Mengenang hari-hari pertama di Ruteng berarti menjebloskan diri ke dalam sebuah kulkas kecil yang bergetar. Mungkin ini terdengar berlebihan (baca: lebay), ada lebih banyak kota yang jauh lebih dingin di dunia ini.
Setahun kemudian aku pasti sudah menjadi sebongkah es paling ganteng di alam semesta ini, melebihi cowok2 Pluto(kalau ada). Hatiku juga akan ikut membeku. Tubuh membiru. Aku akan menjadi sesosok zombie seperti dalam I am Legend, bergentayangan mengelilingi sudut-sudut kota ini. Di jalan-jalannya. Di taman kotanya yang tidak terawat. Di kantor bupatinya yang megah. Di alun-alunnya dimana anak-anak berlarian. Namun gambaran semacam itu terlalu mengerikan. Aku membayangkan kota Forks seperti dalam twilight, sama dingin dan sering hujannya. Aku jadi Edward Cullen-nya, secara Robert Pattinson dan aku saling mirip satu sama lain. Namun sosok Kristen Steward tak akan pernah sampai ke kota ini untuk kucium.
Malam-malam pertamanya begitu dingin. Terkadang kabut turun dan jika sedang cerah langitnya dipenuhi bintang-bintang yang cemerlang dan bayangan pegunungan terlihat begitu kelam dan dramatis. Suasana semacam itu mengingatkanku pada keterasingan. Jam delapan malam jalanan sudah lengang sekali, toko-toko telah tutup, dan hanya satu-dua warung makanan yang masih buka. Oleh karena itulah kota ini disebut kota mati. Di beberapa sudut jalan tampak api unggun yang dikelilingi penduduk lokal yang berdiang dengan sarung yang membungkus tubuh mereka. Ketika bicara ada uap yang keluar dari mulut kita.
Setahun kemudian aku masih di kota ini dan diserang ketakutan bahwa otak dan hatiku akan membeku, karena itulah aku memutuskan untuk membuat tulisan ini. Aku ingin membuat api unggunku sendiri yang menghangatkan sekaligus menghibur diri dalam keterasingan ini. Ingin menjadi semelankolis lagu-lagu Nia Daniati. Sesendu suaranya Iis Dahlia. Dan menjadi cowok paling manis sedunia.
NB: tulisan semacam ini benar-benar menegaskan bahwa aku ababil banget, tapi yang penting mirip Robert Pattinson.
Malam-malam pertamanya begitu dingin. Terkadang kabut turun dan jika sedang cerah langitnya dipenuhi bintang-bintang yang cemerlang dan bayangan pegunungan terlihat begitu kelam dan dramatis. Suasana semacam itu mengingatkanku pada keterasingan. Jam delapan malam jalanan sudah lengang sekali, toko-toko telah tutup, dan hanya satu-dua warung makanan yang masih buka. Oleh karena itulah kota ini disebut kota mati. Di beberapa sudut jalan tampak api unggun yang dikelilingi penduduk lokal yang berdiang dengan sarung yang membungkus tubuh mereka. Ketika bicara ada uap yang keluar dari mulut kita.
Setahun kemudian aku masih di kota ini dan diserang ketakutan bahwa otak dan hatiku akan membeku, karena itulah aku memutuskan untuk membuat tulisan ini. Aku ingin membuat api unggunku sendiri yang menghangatkan sekaligus menghibur diri dalam keterasingan ini. Ingin menjadi semelankolis lagu-lagu Nia Daniati. Sesendu suaranya Iis Dahlia. Dan menjadi cowok paling manis sedunia.
NB: tulisan semacam ini benar-benar menegaskan bahwa aku ababil banget, tapi yang penting mirip Robert Pattinson.