Senin, 27 Desember 2010

FIKSI

Ketika aku membahas perasaan dalam posting-posting terdahulu, pada mulanya aku berfikir orang-orang akan memahami kejujuranku namun pemikiran semacam itu ternyata terlalu naif. Obsesiku pada perasaan dianggap sentimentil. Walaupun setidaknya aku merasa lebih baik setelah menuliskannya, dan berulang kali aku meyakinkan diriku bahwa hal itu sudah cukup, dunia berubah menjadi asing dan dingin. Aku berusaha terlalu keras meyakinkan pembacaku bahwa perasaan adalah hal yang signifikan, malahan lebih terdengar konyol, sensitif, dan menyedihkan. Oleh karenanya aku ingin meringkuk di sebuah gua sempit yang hangat di suatu sudut antah berantah dalam benakku, menciptakan duniaku sendiri, mungkin para pembaca akan menganggapku lari dari realitas, walaupun aku meragukan apa kita tahu apa sesungguhnya realitas itu. Kenyataan bahwa aku menganggap perasan adalah realitas paling nyata bagiku membuatku berfikir itu adalah suatu mekanisme pertahanan diri. Dan kenyataan bahwa aku menganggap hal itu sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, aku hanya merasa geli mendapati diriku tak henti-hentinya berfikir dan merasa, bahwa melakukan kedua hal itu paling tidak membuatku merasa masih hidup.

Aku mulai dengan menumbuhkan sepasang sayap kokoh dari punggungku yang terkadang berjerawat, menembus kemeja kotak-kotakku. Namun kamu hanya menatap ke dalam mataku, jauh hingga ke relung hati, menimbang-nimbang perasaanku yang bergejolak. Sepasang tangan indahmu melingkar di leherku yang ketika itu terasa kaku. Kamu tidak menyadari bahwa aku mengepakkan sayapku dan kita berdua terbang perlahan. Aku tak perlu lagi mengungkapkan rasa cintaku, sedalam samudra atau seluas semesta, karena akan terdengar aneh dan basi. Kita melewati genteng rumahmu, kabel-kabel listrik yang berantakan, pohon kelapa yang jadi terlihat pendek, membumbung tinggi. Kamu masih saja membaca mataku, seperti menyusuri jalan setapak menuju suatu lembah dengan air terjun yang berderu. Hatiku bergemuruh. Aku melihat cahaya silau di belakangmu dan aku terpaku. Kita sempat berhenti, mengambang di udara seperti balon yang tersesat lalu kamu goyah, tersadar bahwa kita telah sampai di ketinggian dimana rumah dan gedung jadi semacam miniatur. Kamu ketakutan dan langsung memelukku hingga aku bisa merasakan detak jantungmu di dadaku. Lalu kilatan perasaan menjalar ke seluruh penjuru nadiku, aku mengepakkan sayapku sekali kemudian kita terbang lagi. Matamu terpejam. Aku membawamu pada segumpal awan paling dekat, berwarna putih keabuan. Lalu kita melompat-lompat seperti anak kecil hingga kelelahan. Ketika senja merayap di kejauhan dimana langit berubah oranye kamu terdiam dan jadi sendu. Kamu bercerita sebenarnya pada mulanya kamu tidak menyukaiku bahwa ada lelaki lain di hatimu namun sudah beristri, dan kamu bertanya-tanya mengapa setiap lelaki yang membuat jantungmu berdetak kencang selalu saja sudah beristri. Pada mulanya kamu muak dengan kepolosanku. Namun aku terlalu menyedihkan bahkan untuk kamu abaikan. Bahwa sepasang sayapku yang mengembang saat itu terlihat terlalu besar, tidak seimbang dengan ukuran tubuhku yang kecil. Bahwa aku terlihat ganjil. Dan perlahan kamu  hanya berusaha mencintaiku. Aku membeku mendengar semua ucapanmu, tiba-tiba merasa kedinginan sendiri seiring malam yang menyergap. Ketika bintang pertama muncul aku jadi merasa jauh darimu lalu ketika bulan mencapai penampakan paling sempurnanya, kamu bilang bahwa saat itu kamu meragukan perasaanmu terhadapku, bahwa kamu tidak bisa membayangkan seandainya kita berdua hidup berdua di bulan itu--gambaran yang seharusnya romantis jika kamu bersama orang yang paling kamu cintai. Jujur saja ucapan itu lebih terdengar konyol  di zaman dimana orang telah berhasil mendarat di bulan dan membuktikan bahwa di tempat itu  tidak terdapat kehidupan. Mulanya hanya mati rasa namun perlahan amarah menyelimutiku. Seiring amarah yang membuatku menyala aku bergegas menujumu. Entah bagaimana kamu jadi bersinar di mataku seperti bintang-bintang di langit malam itu dan membuatku bernafsu. Di malam sunyi itu, di atas segumpal awan yang berarak pelan itu kita bercinta.

Aku masih tertidur karena kelelahan, tidak terusik sedikitpun ketika kamu beranjak dariku, perlahan, menuju tepian awan. Aku terbangun sendirian, meradang mendapatmu tidak lagi di sisiku. Aku kepakkan kedua sayapku, malahan merasa lelah sekali, bahkan untuk sekedar marah, tanpa sengaja melihat ke arah tepian awan yang sama dengan tempat dimana sebelumnya kamu merentangkan kedua tangan indahmu untuk kemudian menjatuhkan diri. Ketika cahaya fajar pertama meretakkan kepingan malam kelam itu, aku hanya merasa kedinginan dan tak berdaya. Seiring cahayanya yang berwarna merah merekah aku jadi membayangkan darah. Ada sesuatu yang membuat kesakitan di ulu hatiku. Tiba-tiba dengan perlahan sayapku berguguran satu per satu.

Minggu, 12 Desember 2010

The Social Network

Seiring waktu bergulir semakin aku menyadari bahwa kebutuhanku untuk menulis sebuah posting di blog ini adalah caraku menunjukan diri di hadapan dunia. Seperti seseorang yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk kekasihnya agar kekasihnya tahu bahwa dia ada. Setelah aku membaca respon di posting-posting terdahulu dimana tidak semua komentar sesuai dengan apa yang aku harapkan, aku juga menyadari bahwa blog ini semacam jurnal psikologis dan filosofis dimana setelah untuk kesekian kalinya aku membaca ulang, aku akan semakin berkembang. Ketika seseorang menasehatiku tentang bagaimana seharusnya aku menjalani hidupku, bersikap, bahkan untuk sekedar merasa, pada mulanya aku terbakar amarah, bertanya-tanya mengapa mereka harus mengucapkan hal-hal semacam itu, mengabaikan perasaanku, menjadi guru kehidupanku tanpa kuminta, aku mulai mengembangkan rasa benci, namun semakin lama hal itu membuatku merana, lalu aku berusaha keras untuk menemukan resolusi untuk semua ini.

Lalu aku juga terjaga pada kemungkinan bahwa aku menulis posting ini untuk menunjukan bahwa aku cukup bijaksana, bahwa beginilah caraku menangani hidupku dan aku baik-baik saja. Semacam pembelaan diri untuk tuduhan-tuduhan yang bahkan kusangkakan sendiri. 

Lama-kelamaan aku menjadi psikolog sekaligus filosof konyol. Ketika seseorang memberiku informasi tentang kadar nutrisi suatu makanan, efek buruk suatu hal, atau bahwa seharusnya aku melakukan sesuatu, aku mulai beranalisis; apa motivasi mereka, apakah mereka pamer, apa mereka sungguh-sungguh peduli, mengapa mereka begitu mengusik. Tuhan, apa aku termasuk si anti sosial itu? Apa hanya aku yang terusik oleh pendapat orang lain? Lalu ketika aku mulai mengurai semua hal itu dengan menulis posting ini, aku mulai takut terjangkiti penyakit kegilaan. Ha...ha...ha

Aku tergoda untuk menutup jurnal ini dengan sebuah kesimpulan; bahwa ini hanyalah sebuah cara bersosialisasi. Seperti terkadang kita tergoda untuk mengirim permintaan pertemanan kepada seseorang asing dalam facebook karena dia teman dari teman kita, lalu kita terhubung begitu saja, karena begitulah cara dunia bekerja. Mengapa harus selalu mempertimbangkan motivasi atau perasaan, apakah kehidupan sedingin itu? Apa salahnya sebuah benturan, absurditas, atau suasana kikuk? Aku tidak ingin menyimpulkan sesuatu kali ini karena itu membosankan, karena ini bukan suatu karya ilmiah. Aku hanya ingin bersulang, merayakan intervensi orang lain dalam kehidupan kita, konflik, bahkan kegilaan yang mulai menjangkiti pikiranku. Untuk kali pertama aku ingin diserang, lewat posting ini, karena aku takut kesepian.