapa bulan dariku namun jauh lebih dewasa. Dia yang mendengarkan dengan seksama percakapan kedua orang itu, menertawai lelucon mereka seolah-olah itu sangat lucu. Dia juga yang bercerita tentang ayam-ayam hutan atau rusa-rusa yang dipelihara ayahnya di Bima sementara aku jatuh tertidur. Ketika aku dipaksa menyembelih seekor ayam karena aku seorang muslim, dia juga yang menggantikan posisiku. Dengan kebijaksanaannya dia menghiburku di tengah perjalanan dengan mengatakan bahwa ini semua tidaklah terlalu buruk. Aku berhutang banyak padanya hari itu .
Ketika mata terbuka kulihat selembar gambaran mimpi yang lain. Dua buah rumah dengan kebun sayur mayur di halaman depan, sepetak kandang di halaman belakang yang dipenuhi babi-babi gendut dan kotor, sisanya hanyalah hamparan ladang jagung yang keemasan oleh sinar matahari. Ayam-ayam berlarian di antara anak-anak yang bermain. Kita sampai juga di rumah salah satu kepala seksi yang lain itu, disuguhi jagung rebus dengan secangkir kopi. Sesederhana kebahagiaan itu sendiri. Sembari menunggu ayam dimasak, kita beranjak ke pantai.


Dalam perjalanan kembali ke Ruteng kita mengunjungi Ulumbu untuk mandi air panas. Jalan menuju tempat itu rusak berat sehingga mobil terpaksa diparkir di puncak bukit. Kita harus menuruni separo bukit itu untuk sampai ke tempatnya Kita berjalan bersama dan saling mendengar tarikan nafas satu sama lain. Kepala kantorku bercerita bahwa dia tahan sekali berjalan, bahwa di masa lalunya dia tidak bisa dilawan. Dia juga melempar tebak-tebakan tentang apa saja nama pepohonan yang kita lewati bersama. Aku tak bisa berhenti memandang ke luar bukit, hanya kabut putih yang mengelilingi kita.

Aku menelepon kakak perempuanku yang tengah mempersiapkan persalinannya di sebuah rumah sakit di Salatiga sebelum akhirnya terputus karena kehilangan sinyal. Ternyata tempatnya lumayan jauh dan kita kelelahan sendiri. Kita akan mendengar suara berisik di tempat itu; suara pembangkit listrik tenaga panas bumi. Tempatnya berupa bukit-bukit warna merah yang dipenuhi asap belerang. Bau kentut dimana-mana jadi tak perlu menuduh siapa-siapa. Aku sudah membayangkan akan ada sebuah kolam air panas dimana aku bisa berendam di dalamnya namun yang ada hanyalah sebuah pancuran dimana kita harus mandi bergantian. Rasanya panas sekali waktu pertama kali. Setelah itu terasa nikmat di punggung kita.

Ketika hendak kembali ke mobil sudah terbayang betapa jauh tempat parkirnya. Kemudian hujan membuat tindakan mencapai mobil jadi sebuah kemenangan kecil yang harus kita raih.

***
Dalam perjalanan pulang aku hanya diam saja sementara kepala kantor, kasi, dan temanku membicarakan hal yang lain lagi saat itu. Seperti kata temanku, perjalanan ini memang tidak terlalu buruk. Hari itu aku sudah menggrogoti sebatang jagung rebus yang empuk, hampir menyembelih seekor ayam untuk hidangan makan siang, menyusuri suatu pantai di pulau tempat aku hidup sekarang, mandi di sebuah pancuran air panas di suatu lembah antah-berantah yang masih saja mempesonaku sampai hari ini, dan basah kuyup karena hujan. Aku juga sudah mencium semua aroma alam, dari aroma laut hingga bau kentut belerang. Aku bersyukur jadi bagian dari perjalanan itu. Sebuah akhir minggu yang sangat berkesan. Bahwa aku hanya membawa separo hatiku, itu tak jadi soal, pada kenyataannya aku masih bisa merasa bahagia. Belajar dari temanku, mulai saat itu aku hanya ingin menjadi orang yang lebih tulus lagi. Aku ingin menguasai semua pengetahuan untuk membuat semua orang bahagia. Baik itu tentang ayam hutan ataupun tentang jenis-jenis pepohonan. Aku memang takut menjadi tua dan membosankan, namun aku akan lebih takut lagi jika nanti hanya terdiam di hadapan calon bapak mertua. Aku bertekad akan lebih sering lagi membaca koran atau menonton berita di televisi agar suatu hari nanti, dengan gagah berani bisa mengatakan di hadapan calon bapak mertuaku, "Keadaan politik di negeri ini sungguh kacau dan mengerikan, untuk itu ijinkan saya membawa putri Anda ke dalam hidup saya, dimana hanya ada politik cinta di dalamnya."
***
Pada hari berikutnya aku terserang flu. Ketika makan siang dengan semangkuk soto di warung sebelah kontrakan, kakak perempuanku mengirimi sebuah pesan gambar.

Aku jadi seorang paman sekarang. Aku flu hari itu namun bahagia.






Selasa, 24 Agustus 2010

Cintaku Jauh di Pulau

Aku menulis blog ini pada suatu fajar yang sunyi ketika langit baru sedikit terbuka. Ramadhan ini aku sholat subuh di masjid, entah karena letak masjidnya yang berada di depan kontrakan atau karena aku memang sungguh-sungguh soleh, aku selalu menimbang-nimbang kedua hal itu. Dingin sekali tadi di luar. Seharian nanti aku akan berpuasa dan merasa malu sendiri jika terlihat lesu ketika bekerja, bau mulut, atau kehilangan selera humor.
Menjelang lebaran aku akan mudik dan merasa sangat menderita karena harga tiket pesawat. Di rumah, orang-orang akan menanyakan tentang pacar atau calon istri, sebagai bahan basa-basi, tanpa menyadari pertanyaan semacam itu sungguh-sungguh menyulitkanku. Aku masih mendengarkan lagu-lagu romantis yang semu. Membaca novel-novel cinta picisan. Masih saja memimpikan menjadi pangeran kodok yang dicium seorang putri bodoh yang cantik namun baik hatinya. Kemudian hidup bahagia untuk selama-lamanya.
Teman-teman di Ruteng sini banyak yang meninggalkan istri dan anak-anak mereka di kampung halaman, sering mengeluhkan tentang susahnya mendapatkan cuti atau tingginya harga tiket pesawat, dan di akhir pekan menelpon rumah untuk sekedar mendengarkan suara kecil dan tak fasih mengucapkan kata ayah atau papa seolah-olah itu merupakan suatu pujian. Sedangkan yang masih pacaran, hanya melewatkan malam-malam minggu mereka dengan menelpon cewek mereka untuk bertanya apakah mereka kangen. Sungguh kisah cinta yang sendu namun bukan berarti selalu menyedihkan. Aku masih saja selalu merasa lega setiap menelepon rumah dan menyadari bahwa aku masih sangat dirindukan. Bahwa kedatanganku nanti di samping mereka akan sangat berarti. Kerinduan akan menjadi jalan hidupku. Seperti aku tak akan pernah berhenti merindukanmu, Tuhan.
Dari jendela kulihat langit telah bercahaya. Pagi ini aku merasa melankolis sekali. Aku selalu merindukan cinta. Aku takut telah melewatkan sesuatu. Mungkin kami pernah berpapasan di suatu jalan, saling bertatapan mata hanya karena suatu kebetulan. Mungkin dia pernah bermain di perosotan yang sama ketika aku masih TK, sama-sama sering makan kue lekker yang dijual di trotoar depan SD-ku dulu. Mungkin kita pernah satu bis, satu kereta, atau satu pesawat, siapa yang tahu? Mungkin kita memang tak pernah bertemu sama sekali namun saling merindukan satu sama lain. Yang dapat kulakukan hanyalah bersabar dan berdoa, semoga pada waktunya nanti aku memiliki keberanian yang cukup dan ketulusan yang menenangkan untuk mengungkapkan isi hatiku padamu. Paling tidak, dengan mempersembahkan blog ini, suatu bagian di hatimu yang cantik itu bergetar.....

Sabtu, 07 Agustus 2010

Dear, Diare

Diare ini menghampiriku tiba-tiba pada suatu malam di bulan kemerdekaan. Mungkin karena segelas jus sirsak atau makan siangku, siapa yang menyangka? Apa kita punya cukup keberuntungan untuk mengantisipasi setiap hal? Pada malam itu aku muntah-muntah, merasa jijik sendiri, dan merasa sangat menyedihkan. Mulutku terasa sangat kotor namun itu lebih baik ketimbang pikiranku yang kotor, karena saat-saat semacam itu mengingatkanku pada sosok Tuhan. Ya Allah aku pengen sembuh!
Keesokan harinya aku makan roti dengan selai rasa mocca yang kubeli di supermarket, merasa sangat modern, namun semua itu terasa hambar dan kering. Menelan diapet dan berharap kapsul semacam itu benar-benar bekerja. Aku bekerja seperti biasa disertai ijin ke toilet sebentar-sebentar. Perutku terasa kacau seharian. Begitu pun hidupku. Kasiku memberikan petuah bahwa seharusnya aku minum racikan daun jambu biji dengan nada seolah-olah pemda Ruteng telah menanam pohon itu di sepanjang jalan dan aku terlalu bodoh untuk mengidentifikasinya.
Sepulang kerja aku tidur cepat, dan terbangun malam-malam untuk sekedar mengeluarkan cairan lewat pantatku. Yang paling membuatku merasa tak enak adalah suara mekanismenya yang berisik, tak karuan, dan terdengar sangat mengerikan--aku takut akan membangunkan teman-teman satu kontrakan yang sedang terbuai oleh mimpi-mimpi indah mereka.
Yang paling lucu kalau tidak boleh disebut menjijikkan adalah ketika aku menjaga TPT sendirian karena dua temanku yang lain sedang sarapan. Kupikir aku akan baik-baik saja. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat dengan alasan tindakan semacam itu akan membantu--seperti yang kuyakini pada masa kanak-kanakku. Aku akan seteguh karang. Namun semakin keras aku mencoba menahan, semakin aku tak berdaya, dan puncaknya adalah kepeceret. Berfikir akan malas mencuci celana dalamku, aku memutuskan untuk membuangnya saja. Pada siang harinya aku tidur di kontrakan dengan pencernaan yang kacau dan terbangun di sore harinya mendapati, sekali lagi, kepeceret. Tuhan, aku bukan juragan celana dalam.............
Weekend-nya aku masih diare. Seharusnya aku ikut anak-anak ke Labuan Bajo; menginap di hotel Jayakarta, bermain futsal, dan berenang seharian namun malahan berdiam diri di bilik gelap dalam kontrakanku, ditemani laba-laba di salah satu sudutnya, kesakitan, dan mengeluarkan cairan tinja itu lagi. Dan lagi. Tai!

NB:
Sisi terangnya, setelah membaca halaman sebuah web, adalah diare tidak selamanya buruk. Semacam detoksifikasi(perut emang rasanya kayak dicuci). Seperti bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi menjelang, kita diwajibkan untuk berpuasa agar nantinya kita jadi orang yang lebih baik. Lebih bersih. Seperti itulah harapanku, menanti kesembuhan dari penyakit ini, semoga ususku tambah besih dan pastinya aku akan mensyukuri saat-saat dimana aku bisa makan dan buang air besar dengan normal kembali seolah-olah aku baru mengalami momen itu untuk yang pertama kali. Lekas sembuh untuk diriku sendiri.

Sabtu, 17 Juli 2010

Ruteng - Kota Mati - Hari2 pertama.

Agustus, setahun yang lalu. Gelap. Dingin. Jauh.
Mengenang hari-hari pertama di Ruteng berarti menjebloskan diri ke dalam sebuah kulkas kecil yang bergetar. Mungkin ini terdengar berlebihan (baca: lebay), ada lebih banyak kota yang jauh lebih dingin di dunia ini.
Setahun kemudian aku pasti sudah menjadi sebongkah es paling ganteng di alam semesta ini, melebihi cowok2 Pluto(kalau ada). Hatiku juga akan ikut membeku. Tubuh membiru. Aku akan menjadi sesosok zombie seperti dalam I am Legend, bergentayangan mengelilingi sudut-sudut kota ini. Di jalan-jalannya. Di taman kotanya yang tidak terawat. Di kantor bupatinya yang megah. Di alun-alunnya dimana anak-anak berlarian. Namun gambaran semacam itu terlalu mengerikan. Aku membayangkan kota Forks seperti dalam twilight, sama dingin dan sering hujannya. Aku jadi Edward Cullen-nya, secara Robert Pattinson dan aku saling mirip satu sama lain. Namun sosok Kristen Steward tak akan pernah sampai ke kota ini untuk kucium.



Malam-malam pertamanya begitu dingin. Terkadang kabut turun dan jika sedang cerah langitnya dipenuhi bintang-bintang yang cemerlang dan bayangan pegunungan terlihat begitu kelam dan dramatis. Suasana semacam itu mengingatkanku pada keterasingan. Jam delapan malam jalanan sudah lengang sekali, toko-toko telah tutup, dan hanya satu-dua warung makanan yang masih buka. Oleh karena itulah kota ini disebut kota mati. Di beberapa sudut jalan tampak api unggun yang dikelilingi penduduk lokal yang berdiang dengan sarung yang membungkus tubuh mereka. Ketika bicara ada uap yang keluar dari mulut kita.
Setahun kem
udian aku masih di kota ini dan diserang ketakutan bahwa otak dan hatiku akan membeku, karena itulah aku memutuskan untuk membuat tulisan ini. Aku ingin membuat api unggunku sendiri yang menghangatkan sekaligus menghibur diri dalam keterasingan ini. Ingin menjadi semelankolis lagu-lagu Nia Daniati. Sesendu suaranya Iis Dahlia. Dan menjadi cowok paling manis sedunia.

NB: tulisan semacam ini benar-benar menegaskan bahwa aku ababil banget
, tapi yang penting mirip Robert Pattinson.

Sebuah Pengantar

Seperti disirami cahaya pagi, menulis memberi kehangatan. Aku tidak bisa berpikiran buruk: menulis berarti berselimut sepi yang begitu dingin atau menyusuri dataran yang kosong dan asing, walaupun memang seperti itu kenyataannya. Tuhan sepenuhnya baik. Semacam cermin, tempat kita menemukan harapan semoga kita lebih rupawan, namun malahan lebih sering mengecewakan, dan kita jadi terpaksa menerimanya. Kita bukan putri paling cantik sedunia.
Kita terluka mencermati wajah sendiri. Tersenyum sendiri. Menangis sendiri. Separuh hati kita pesimis, namun yang separuhnya lagi menyangkal. Tuhan mahabaik. Ada kecenderungan yang parah untuk tampil apa adanya, percaya diri, dan tenang. Namun aku menemukan sebuah lubang hitam yang menghisap dengan sangat mengerikan. Tolong tarik aku ke dalam cahaya. Oleh karena itu ijinkan aku menulis saja. Omong kosong sekalipun.
Terima kasih.

NB: Dalam hati kecilku, aku juga berharap dengan menulis akan menemukan belahan jiwa.