Selasa, 28 September 2010

Surat Untuk Calon Istriku ( I )

Dear, Kasih
Aku menulis surat ini pada suatu malam yang dingin di kota Ruteng dimana ketika itu aku merasa sendu. Aku hanya memandangi sepetak kamar kontrakanku yang berantakan--bukannya ingin kamu anggap maskulin, aku hanya seorang pemalas kelas kakap. Itu saja. Maafkan aku, Sayang, mungkin kamu tidak menyukai hal itu dan terpaksa membereskanya suatu hari nanti. Membereskan hidupku yang berantakan tanpamu. Kamar sempit itu membuatku jadi bertanya-tanya; adakah ruang yang cukup luas untukku di hatimu? Ruang yang cukup luas untukku marah dan menjadi orang lain? Ruang yang cukup luas untukku menangis karena merasa seperti seorang pecundang? Hari-hari terus bergulir dan kita harus berbagi ranjang, berbagi masa lalu, masa depan, perasaan, kisah-kisah, dan aroma tubuh satu sama lain. Berbagi kehidupan kita yang absurd. Aku hanya ingin mendekapmu dan memimpikanmu di tidurku.

Dear, Bidadari
Kamu selalu cantik di mataku, percayalah, walaupun aku seorang munafik nomor satu. Percayalah bahwa aku lelaki paling sempurna yang pernah kamu temui dalam hidupmu. Percayalah, Cinta, dengan keras kepala, bahwa aku akan membawamu ke suatu taman bunga dengan warna pelangi dimana seribu kupu-kupu mengelilingi kita berdua Aku hanya ingin kamu percaya, seperti aku akan selalu percaya kepadamu.

Dear, Kupu-kupu
Apakah aku cukup romantis? Apa aku cukup representatif untuk sosok pangeran dalam dongeng itu, Putri? Apakah rekening tabunganku cukup? Aku akan berpindah dari satu daerah ke daerah lain, begitulah pekerjaanku, namun aku tak akan berpindah dari hatimu. Aku berjanji. Aku bukan politisi, jadi percaya sajalah kali ini. Akan kuceritakan kisahku mengelilingi pulau-pulau itu dalam surat-suratku agar kamu dapat merasakan keterpesonaanku, kesepianku, atau kerinduanku padamu. Semuanya. Sekarang aku di Ruteng, Manis, merasa kedinginan, memandangi barisan pegunungannya yang kelam, kemudian merasa hampa. Hanya kamulah yang sanggup mengisi kehampaanku itu. Hanya kamu.....

Dear, Permata
Perkenankan aku bertanya padamu. Apakah kamu masih akan mencintaiku ketika aku bukan diriku sendiri. Ketika aku menjadi lain sama sekali? Apakah kamu akan setia menunggu kepulanganku pada suatu kali cuti? Hari Raya? Tidur sendirian di malam-malam gelapmu? Membesarkan anak-anak kita yang lucu? Mengerjakan semua tetek-bengek rumah tangga tanpa aku? Bersediakah kamu menemaniku hingga nanti aku renta dan lupa. Namun aku takkan bisa lupa padamu. Takkan bisa.....

Dear, Cahaya
Surat ini dipenuhi kalimat-kalimat gombal yang aku sendiri tidak sanggup mempercayainya. Dan aku, dengan segenap hatiku, hanya meminta kamu percaya.........


Ruteng, 29 September 2010
ttd.
Belahan Jiwamu.





NB : Kalau kamu bukan calon istriku tapi terlanjur membaca surat ini, tolong jaga ini sebagai rahasia. Jangan sampai dia tahu, nanti dia malu.

Rabu, 22 September 2010

Pertemuan, Kenangan, dan Kilasan Masa Depan

Sebaiknya kita berterima kasih kepada facebook, dialah yang membentuk hidup kita sekarang. Hati kita seperti dililiti kabel-kabel telepon kasat mata yang saling berhubungan, sejauh apapun. Senaif apapun kita, jadi lebih terbuka--sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kemudian acara-acara reuni dihidupkan kembali. Seperti mengunjungi museum kenangan-kenangan dengan suka cita. Merayakan pertemuan.
Libur lebaran ini ada lima reuni. SD. SMP. SMA. Kuliah. Magang. Yang terakhir aku absen.
***
Aku tiba di Salatiga dua hari sebelum lebaran dan pada akhirnya bertemu keponakan baru yang ketika itu hampir berusia dua bulan. Kakak perempuanku hanya tersenyum menatapku seolah-olah berkata bagaimana semua ini bisa menimpanya. Anak itu berpipi merah seperti bayi kebanyakan dan langsung membuatku jatuh sayang. Pada sore harinya reuni sudah dimulai: buka bersama dengan teman satu kelas di SMA disertai rintik hujan. Kami dua tahun bersama menghabiskan masa-masa paling tak terlupakan dalam kehidupan kami ; musim asmara, lelucon, dan pencarian masa depan. Sebelum acara itu usai, kami berjanji akan tetap saling berkomunikasi walaupun nanti sudah berkeluarga dan mengulang acara semacam itu kembali.

Pada sore hari berikutnya jadwal reuni SD. Buka bersama di malam sebelum lebaran--malam-malam dimana ketika masih kecil aku habiskan dengan takbir keliling kampung sambil membawa obor. Aku memesan steak udang yang ketika hidangan itu datang jadi bahan lelucon karena ukurannya yang super kecil. Teman-teman menyuruhku makan pelan-pelan. Yang membuatku lega adalah bagaimana kami bisa cepat akrab lagi. Mereka sama menyenangkannya ketika masih SD. Kami membicarakan masa lalu dengan antusias walaupun sedikit lupa. Permainan-permainan masa kecil. Menu dalam kotak makan siang kami. Guru-guru. Aku hanya tertawa mengenang cerita salah seorang teman perempuan yang mengantarku suatu kali pulang ke rumah dimana waktu itu aku menangis di kelas karena tidak dapat membaca tulisan di papan tulis dengan jelas. Sejak saat itulah aku mulai mengenakan kaca mata rabun jauh yang kupersalahkan seumur hidup telah membuat hidungku membesar. Kami sepakat bahwa tidak ada yang berubah dari kami, setidaknya tidak ada yang berganti kelamin, hanya seseorang jadi lebih gemuk, yang lainnya gondrong seperti penyanyi rock, atau jadi lebih tegas karena latihan militer. Kami sempat kursus singkat bahasa spanyol dengan seorang teman, membicarakan permasalahan usaha versus kuliah--beberapa dari teman kami sedang merintis usaha namun malas sekali menyelesaikan kuliah mereka, dan mengulas tema 'pengusaha versus pajak', hanya untuk mengolok-ngolokku. Teman perempuan yang dulu mengantarku pulang itu membawa sang pacar yang ternyata teman kuliahku. Aku cukup kaget, namun wajah mereka terlalu serupa--mungkin memang berjodoh--yang mengingatkanku pada pasangan dalam film Slumdog Millionaire. Aku katakan pada teman kuliahku itu seharusnya dulu aku menembak pacarnya ketika gadis itu mengantarku pulang sehingga aku tak menyesal sekarang, aku menangis waktu itu berpura-pura rabun jauh hanya agar kami bisa berduaan. Tentu saja aku bercanda namun hal-hal semacam itu selalu menjadi pikiran, dimana dalam benakku tergambar bahwa aku cowok menyedihkan di pinggir peron itu, yang ditinggalkan cintanya naik kereta. Pada kenyataannya, satu-satunya hal yang membuat kami semua bersedih waktu reuni itu adalah fakta bahwa sekolah kami sudah dibubarkan karena dianggap gagal.

Pada lebaran hari pertama; sholat id di lapangan, ziarah ke makam nenek, dan pergi ke Suruh--sebuah kecamatan di luar Salatiga--untuk mengunjungi sanak saudara. Hal-hal yang terus berulang dari tahun ke tahun. Kakek-nenek semua telah tiada. Kemudian tahun-tahun bergulir dan beberapa orang pergi. Aku tak bisa membayangkan bila nanti kedua orangtuaku tiada, merekalah penghubungku, pemandu silaturahmi dari rumah ke rumah, beberapa dari saudaraku itu ada yang tak kukenali atau bahkan sekedar tahu namanya pun tidak, untuk pembicaraan aku hanyalah pendengar yang baik, dungu bahkan. Mereka berdualah yang memborong semua pembicaraan. Aku jadi merasa kecewa sendiri tumbuh menjadi semacam orang urban penyendiri yang hanya menikmati hidupnya yang hampa.]

Acara reuni berikutnya: SMP tahun pertama. Entah mengapa banyak sekali yang terlupa mengenai masa-masa itu, yang kuingat hanyalah tahun itu aku mulai berjerawat dan jadi kurang percaya diri. Waktu itu aku diingat sebagai ketua kelas--suatu kualitas yang tak kumiliki sekarang dan bagaimana aku selalu dipuji guru sejarah kami yang terkenal galak, karena nilai ulanganku. Acara itu berlanjut dengan kunjungan ke rumah salah seorang teman kami yang telah tiada. Kami bertemu sang ibu dan ikut berduka atas kematian putrinya setahun silam. Ibunya menceritakan kisah tragis kematian putrinya dalam suatu kecelakaan yang sama seperti dalam gambaran mimpinya hingga menitikkan air mata. Aku hanya menduga sudah berapa kali dia menceritakan hal itu dan berduka dengan cara semacam itu.

Reuni terakhir adalah reuni kuliah. Kami berkumpul di rumah salah seorang teman perempuan yang tengah hamil lima bulan ketika itu. Kami semua gembira melihat kehamilannya dan tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Aku menghadiahinya selendang untuk menggendong bayinya suatu saat nanti dan selimut bayi yang kuminta dari kakak perempuanku yang dibanjiri hadiah paska persalinan. Kata kakakku aku terlalu terburu-buru menghadiahi hal semacam itu, tapi kupikir menghadiahinya hadiah pernikahan pun sudah terlalu terlambat. Melihat temanku itu jadi membuatku bertanya-tanya apa aku nanti punya cukup nyali untuk merebut seorang gadis dari tangan orang tuanya lalu menghamilinya? Punya cukup uang untuk membuat pesta pernikahan, membangun sebuah rumah, membesarkan anak-anak, dan membeli sebuah mobil? Seribu harapan untuk satu cowok melow seperti aku ini.

Untuk reuni magang diadakan di kantor pajak di kawasan kota lama Semarang dimana dulu aku di sana selama delapan bulan. Aku tidak ikut, selain karena jaraknya yang agak jauh, ketika itu harinya cerah, aku memutuskan mengajak ayah jalan-jalan di sepanjang Sudirman di pertokoan dua tingkat dengan warna cat mencolok, memasuki beberapa toko elektronik untuk melihat-lihat mesin cuci dan mencoba menawar dengan usaha terbaik kami. Akhirnya kami membeli sebuah mesin cuci yang masih saja diragukan kemampuannya oleh ibu yang biasa mencuci di kali dan sebuah TV LCD yang terlihat terlalu mewah untuk rumah kami yang bobrok. Walaupun begitu kedua barang itu adalah dua barang pertama dalam dua puluh tiga tahun hidupku yang menurutku mahal namun aku tak merasa menyesal telah membelinya. Sama sekali. Bahkan tanpa perlu diyakinkan lagi.