Sabtu, 17 Juli 2010

Ruteng - Kota Mati - Hari2 pertama.

Agustus, setahun yang lalu. Gelap. Dingin. Jauh.
Mengenang hari-hari pertama di Ruteng berarti menjebloskan diri ke dalam sebuah kulkas kecil yang bergetar. Mungkin ini terdengar berlebihan (baca: lebay), ada lebih banyak kota yang jauh lebih dingin di dunia ini.
Setahun kemudian aku pasti sudah menjadi sebongkah es paling ganteng di alam semesta ini, melebihi cowok2 Pluto(kalau ada). Hatiku juga akan ikut membeku. Tubuh membiru. Aku akan menjadi sesosok zombie seperti dalam I am Legend, bergentayangan mengelilingi sudut-sudut kota ini. Di jalan-jalannya. Di taman kotanya yang tidak terawat. Di kantor bupatinya yang megah. Di alun-alunnya dimana anak-anak berlarian. Namun gambaran semacam itu terlalu mengerikan. Aku membayangkan kota Forks seperti dalam twilight, sama dingin dan sering hujannya. Aku jadi Edward Cullen-nya, secara Robert Pattinson dan aku saling mirip satu sama lain. Namun sosok Kristen Steward tak akan pernah sampai ke kota ini untuk kucium.



Malam-malam pertamanya begitu dingin. Terkadang kabut turun dan jika sedang cerah langitnya dipenuhi bintang-bintang yang cemerlang dan bayangan pegunungan terlihat begitu kelam dan dramatis. Suasana semacam itu mengingatkanku pada keterasingan. Jam delapan malam jalanan sudah lengang sekali, toko-toko telah tutup, dan hanya satu-dua warung makanan yang masih buka. Oleh karena itulah kota ini disebut kota mati. Di beberapa sudut jalan tampak api unggun yang dikelilingi penduduk lokal yang berdiang dengan sarung yang membungkus tubuh mereka. Ketika bicara ada uap yang keluar dari mulut kita.
Setahun kem
udian aku masih di kota ini dan diserang ketakutan bahwa otak dan hatiku akan membeku, karena itulah aku memutuskan untuk membuat tulisan ini. Aku ingin membuat api unggunku sendiri yang menghangatkan sekaligus menghibur diri dalam keterasingan ini. Ingin menjadi semelankolis lagu-lagu Nia Daniati. Sesendu suaranya Iis Dahlia. Dan menjadi cowok paling manis sedunia.

NB: tulisan semacam ini benar-benar menegaskan bahwa aku ababil banget
, tapi yang penting mirip Robert Pattinson.

Sebuah Pengantar

Seperti disirami cahaya pagi, menulis memberi kehangatan. Aku tidak bisa berpikiran buruk: menulis berarti berselimut sepi yang begitu dingin atau menyusuri dataran yang kosong dan asing, walaupun memang seperti itu kenyataannya. Tuhan sepenuhnya baik. Semacam cermin, tempat kita menemukan harapan semoga kita lebih rupawan, namun malahan lebih sering mengecewakan, dan kita jadi terpaksa menerimanya. Kita bukan putri paling cantik sedunia.
Kita terluka mencermati wajah sendiri. Tersenyum sendiri. Menangis sendiri. Separuh hati kita pesimis, namun yang separuhnya lagi menyangkal. Tuhan mahabaik. Ada kecenderungan yang parah untuk tampil apa adanya, percaya diri, dan tenang. Namun aku menemukan sebuah lubang hitam yang menghisap dengan sangat mengerikan. Tolong tarik aku ke dalam cahaya. Oleh karena itu ijinkan aku menulis saja. Omong kosong sekalipun.
Terima kasih.

NB: Dalam hati kecilku, aku juga berharap dengan menulis akan menemukan belahan jiwa.