Kamis, 21 Oktober 2010

KISS ME!

Tiba-tiba aku menjadi sosok ini; kurang percaya diri, kikuk, berhidung besar, dengan kaca mata bodohnya, duduk seharian di bagian depan suatu kantor pajak di suatu kota yang berteman dengan kabut dan hujan, memberikan senyuman formal kepada orang-orang, menerima laporan pajak mereka, merekamnya dengan komputer, mencetak tanda terima, membubuhkan tanda tangan, dan stempel. Aku jadi ingin distempel di jidatku: KISS ME! Kemudian pada sore harinya pulang ke kontrakan tercinta dan mulai mengetikkan kalimat-kalimat konyol ini:



Aku berusaha tidak memikirkanmu. Di hadapan layar monitor dungu di kantorku. Di hadapan cewek cantik yang menyodorkan laporan pajak kepadaku. Di piring nasiku. Di langit malamku. Di saat aku merasa putus asa. Di malam dingin sebelum aku memejamkan mata.

Aku malu menjadi sosok yang lemah di hadapanmu. Gentar di hadapan dunia. Terkadang aku berharap menjadi lebih tinggi dan gagah. Pemberani. Tanpa ragu memukul mantan pacarmu yang berengsek. Sehingga kamu merasa aman di dekatku. Sehingga ketika kamu bersedih dapat bersandar di bahuku. Sehingga kamu sungguh-sungguh membutuhkanku.

Aku bermimpi suatu kali menggenggam tanganmu dengan penuh keyakinan. Membisikkan kata-kata ke telinga indahmu bercerita seolah-olah hidup itu rahasia dan menarik. Memelukmu dari belakang dan kamu bergeming tanpa berusaha melepaskan diri dariku. Menyusuri rambutmu dan mengecup matamu. Membuatmu jatuh cinta hanya dengan melihatku. Membuatmu bersyukur terbangun di suatu pagi menyadari bahwa aku di ada sisimu. Bahwa aku akan menjadi ayah dari anak-anakmu.



Setelah menyelesaikan tulisan ini aku beranjak menghampiri cermin di kamarku, membetulkan letak kaca mata lalu tersenyum melihat sosok menyedihkan di sana. Aku jatuh hati padanya.

Selasa, 12 Oktober 2010

Kelebayan yang Manis

Aku ingin meromantisir senyummu, yang membuatku bersyukur jadi belajar bahwa kebahagiaan itu sederhana. Aku akan menatap matamu sebentar karena aku memang tak tahan. Aku ingin selebay ini seumur hidupku karena kamu memang berlebihan buatku. Dalam masa kanak-kanakku aku pernah berusaha menarik perhatian seorang teman perempuan kecil yang manis dengan lelucon-lelucon--kenangan itupun jadi lelucon manis dalam ingatanku--namun kalimat-kalimat ini walaupun mungkin membuatmu tertawa bukanlah lelucon sama sekali. Paling tidak aku berusaha jujur aku bukanlah pujangga yang bisa membuatmu menjerit walaupun aku menantikan hal itu darimu, kelebayan yang manis.

Aku jadi terkenang tentang peperangan yang pernah terjadi yang kubaca dalam buku sejarah maupun yang masih berlangsung yang kini disiarkan televisi. Aku bersyukur bisa bersamamu dan merasa begitu damai di saat-saat tertentu. Peperangan di atas bumi ini terus bergulir karena selalu ada kesalahpahaman dan hidup kita pun terus bergulir. Terkadang kita salah mengerti satu sama lain dan menjauh, namun aku terlalu mencintaimu dan itu indah. Terkadang terlintas dalam benakku ingin memberikanmu seikat bunga paling indah seperti yang seorang pangeran lakukan. Berlutut di hadapanmu pada suatu senja yang merah. Meninggalkan hingar-bingar peperangan yang berkecamuk di muka bumi kita ini dan larut dalam suasana romantis itu. Mencintai rambutmu. Mencintai jari-jemarimu. Mencintai pikiranmu. Mencintai kemarahanmu. Mencintai setiap detil-detil-mu.

Menyusuri trotoar di masa SMA ketika musim angin banyak sekali daun-daun berserakan, aku sering bertanya-tanya bagaimana petugas kebersihan kota membersihkan itu semua. Ada suara gemerisik ketika menginjak daun-daun itu, begitulah juga perasaanku saat mendengar suaramu. Suaramu menggema sampai ke relung hatiku. Menguatkan aku yang serapuh dedaunan itu. Terkadang aku merasa ngawur dengan semua tulisan ini: tentang lelucon, perang, dedaunan, namun sebut saja semua ini sebagai kelebayan yang manis. Seperti ketika kamu kaget lalu berteriak manja, dan terkadang sampai mencubit lenganku sampai sakit.

Entah sampai ke mana tulisan ini berakhir. Cinta memang indah. Aku membayangkan selembar uang lusuh yang sering kudapati di Ruteng ini yang telah berpindah dari ribuan tangan. Karena kita mempercayai nilainya kita menyimpannya dalam dompet atau membayarkannya. Aku jadi berfikir seperti itulah cara kerja cinta, bukannya yang diukur dengan uang, namun karena aku percaya pada nilai cinta yang berpendar dalam hatiku itu aku yakin bisa membeli kebahagiaan. Aku yakin akan mendapatkan hatimu yang indah. Paling tidak pemikiran semacam itu bisa menjadi landasan kedamaian atau lagi-lagi hanya menjadi sekedar kelebayan yang manis.


Minggu, 10 Oktober 2010

Celana Dalam Favorit

Ini tentang perasaan terkalahkan seperti ditolak seorang perempuan. Lalu hujan turun dan aku mencoba menghentikannya dengan doa. Dapatkah hujan menghapuskan kemiskinan? Hujan hanya jadi membuatku sedih.
***

Dulu aku sering berlari menyusuri trotoar kenangan terburu-buru menuju SMA-ku. Lalu gerbang sekolah ditutup di hadapan kita. Kehampaan masa muda jadi menyelimuti kita. Aku ingin menari balet di hadapan semua orang biar mereka tahu kalau aku mengagumkan. Kalau masa mudaku menggairahkan, tidak seperti hidup mereka yang membosankan. Beranjak dari motif tegel trotoar yang berbentuk segi lima itu menuju masa depan yang tak terbatas. Aku jadi ingin berteriak sekuatnya. Lalu terbang.

Aku anak muda yang membaca buku filsafat di masa SMA. Jenis yang berkaca mata, dengan jerawat, dan sebut saja cupu. Mungkin aku termasuk si kutu buku absurd itu yang lama-lama kelihatan seksi. Yang percaya dengan memahami kehidupan akan membuatku mendapatkan cewek paling keren se-SMA. Lalu bertapa dengan buku-buku dan berharap bertransformasi jadi sesosok cowok korea yang imut yang digandrungi cewek-cewek labil.

Ini hanya kilasan kenangan tentang idealisme. Aku hanya ingin menuju tempatku sekarang. Berdoa dengan keimanan seorang ulama. Surga ada di kehidupan berikutnya, kawan. Dunia ini dipenuhi bau amis kemiskinan dan kita jadi mengutuk kapitalisme namun tetap saja memborong semua hal di mall-mall dengan keimanan seorang pendeta sambil mendorong troli belanja dengan khusyuk seperti menyusuri gereja.

Aku melihat rumah-rumah kayu sederhana di Ruteng ini, anak-anak sekolah yang harus berjalan jauh untuk sekolah, pemuda-pemuda pengangguran yang bermimpi menikah, dengan kepahitan dan kemelengosan, bertanya kenapa semua uang di dunia ini hanya jadi milik segelintir orang. Aku membawa idelisme konyol ini seperti celana dalam favorit. Aku rajin mencucinya untuk aku pakai lagi. Aku jadi merasa seksi.

Aku akan jadi filsuf kali ini. Anggap aku membosankan. Kita pikir kita membenci kemiskinan namun jauh dalam hati kita hanya cemas terjerumus ke dalam lumpur itu, lalu karena kita tak cukup kaya kita mengutuk kapitalisme seperti nenek-nenek, diam-diam kita memendam rasa iri pada orang kaya, dan berandai dengan putus asa kalau kita seperti mereka pasti akan hidup bahagia. Paling tidak aku begitu. Aku ingin mengalahkan sistem itu namun aku tak punya jalan keluar. Aku hanya anak SMA yang berlari menyusuri trotoar mimpi suatu kali dan mendapati gerbang sekolah itu telah ditutup sekali lagi. Bahwa hidup tidak melulu idealisme, karena surga sudah menanti di kehidupan berikutnya.
***

Selang tak lama setelah hujan itu reda kabut perlahan menutupi kota. Aku jadi merasa agak lega, selain karena kabut menyamarkan kemiskinan daerah ini yang sendu, aku jadi teringat bahwa hari itu aku sedang memakai celana dalam favoritku. Aku jadi merasa seksi.




Minggu, 03 Oktober 2010

Menafsir Kebahagiaan

Bagaimana cara melewati suatu hari Minggu dengan sempurna? Aku tak bisa mengunjungi salah satu katedral indah di kota ini untuk berdoa karena aku seorang muslim. Seharusnya aku lari pagi, menyusuri jalanan Ruteng yang lengang menuju bandara untuk melihat sebuah pesawat dari Kupang mendarat, namun malahan masih tertidur. Aku lelaki kurang sigap, bagaimana nanti aku akan membahagiakan istriku? Aku bangun jam tujuh kemudian sholat subuh dilanjutkan sholat dhuha (kuharap ayah-ibuku tak membaca blog ini). Apa Tuhan menerima ibadahku itu. Aku mulai jadi seenaknya sendiri seolah-olah dunia ada dalam genggaman tanganku.

Aku mengajak salah seorang teman maen game PES 2010--game yang menghangatkan malam-malam kami yang dingin. Aku menang di pertandingan pertama namun kalah di dua berikutnya. Kami saling mengejek seperti anak remaja. Ada rasa kepuasan yang aneh setelah menang dan ada rasa kekecewaan yang menggiringku pada kesenduan setelah aku kalah. Lucu juga memikirkan hal itu. Perut terasa lapar. Aku sarapan teri yang dimasak salah seorang teman yang lain dimana ketika sedang memasaknya dia membubuhkan kuliah tentang kehidupan kepadaku. Bagaimana nanti kalau istri kita hamil dan terobsesi makan teri?

Aku ingin menelpon rumah namun kuurungkan niat itu karena aku tak punya bahan pembicaraan (menyedihkan sekali), apalagi ibu sedang tidak di rumah karena mengikuti suatu diklat untuk guru SD selama satu minggu. Aku memutuskan membaca buku yang sudah kubeli dua tahun silam, namun belum juga selesai. Aku membaca di halaman belakang kontrakan, bersandar pada salah satu sisi temboknya dan merasakannya sebagai suatu kemewahan sederhana, menikmati matahari, dan sesekali memandangi ilalang dan barisan tanaman ketela pohon yang masih setinggi lutut orang dewasa. Anginnya bertiup pelan, sesekali membolak-balik lembar-lembar buku dan membuatku kebingungan. Buku itu mengulas pemikiran Gadamer--jenis-jenis buku serius yang mulai kubaca semenjak SMA hanya untuk menguj kesabaranku, lebih banyak yang tak kupahami, dan menganggap menyelesaikannya sebagai sebuah prestasi tersendiri. Terkadang aku merasa konyol dengan hal itu namun kupikir aku hanya kesepian saja. Aku sama membosankannya dengan buku itu namun kegantenganku sama sekali tidak membosankan. Setelah mulai berkeringat karena panas, aku putuskan kembali ke kamar untuk melanjutkan membaca, namun malahan jatuh tertidur.

Kemudian berakhir dengan blog ini.
***
Apakah hari ini jadi Minggu yang sempurna? Dengan menulis blog ini aku bisa membuat hari Mingguku menjadi apa saja. Seperti menonton Oprah membuatku bahagia. Atau mendengarkan musik alih-alih mencuci baju kotor yang menumpuk. Menghirup kopi murahan di pagi hari. Sarapan nasi teri. Makan siang dengan nasi kuning. Maen PES. Menulis di blog. Ini semacam pembelaan cowok jomblo kesepian yang bekerja di kota kecil tanpa hiburan. Selalu ada saat-saat dimana aku merasa ringan dengan semua rutinitas datar ini, bahwa aku bisa melangkahkan kakiku untuk hidup di tempat-tempat baru yang ajaib dan menertawakan nasib yang kurang beruntung ataupun perasaan sendu yang diam-diam menyelimutiku seperti pakaian berkabung.

Jujur saja aku tak paham apa isi buku yang kubaca hingga setengah halaman lebih itu. Namun dalam benakku, dari buku itu aku belajar bagaimana menafsirkan tanda-tanda, seperti membaca langit atau kata-kata. Seperti blog ini; apakah dengan mencermati kalimat-kalimat yang kutulis ini kamu jadi ikut merasakan kebahagiaan atau kesenduanku? Apakah kata-kata yang kugunakan bisa terasa tepat dengan apa yang ingin aku gambarkan dengan segala keterbatasannya? Bahwa itu semua tergantung penafsiraanmu, seperti motivasi menulisku ini. Aku hanya membayangkan untaian kalimat-kalimat ini berpendar dan mengambil jalannya sendiri menuju sejarah. Aku akan membacanya satu kali lagi. Ini adalah buku yang terbuka............