Rabu, 07 Desember 2011

Agak Relijius

Aku sudah dua puluh empat tahun. Pembukaan posting semacam ini pasti akan sangat menyedihkan. Aku berakhir dengan masih mengurusi masalah jerawat, bau mulut, atau bau badan, seolah-olah aku masih anak remaja. Aku bangun kesiangan dan kamarku berantakan. Aku bekerja tanpa ambisi, hanya karena takut akan kegagalan. Aku sudah tidak bisa menjadi apa saja; superstar atau astronot kecuali diriku sendiri. Sangat keras kepala dan membela diri. Aku masih harus mendefinisikan diriku sendiri, masih saja dilanda kegalauan, dan takut menghadapi masa depan. Aku di sini, terengah-engah mengejar bayanganku sendiri dan kesepian. Menatap nanar pada dunia, bukannya marah, aku takut aku hanya berputus asa, jika tidak boleh disebut hampa karena akan lebih terdengar mengerikan. Aku masih berjuang memenuhi sholat lima waktu. Lucunya, kupikir aku lebih galau karena iman ketimbang cinta, aku merasa seperti pastur atau biksu. Agak relijius. Agak bangga dengan kerelijiusanku itu.

Aku tahu aku hanya satu orang dari milyaran orang di bumi ini. Terkesan remeh. Mungkin aku tak akan seterkenal gurita yang bisa meramal siapa pemenang piala dunia pada tahun 2010 atau seekor simpanse yang pernah ke luar angkasa. Siapa yang peduli? Bahkan seluruh bumi pun masih terlihat kecil untuk ukuran jagad raya. Tapi aku ingin dicntai. Sialan tema ini lagi. Aku ingin menjadi berarti paling tidak bagi seseorang. Tentu saja keluargaku sangat meyayangiku karena aku memang lucu. Namun aku sedang membicarakan cinta sekarang. Aku akan menikah suatu saat nanti, tidak dalam waktu dekat sepertinya, suatu hari dengan acara ijab kobul yang mendebarkan itu. Siapapun dia sekarang sedang melintas dalam benakku dengan kelebat gaunnya yang memesona namun wajahnya tertutup cadar. Sialan, siapakah dikau gerangan? Munculah di hadapanku sekarang. Aku memaksa. Aku akan mati esok hari oleh karena itu nikahi aku hari ini.

Agak relijius.

Aku tidak berbohong. Paragraf kedua tadi hanyalah dorongan romantisme-ku yang menyeruak. Aku lebih sering memikirkan betapa berdosanya aku dibanding memikirkan gambaran sesosok istri. Aku dihantui rasa bersalah bahwa aku tidak berusaha cukup keras untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Aku menarik garis sendiri, melanggarnya sendiri. Berdoa namun tanpa harapan. Berjalan namun hatiku diam. Seperti pecundang namun mengasihi diri sendiri. Dalam posting ini aku menganalisis diri namun aku tahu aku masih saja membela diri. Sangat keras kepala dan membela diri. Apakah kesimpulannya aku agak relijius namun sedikit romantis? Aku masih harus mendefinisikan diriku sendiri. Aku tahu aku hanya satu orang dari milyaran orang di bumi ini. Terkesan remeh. Mungkin aku tak akan seterkenal gurita yang bisa meramal siapa pemenang piala dunia pada tahun 2010 atau seekor simpanse yang pernah ke luar angkasa. Siapa yang peduli? Bahkan seluruh bumi pun masih terlihat kecil untuk ukuran jagad raya. Tapi aku ingin terbangun di suatu hari mendengar rintik hujan dan mendapatimu tertidur pulas dalam pelukanku, merasa bahwa dunia ada dalam genggamanku, namun aku tahu aku takkan ragu untuk membangunkanmu untuk sholat berjamaah karena waktu subuh yang cepat beranjak pergi. Aku romantis dan tentunya, agak relijius.

Selasa, 25 Oktober 2011

Sepetak Dunia dimana Cinta Pelan-Pelan Membunuhku

Aku ingin berdiri di bawah derai hujan di depan jendela rumahmu. Menyanyi bukan melulu dengan suara namun lebih dengan hatiku yang basah kuyup oleh cinta. Aku akan menggigil karena nafsu yang pelan-pelan membunuhku. Aku kedinginan dan rasa sepi menggelitik kulitku. Hatiku membengkak karena rindu padamu. Aku merasa semua gigiku copot dan ingin melahapmu dalam sekali usaha. Aku menginginkan dirimu dengan rasa putus asa. Ingin rasanya kupecahkan jendela kamarmu, menerobos masuk, dan memelukmu ke dalam dadaku yang bertalu-talu.

Namun aku di sini, sepetak dunia dimana baju-baju kotor belum dicuci, aroma menjijikkan, dan mimpi-mimpi mesum. Merasa galau sendiri setiap kendaraan melaju di luar. Di luar begitu dingin dan kejam sementara bintang-bintangnya tak berhenti bercahaya di angkasa. Kamu melintas di benakku seperti seorang pencuri, mencuri hati dan seluruh emosiku. Aku tak berdaya. Aku memikirkanmu: sebuah bintang yang sendirian di suatu ufuk, berpijar di hadapanku, berkelap-kelip menggodaku.

Aku membayangkan menggenggam tanganmu dan merasa sangat yakin. Kita meninggalkan kota di suatu malam yang gaib. Mendengarkan suara malam yang hening dan detak jatung kita yang diburu cinta. Kita menyalakan cinta dalam hati kita yang beku. Kobarannya membayangi langkah-langkah kita yang ragu. Kamu bertanya kita akan ke mana sementara bayang-bayang kota mulai memudar di belakang kita. Wajah kita menggelap. Aku memelukmu dengan rasa takut. Sampai dimana cinta kita akan berlabuh? Dunia begitu mengerikan. Kita memasuki hutan untuk bercinta di bawah sinar bulan. Kita dua manusia yang diperbudak nafsu dan merasa tersiksa.

Jalan ini yang kita tempuh. Belukar ini dengan duri-duri. Kota dengan kemunafikan dan kekuasaannya telah melukai harga diri kita. Kita anak muda yang memberontak. Bermimpi bergerilya di rimba raya seperti Sudirman merencanakan revolusi yang menggulingkan pemerintahan korup dan membakar korporasi-korporasi yang mengeksploitasi bumi kita. Kita ingin membuat perubahan namun kita sendiri cemas seperti apa rupa masa depan. Bahkan terkadang cinta kita terasa rapuh. Aku merasa mengelabuimu. Aku menggambar dunia yang mengerikan di langit suatu malam untukmu. Aku sesosok iblis yang menggiringmu ke neraka.

Namun aku di sini, sepetak dunia dimana baju-baju kotor belum dicuci, aroma menjijikkan, dan mimpi-mimpi mesum. Merasa galau sendiri setiap kendaraan melaju di luar. Merasa, bahkan dengan kepuitisan ini, cinta itu seperti maut, yang membekapku dengan nafsu namun pelan-pelan membunuhku.

Senin, 03 Oktober 2011

Kamu Adalah Aku

Pernahkan kamu mengalami derai hujan di saat meninggalkan kota tempatmu dilahirkan? Cerita cinta, sudut kota, dan kenangan menghantuimu dari belakang dan mencekik lehermu dengan geram. Kamu tersenyum kecil dan menghela nafas menegaskan diri bahwa hidup terus bergulir dan semua percikan perasaanmu seperti kembang api di malam tahun baru yang begitu indah dan manis. Kamu meromantisir keadaan seolah-olah dalam adegan sebuah film dan kamu tokoh utamanya. Kamu murung dan menatap kosong pada pemandangan yang bergerak entah dari jendela bus, pesawat, atau kereta api kemudian menemukan bahwa dunia begitu luas, seluas hatimu. Ada godaan untuk menyanyikan lagu sendu favorit namun kamu hanya mendengarnya lewat earphone.

Kamu bertemu orang-orang baru dan membaca wajah mereka, kepribadian mereka, hal-hal yang menjengkelkan dari mereka. Kamu menghafal nama-nama baru dan menambah daftar teman facebook-mu. Kamu mengulang lelucon lamamu dan tetawa untuk lelucon-lelucon baru. Mengolok dengan jurus yang sudah kamu hafal dari SD dan masih merasa puas. kamu bertambah tua namun merindukan masa kanak-kanak. Kamu ingin sekali jatuh cinta sejatuh-jatuhnya seperti saat pubertas namun pikiranmu sekarang dipenuhi banyak pertimbangan dan hatimu terlalu keras membatu. Kamu menyadari sebagian darimu berkembang namun ada sudut dalam hatimu yang bertahan, diam-diam menutup diri dan tak ingin diganggu. Terkadang kamu menyadari sebuah hari, sebuah tanggal, sebuah jam. kamu merayakan ulang tahunmu dengan rasa kesepian. Kamu bercermin dan gemas melihat bertambah jeleknya kamu.Kamu beradaptasi seperti semua makhluk hidup yang masih bertahan di alam semesta ini. Kamu tidak lagi mengagumi bintang-bintang. kamu mudah jatuh bosan.

Kamu adalah sekumpulan tulang dengan otot-otot tertentu yang bisa berekspresi. kamu dipenuhi nafsu yang membakarmu namun membawa rasa bersalah. Kamu adalah pikiranmu. Kamu adalah ketakutanmu. Kamu adalah makhluk yang paling indah, sempurna sekaligus rapuh. kamu makan, buang air, tidur, kentut, dan terkadang berolah raga. Kamu bergerak walaupun sebenarnya kamu bisa menari. kamu ingin terbang namun kamu hanya bisa berenang. Kamu ingin mencium seseorang dan dicintai dengan cukup. Kamu adalah penyair paling romantis yang setiap mendengar derai hujan kamu ingin jatuh sakit, mungkin flu, dan dengan secangkir minuman hangat kamu beranjak tidur dan ingin memimpikan sesuatu yang tak mungkin terjadi di dunia nyata. Kamu adalah disaat matamu terbuka di suatu hari dan mendengar dengung kehidupan yang ramai dan merasakan sentuhan seseorang atau menyentuh suatu benda dan membaui aroma dan merasakan sebutir permen. Menghirup udara dan tertawa dan menangis. Kamu adalah apa saja kecuali menunggu kematian yang pasti namun terasa absurd, karena di saat itu kamu mulai memikirkan Tuhan paling tidak.

Kamu adalah aku.

Minggu, 02 Oktober 2011

Aku Hanya Ingin Menulis

Aku teringat sebuah saran kepenulisan yang pernah kubaca dalam suatu resensi kumpulan cerpen salah satu penulis favoritku, Jhumpa Lahiri, dimana dia menyebutkan bahwa jalan cerita itu tidak terlalu penting sepanjang kita rajin menulis kita akan menghasilkan sebuah karya. Namun aku tak pernah bisa mendisiplinkan diri untuk menulis. Aku menunggu inspirasi seperti pertapa dan di suatu hari yang buruk aku akan berputus asa mendapati obsesi menjadi penulis itu konyol. Dan sekarang aku mencoba menulis tanpa tujuan hanya agar merasa lebih baik di hari Minggu yang membosankan ini, beranjak dari hibernasi, menyantap mie instan, menonton film, dan mencuci pakaian. Aku sedang berupaya mendisiplinkan diriku untuk menulis sebuah posting, mengolah gaya bahasa dan menangkap nuansa, seolah-olah aku mahasiswa lagi yang dengan antusiasme semu-nya mencoba mengikuti suatu kuliah. Aku mencoba menyingkirkan pikiran kotor khas anak muda, menatap halaman putih sebuah blog gratis, dan mengisinya dengan huruf-huruf yang entah mengapa ketika menyusunnya jadi memiliki arti, paling tidak bagiku sendiri yang kesepian dan berputus asa ini.

Pada bagian ini aku masih belum memiliki inspirasi. Pikiranku melayang pada tema cinta yang menjemukan itu atau pada melankolisme kehidupanku yang tanpa tujuan. Aku bahkan merasa suatu bagian dari otakku yang menangani masalah antusiame pun enggan beroperasi, menggeliat malas seperti cacing kepanasan. Aku berharap pada testosteronku agar memberiku dorongan utnuk berimajinasi namun bahkan aku merasa kantung kelaminku mengkianatiku. Aku ditinggalakan sendirian seperti seekor ikan yang tergelepar di daratan, menatap langit yang menyilaukan dan ingin cepat-cepat mati. Namun aku tidak berhenti menulis. Belum. Aku masih ingin terus menulis sesuatu. Entahlah...

Pada bagian ini aku masih meraba-raba. Melankolisme mutlak harus ada dalam postingku. Aku adalah nada sendu yang terdengar minor dalam sebuah lagu. Aku mendayu-dayu seperti lagu melayu murahan. Aku murahan seperti pelacur oleh karena itu aku menulis untuk menggores makna. Ijinkan aku menulis dengan kesetanan, sesosok iblis dari suatu kegelapan merasukiku karena aku hampa. Aku ingin jadi sesosok malaikat yang rupawan namun mereka tak memiliki nafsu dan itu bodoh. Aku tahu aku bodoh dalam banyak hal namun aku rajin membaca untuk menutupi kebodohanku dan sekarang menulis untuk menghibur kebodohanku. Di suatu titik di dunia ini aku menulis dengan sendu berharap di suatu titik dalam hatimu yang membaca posting ini aku ada, baik lewat gambaran kebodohanku, melankolismeku, atau keabsurdanku. Aku pangeran yang merasa tampan sendiri yang berharap dengan polos lewat tulisan ini akan menemukan putri dambaannya yang cukup bodoh untuk memahaminya. Aku hanya ingin menulis. Menghabiskan hidupku dengan menyajikan kata-kata seolah-olah itu bermakna, seolah-olah aku akan hidup bersama kata-kata ini, kemudian akan menjadi  abadi dalam posting ini, mungkin juga akan menjadi abadi di hatimu duhai Putri nan elok jelita dimanapun kamu berada. Tangkap kodeku ini. Ini bukan morse atau bahasa komputer, ini jelas-jelas suara hatiku, teliti ketulusannya, keputus-asa-annya, kegalauannya. Aku akan berlari menyongsongmu seolah-olah hari esok akan dibanjiri sinar matahari, seolah-olah aku tak akan pernah mati, seolah-olah aku akan menciummu ditengah pembicaraanmu yang mengatakan betapa menjengkelkan tulisanku ini padahal sebenarnya kamu mencintainya.

Kamis, 15 September 2011

Ironi, Inspirasi, Imajinasi

Di kota ini aku tidak memerlukan ironi tentang merasa sepi di tengah keramaian, dalam dingin dan kesederhanaan kota ini aku berhak merasa sepi. Walaupun aku semakin tua dan mulai dihantui bayangan tentang pernikahan dan masa depan aku masih dicengkeram rasa takut bahwa aku akan menjadi lelaki gagal, kurang percaya diri, dan galau seperti seorang remaja jerawatan. Aku berusaha keras menenggelamkan diri dalam pekerjaan atau ke dalam lembar demi lembar buku-buku bacaan seolah-olah dengan melakukannya aku akan menemukan diriku sendiri mewujud menjadi sesosok lelaki sempurna. Belakangan ini orang-orang yang datang ke kantor, berkonsultasi mengenai masalah pajak denganku, mencoba mencairkan suasana kikuk yang aku  memang berbakat membuatnya dengan membicarakan Anak Ranaka yang mau meletus. Aku akan selalu menjawab bahwa aku melihat beritanya di televisi seolah-olah aku tinggal di pulau lain. Atau ketika beberapa hari yang lalu ada seorang petani yang berkonsultasi dengan mengeluhkan birokrasi yang lebih memihak ras tertentu ketimbang pribumi dengan gaya bahasa yang dramatis, membuatnya jadi semacam kuliah ekonomi yang membebaskan kaum tertindas, aku bahkan tidak tersentuh, sama seperti soal Anak Ranaka, aku merasa tidak relevan, bahkan untuk merasa kasihan atau sekedar menertawakannya. Di bulan September hujan sering turun dan aku masih merasakan irelevansi dengan dunia beserta persoalannya. Sekejab jadi merasa sebatang kara.

Pada malam harinya yang dingin aku akan menonton satu atau dua film kemudian tidur dengan gelisah kemudian terbangun dengan rasa pening kemudian rutinitas memelukku erat seperti seorang ibu. Aku berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sempat tertawa sendiri untuk pemikiran bahwa aku sedang mengalami fakir cinta, lebih mengerikan ketimbang fakir uang, yaitu dimana sesungguhnya aku hanya sedang membutuhkan sentuhan cinta yang lembut. Namun itu hanya romantisme dari seorang pemuda yang terobsesi menjadi penyair. Samar-samar aku meyakini bahwa kegalauanku terbentuk dari obsesi menjadi penyair itu. Aku sedang ingin menuliskan sesuatu namun dunia tidak berpihak kepadaku. Aku merasa tercerabut dan melayang dengan galau di luar angkasa yang hampa. Berharap sesosok alien menculikku dan membawaku ke planetnya di galaksi yang lain dengan pesawat super canggih yang berbentuk piring. Mungkin di planet itu sedang berlangsung kekacauan dan aku memang ditakdirkan akan menjadi juru selamat mereka. Hingga akhirnya aku pulang ke bumi dan mulai menulis sebuah novel science-fiksi. Kalau perlu aku akan jatuh cinta di dalamnya dengan sesosok alien dengan buah dada besar dan pandai memasak masakan aneh dari planetnya. Tema besarnya bisa disebut cinta intergalaksi dengan pesan moralnya sepanjang kita cinta kita bahkan bisa menikah dengan alien. Aku akan agak terhibur.

Sepanjang minggu kedua setelah lebaran, beranjak dari pertanyaan orang-orang tentang kekasih, aku sampai di tahap 'ingin melakukan apa', bukan tentang imajinasi mesum persetubuhan namun tentang hasrat yang lain, yang menggerakkan seperti roda atau baterai untuk sebuah robot. Aku merasa seperti seonggok robot karatan yang bahkan untuk mengeluarkan suara bip-bip-pun tidak berhasil. Sepanjang lebaran aku banyak menghabiskan makanan dan berharap menjadi agak berisi agar tidak lagi terlihat menyedihkan dengan tulang-tulang, namun menyedihkan ada dalam untaian DNA dalam genku dan aku tidak merasa keberatan. Aku akan berjalan-jalan sebentar seputar Ruteng untuk mencari ironi, kalau memang tidak ada alien, kupikir aku hanya sedang perlu mengisi bateraiku dengan inspirasi dan imajinasi, dengan begitu aku bisa mulai menulis lagi.

Senin, 08 Agustus 2011

Penyair Angkatan Lama

Beberapa detail mengusikku ketika seorang diri berjalan dalam kehampaan: tumpukan berkas di meja kerjaku di kantor, tumpukan piring kotor di bak cuci, atau menyalakan lampu di suatu malam dan mendapati kenyataan bahwa kamarku benar-benar berantakan. Pertanyaan yang muncul kemudian; sekacau apakah hidupku? Namun kegalauan semacam itu hanya mekanisme rasa bersalahku yang cuma sesaat. Masih saja aku akan tenggelam dalam kehidupanku yang menyedihkan itu. Seperti rasa bersalah yang nikmat.

Aku tahu tulisan ini akan mengarah kemana. Cinta. Untuk kesekian kalinya, kupikir hanya tema ini yang takkan habis kugali; melebih-lebihkan kegalauan untuk romantisme semu. Membuatnya semelankolis mungkin sampai-sampai aku akan menghayatinya sendiri, dan sekarang aku melihat keluar jendela kamar pada cahaya silau yang menerobos dedaunan suatu pohon tanpa nama. Dalam dingin kehampaan aku akan menyalakan imajinasiku; kamu hadir di hidupku. Secantik dirimu. Selembut hatimu. Semanis senyummu. Sama persis. Kemudian untuk dramatisasi, kalimat yang aku tulis berikutnya akan membahas kalimat pada paragraf pertama; Aku akan punya alasan untuk mengerjakan tumpukan berkas di meja kerjaku di kantor, tidak ada lagi tumpukan piring di bak cuci karena ada kamu yang membantuku, dan menyalakan lampu di suatu malam aku akan mendapati kamar paling indah dalam hidupku karena kamu membantuku merapikannya dan ada kamu yang menemani tidur di sisiku sepanjang malam seumur hidupku. Mungkin gambaran dua orang anak yang berlarian di rumahku dan memanggilku ayah dengan polos tanpa tahu efeknya terhadapku akan mengisi kehampaanku dengan sempurna. Aku akan terus menulis sampai ini terlihat sungguh-sungguh melankolis.

Aku tahu aku mulai membosankan dan mudah ditebak. Menulis sebuah posting bergaya romantis dengan pola-pola kuno. Aku hanya ingin menjadi penyair paling romantis bagimu, melebihi sastrawan-sastrawan yang karyanya kamu baca di waktu kuliah. Dalam kekacauan hidupku didorong kenekatan, dengan menulis posting ini semelankolis mungkin untuk menarik simpati, secara menyedihkan, dengan menggunakan pola-pola lama yang menggelikan, aku hanya ingin eksis di hadapanmu. Berharap paling tidak kamu juga sempat menghidupkan imajinasi tentang aku di hidupmu. Dan semoga saja itu sebuah imajinasi yang bagus karena kita akan sama-sama tahu bagaimana nanti akan mewujudkannya berdua.

Selasa, 28 Juni 2011

Surat Untuk Calon Istriku ( II )

Setelah membaca ulang suratku yang pertama aku merasa kepuitisanku terlalu berlebihan sehingga kehilangan makna. Aku mungkin tidak cukup jatuh cinta. Aku terlalu menyedihkan untuk jatuh cinta. Kali ini aku hanya ingin berhenti berpura-pura, dengan surat ini, kurasa aku hanya terobsesi menjadi puitis. Aku merasa terintimidasi dengan novel-novel yang kubaca atau lagu-lagu yang aku dengar. Bertanya-tanya bagaimana mereka bisa begitu sangat puitis sehingga membuatku hampir menangis. Membuat hal-hal sederhana di sekitar jadi begitu berarti, seperti menambah massa suatu benda, sedangkan di sini aku begitu kurus dan terlalu klise dengan gaya bahasa.

 Aku harus meminta maaf kepadamu untuk ketidakpuitisanku. Aku teringat pelajaran bahasa indonesia yang membosankan di SMA, seharusnya aku lebih memusatkan perhatianku ketika pelajaran itu. Mungkin sekarang aku akan sudah menulis seribu puisi untukmu. Di bawah sejuta bintang-bintang di malam kelam. Dalam hembusan angin musim kemarau di bawah segumpal awan. Dalam sorotan matahari sore yang dipenuhi peri-peri. Dan kamu berpendar di mataku seperti mimpi. Kamu di depan pintu kontrakanku malam ini, seperti kunang-kunang kamu menerangi gelapku. Mengajakku menari di sepanjang jalan Adi Sucipto dan tanpa suatu alasan menciumku di suatu sudut kota yang dingin ini. Aku gemetaran, lebih karena nafsu ketimbang karena dingin malam.

Aku lembur malam ini yang mengingatkanku pada mengerjakan PR di masa SD namun tanpa antusiasme. Seperti malam-malam sebelumnya aku ping-pong di kantor dan kalah. Sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang dan aku akan mengisinya dengan menulis sebuah surat untukmu. Mencoba terlalu keras untuk menjadi puitis di hadapanmu. Apa ini tidak menyedihkan? Namun baca dengan cermat suratku ini, apakah kamu bisa merasakan detak jantungku yang bernafsu? Mendengar gaung suara hatiku yang sedang menyanyikan lagu favoritku untukmu? Melihat ketulusanku yang bodoh dari kalimat-kalimat bodoh yang kutulis? Bertanya-tanya apa aku pernah terlintas dalam pikiranmu?

Kamu boleh sebut aku puitis obsesif kompulsif atau apalah itu. Pada kenyataannya aku menjadi seperti ini karenamu, membaca banyak novel cinta atau mengulang-ulang mendengar lagu-lagu cinta di malam-malamku. Ketika menulis surat pada bagian penutup ini hampir tengah malam dan aku bisa mendengar suara air dari keran di bak cuci, suara samar televisi di ruang tengah, bahkan percakapan telepon salah seorang teman dengan pacar. Aku tidak kesepian malam ini karena sedang menulis sebuah surat cinta. Aku membayangkan pada saat ini di suatu hari nanti aku akan sedang bercinta denganmu. Aku tahu untuk tidak berharap terlalu banyak namun lewat kalimat terakhir suratku ini aku hanya berharap aku pernah terlintas dalam pikiranmu, walaupun untuk sepersekian detik dan aku berdoa kepada Tuhan agar dalam sepersekian detik itu Dia meyakinkanmu tentang aku.

Minggu, 19 Juni 2011

Ijinkan Aku Menulis Lagi Dengan Rasa Muak

Aku sendirian, melihat cahaya keemasan yang lembut di sore hari dan merasa kesepian. Aku pemuda dengan usia menuju dua puluh empat dan masih merasa asing dengan dunia. Ketika kebetulan sholat ashar di masjid dan mendengar suara anak-anak yang bermain berlarian di halamannya aku jadi diliputi kedamaian yang malahan membuatku ragu apakah sesederhana itu kebahagiaan? Ketika sholat dimana tidak selalu pikiranku fokus pada Tuhan aku memikirkan banyak hal duniawi seperti misalnya dengan siapa aku akan menikah dan bagaimana nanti masa depanku, aku jadi merasa bersalah. Anggap aku seorang remaja yang ingin tahu tentang dunia, terpesona dengan orang-orang dewasa yang sukses, atau bermimpi tentang kemewahan. Pada kenyataannya aku cukup menyedihkan sehingga memikirkan cinta, kebahagiaan, atau Tuhan, bukannya menikmati kehidupan yang cuma sekali. 

Sudah lama aku tidak menulis sebuah posting dan kenyataan itu mengecewakan diriku sendiri yang mendapati bahwa aku tidak cukup kreatif. Aku bosan menulis tentang diri sendiri dengan nada pembelaan yang menyedihkan. Pandanganku tentang dunia belum banyak berubah. Aku bertanya-tanya apakah mungkin ada keadaan yang lebih baik dari saat ini? Aku mulai menumbuhkan rasa sesal tentang seharusnya aku begitu, seharusnya aku melakukan sesuatu, atau malahan seharusnya tidak. Apa sepenggal hidupku ini indah dan bermakna, dan akankah aku mengarungi sisa usiaku dengan keyakinan? Terkadang aku ingin tidur seharian, menonton film-film yang sekarang mudah diunduh. Makan banyak snack dan menjadi gendut. Aku merasa tidak relevan dengan tanggung jawab-tanggung jawab yang dipikulkan kepadaku walaupun sudah dengan keras kucoba pahami satu-per-satu.

Aku enggan menulis, selain dari sisi kreatifitas, menurutku, karena aku mulai muak membahas diri sendiri walaupun aku merasa sudah sangat akrab dengan suara dalam benakku. Aku dihantui rasionalitas diri dan mekanisme pertahanan diri yang reflektif. Pecahkan saja cerminnya, biar ketakutan akan diri sendiri yang bisa jadi sangat mengerikan itu lenyap. Aku akan jadi hantu gentayangan di suatu kota mati. Aku takut matahari. Dan dunia di mataku jadi sangat membosankan. Makan dengan perasaan hambar. Tidur tanpa sepotong mimpi. Apa itu mungkin? Kali ini aku takkan membuat lelucon tentang betapa miripnya aku dengan Robert Pattinson lagi walaupun itu konyol. Tanpa kusadari dengan menyerahnya aku pada rutinitas hidup, tanggung jawab yang secara brutal dipikulkan di pundakku, dan penilaian orang lain secara perlahan namun pasti aku telah berubah menjadi sosok mayat hidup itu. Masa pemberontakanku telah usai seperti hujan yang kini lelah berderai. Aku takkan lagi berlari dengan rasa bebas seperti seorang bocah. Aku akan hanya tertawa karena sebuah alasan. Tapi aku ragu akan bisa tertawa lagi, karena tidak ada yang lucu di dunia ini. Bahkan lelucon paling cerdas pun jadi terdengar garing karena ketidaktulusannya.

Selasa, 10 Mei 2011

From Ruteng With Love

Perkenankan aku memperkenalkan kota tempatku tinggal sekarang. Karena takut disangka orang gila jika berkeliaran sendirian, perkenankan aku bersimpuh di hadapanmu, mengulurkan tanganku yang gemetar. Kumohon pandangi mataku yang berharap; berpura-puralah menjadi kekasihku untuk seharian saja. Aku akan mengajakmu berlari di pagi hari memutari patung Yesus di pertigaan menuju bandara. Kalau mau sekalian saja kita menuju bandara, aku ingin menunjukkan kepadamu sebidang tanah kosong tempat pasar malam pernah didirikan yang membuatku dan dua orang teman malu-malu ikut berdesakan di dalamnya, malam itu dingin, kami tidak menaiki komedi putar karena takut besi penyangganya patah, ikut merasakan kegembiraan warga akan sebuah keajaiban, was-was menaiki wahana piringan yang diputar, tersenyum sendiri, membuatmu ingin kembali ke masa kanak-kanak di saat kita memandang kehidupan sebagai sebuah permainan. Ada juga sebuah lapangan rumput tempat kerbau-kerbau merumput sekaligus tempat kami bermain bola di sore-sore yang bersahabat, saksi sebuah benturan bola pada rahangku yang membuatku gegar otak ringan, itu kalau kamu cukup rasional, kalau kamu lebih menyukai versi mistis seperti ibuku, bisa saja aku dirasuki sesosok makhluk halus dikarenakan malahan bermain bola di saat dimana seharusnya melaksanakan sholat Maghrib. Aku bertaruh kamu tidak akan berkeringat karena udaranya dingin.

Setelah memutari jalan bandara, di sepanjang Adi Sucipto pada jam berangkat sekolah, jangan terkaget-kaget dengan rombongan anak-anak sekolah dan pekerja yang berjalan. Kamu boleh mengira itu karena kemiskinan atau sedikitnya angkutan umum yang tersedia, tentu saja itu benar tapi Tuhan akan menganugerahkan kebugaran pada tubuh mereka. Jadi tidak perlu mengutuk pemda yang enggan membangun trotoar di sepanjang jalan itu. Belum. Apalagi dengan sedikitnya kendaraan bermotor membuat udaranya bersih. Udara bersih membuat hatimu bersih. Dengan hati bersih membuatmu akan semakin mudah mencintaiku. Langit yang cerah dan pemandangan pegunungan Ranaka yang anggun membuat kita yang melihatnya merasa terberkati. Aku ingin membawamu menerobos hutan di lereng gunung itu untuk menciummu di puncaknya, dengan mata terpejam namun sudut mata masih bisa menangkap bayangan kota Ruteng yang terlihat kecil dari atas sana.

Sampai di lampu merah sebaiknya kita mengambil jalan yang ke kiri sampai berjumpa dengan lampu merah lagi. Kali ini jangan belok ke kiri lagi karena kamu hanya akan melihat jalan Ahmad Yani yang lebar dan bersih tempat sebuah sekolah tinggi berdiri dan dua ruas jalannya yang lengang melekat dalam benakku sebagai kehampaan dimana Maret lalu aku melihat supermoon di saat melintasi jalan itu. Ke arah kanan kita menuju, bertemulah kita dengan taman kota yang ingin kutunjukkan padamu, bukan karena keelokannya, malahan keterabaiannya, yang mengingatkanku akan taman terlarang tempat Romeo-Juliet bertemu. Aku akan menciummu lagi di situ. Itupun kalau kamu mau. Setelah itu kita berjalan lagi, cukup lurus saja.  Berdirilah kantor bupati Manggarai berlantai tiga yang membuatmu ingin menjadi mahasiswa kritis kembali yang hobi menkritik pemerintah yang mengabaikan masyarakatnya yang miskin. Jangan hanya terpukau pada kemegahan bangunannya, balikkan badanmu, maka sebuah lapangan akan terbentang dengan pemandangan pertokoan dan kantor kepolisian. Anak-anak sering bermain bola di sini. Kalau kamu ingin bermain denganku, kita bisa berkejar-kejaran di situ. Di hari kemerdekaan tahun kemarin di sini aku melihat tarian caci dipentaskan.  Pernah juga diselenggarkan pertandingan tinju lokal di lapangan ini suatu malam. Aku hanya melihat dari kejauhan karena jika mendekat kamu harus membayar. Yang paling bersejarah adalah ketika  upacara pengangkatan uskup baru yang langsung dipilih Vatikan, warga mengerumuni lapangan itu dengan suka cita, sementara kantor-kantor daerah diliburkan, aku masih harus menjaga kantor pajak yang sepi hari itu. Kamu akan sering melihat para perempuan berkerudung tapi bukannya muslim, jika kita membuntuti mereka sampailah kita di katedral-katedral indah itu. Mereka para suster yang memiliki nomor pokok wajib pajak--aku yang mencetak kartu NPWP-nya sebelum mereka ke luar negeri untuk memperdalam ilmu agama. Ketika itu masih berlaku peraturan yang membebaskan biaya fiskal bagi pemilik NPWP.

Jika kita menengok langit dan kebetulan mendung aku akan mengajakmu berlari menuju pasar tradisionalnya. Jika hujan sungguh-sungguh turun kita bisa menelusuri bagian-bagian gelapnya, bukannya untuk berbuat mesum namun kita bisa iseng melihat pakaian, pernak-pernik tak penting, maupun sepatu. Aku akan membelikanmu kalau kamu mau--dengan syarat harganya cocok. Mungkin kamu jijik pada bagian pasar yang menjual daging-daging babi, sebaiknya kita menjauh mencermati cabai-cabai Ruteng yang berukuran kecil namun pedas. Atau sayur-mayurnya yang ditumpuk. Buah pisang mendominasi di salah satu bagian. Jangan sampai ke ujung karena di situ bagian ayam-ayam yang meruapkan bau kotoran. Jika hujan reda kita bisa ke bagian bawah untuk melihat aneka ikan dan beberapa biota laut dari perairan jernih di sekitar Labuan Bajo. Kalau kamu bosan aku bisa mengajakmu menaiki salah satu truk-truk itu yang merupakan angkutan pedesaan menuju desa-desa terpencil--untuk menghilang berdua denganmu. Namun akan lebih bijak jikalau kita ke dusun Rampapasa, hanya 14 km dari kota ini, bukan hanya untuk mengagumi stalaktit atau stalakmit dari Gua Liang Bua-nya, namun sebagai situs sejarah internasional  kita bisa melihat fosil homo florensiensis yang unik di sana. Ternyata hobbit-hobbit yang imut di Lord of The Ring itu eksis.

Dengan panjang lebar sudah kugambarkan tempat tinggalku sekarang, jika kamu ternyata malahan merasa terjebak di kota ini denganku, membuatku merasa buruk rupa, aku hanya ingin mengatakan hal ini kepadamu:
"Tak perlu jauh-jauh ke Paris untuk melihat menara Eifelnya yang terkenal atau lampu-lampu di malam harinya yang gemerlap, cukup denganku di Ruteng, dengan bintang-gemintangnya yang cemerlang, memang malam-malam di sini dingin jadi aku akan lebih erat memelukmu, namun yakinlah bahwa romantisme hanyalah sesuatu yang terletak di hatimu."

Minggu, 24 April 2011

Sebuah Rumah Kayu Bercat Putih di Pinggir Pantai

Berdirilah sebuah rumah kayu bercat putih di pinggiran suatu pantai dengan ombak yang bergulung putih. Pasirnya juga putih. Langitnya. 

Rumah itu terlukis dalam selembar foto hitam-putih yang dibingkai mimpi yang diletakkan dalam suatu sudut samar dalam benakku. Dimana kita berdua menatap mata satu sama lain, menggenggam tangan satu sama lain, dan tersenyum sambil berjalan perlahan, telanjang kaki, menuju rumah itu. Agar lebih terlihat serasi, ijinkan kami berdua memakai pakaian yang juga berwarna putih. Gemetar membuka kunci pintunya, dan dengan bimbang mencoba melangkah masuk. Rumah itu masih kosong. Rumah masa depan tempat kami berdua melewati detik demi detik hidup kami dan bertambah tua. Mungkin dengan beberapa anak nanti, kenapa tidak?

Kamu berkeliling kesana-kemari seperti anak gadis yang menari. Membuka daun jendela kemudian menatap ombak yang dengan sedih bergulung itu. Kamu berteriak memanggilku, seperti anak kecil, membuatku tertawa, menunjukkanku warna jingga langit sore yang memesona. Merasa beruntung, seolah-olah Tuhan dengan sengaja memulas warna itu khusus untuk hadiah cinta kita. Setelah cahaya itu meredup aku mengingatkan kita belum sholat Maghrib, dan setengah bercanda dengan bernafsu aku menyarankan agar diteruskan dengan sholat sunnah dua rekaat sebelum bercinta seperti yang kulihat dalam film Ayat-Ayat Cinta. Kamu tersenyum mencoba-coba menggores hatiku dengan senyummu itu. Dan berhasil. Aku hanya bersyukur. Menjadi imam dalam sholat lima rekaat itu membuatku merasa menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Suara debur ombak dan burung-burung mengusik sholatku. Terbersit walaupun sekejab bayangan percintaan denganmu, namun berusaha kuenyahkan cepat-cepat, memusatkan pikiranku mencoba menghidupkan sosok Tuhan seolah-olah  nyata di hadapan kami berdua, bersyukur secara mendalam atas cinta yang dianugerahkan kepada kami berdua. Setelah sholat kamu mencium tanganku dan kita berdoa untuk kehidupan pernikahan yang bahagia.

Aku memutar sepotong lagu dangdut paling romantis dari hp-ku, berulang-ulang. Menarik tanganmu dan mengajakmu berjoget dengan gaya paling norak, setelah itu kita bercinta di salah satu sudut dalam rumah itu yang berdebu. Dengan gairah dan rasa takut. Rasa takut akan tsunami yang secara tiba-tiba menerjang dan memisahkan kita bedua seperti dalam film Titanic. Kita lalu mati dalam cinta........

Bercinta seolah-olah cinta hanya permainan saling memiliki satu sama lain, bukannya permainan kehilangan. Sambil bercakap-cakap tentang perabotan apa yang akan kita beli. Mau diletakkan di mana. Antusiasmemu membuatku semakin bernafsu.

Terbangun di dini hari yang dingin, aku mandi wajib, kemudian membangunkanmu. Sempat tergoda untuk menyuruhmu membuatkanku secangkir kopi dengan air dalam termos yang kita bawa sebelumnya, mencoba menghayati peran suami yang berkuasa, namun kuurungkan niatku karena kali ini aku ingin membuatnya sendiri, juga membuatkan secangkir untukmu. Dengan sedikit gula, lebih banyak cinta. Kemudian sholat isya' berjamaah. Ketika sholat, hawa dingin membuatku berfikir sampai kapan kita akan melalui ini semua berdua, bagaimana nanti di saat imanku melemah, atau di saat cintaku padamu memudar? Aku berusaha lagi untuk mengeyahkan pemikiran itu cepat-cepat. Kemudian sebuah pemikiran lain melesat: di hari pembalasan nanti di akhirat kita pun harus menempuh jalan masing-masing, menanggung dosa-dosa sendiri, menikmati kebajikan kita sendiri....

Di saat fajar menjelang kami berdua keluar rumah menuju pantai untuk duduk berdampingan menunggu cahaya pertama merekah. Udaranya dingin jadi kami merapat. Kamu sandarkan kepalamu di bahuku sehingga aku bisa mencium aroma shampomu ditambah angin meniup rambutmu yang panjang. Suara debur ombak yang seperti menangis dan pada akhirnya cahaya merah yang tergelar dihadapan kami malahan membuatku ingin menangis memikirkan apakah kebahagiaan itu abadi. Apakah cinta itu abadi, seperti halnya iman. Aku merasa tak berdaya, tak sabar menunggu waktu subuh masuk, sehingga kami bisa masuk ke rumah lagi, sholat bersama lagi, kemudian melanjutkan lagi rutinitas hidup kita seolah-olah itu kenyataan paling nyata dalam hidup kita berdua..............

Minggu, 10 April 2011

Mengunjungi Komodo dan Menemukan Cinta

Setelah berlibur akhir pekan kemarin aku tidak sabar untuk menuliskannya dalam sebuah posting namun selalu saja segumpal keraguan mengganjal niatku. Hal ini berkaitan dengan gaya penulisan. Aku menyadari ketika aku memulai tulisan perjalanan ini dengan menyajikan sebuah dilema mengenai gaya penulisan semacam ini--menganggap diri seolah-olah penulis hebat--bisa jadi merupakan kebodohan seorang pemula, namun ijinkan aku bersikukuh dengan gaya penulisan seperti ini. Anggap saja kebimbanganku ini sebentuk emosi yang kupersembahkan untuk menyentuh hatimu, bahwa terkadang kamu bimbang dalam mendefinisikan dirimu sendiri. Dalam proses menulis posting ini hatiku terbelah; aku ingin secara teliti menulis setiap detil pemandangan yang tertangkap inderaku seperti seorang petualang yang menuliskan kisah perjalanannya dengan ketakjuban dan pengetahuan--menggambarkan perjalanan lautnya dengan analisis warna air, nama ikan yang dijumpai, jumlah pulau-pulau kecil yang dilewati, jenis awan yang mengapung di langitnya, harga tiket masuk dan segala akomodasi untuk menelusuri Taman Nasional Komodo di pulau Rinca untuk kemudian menggambarkan ciri fisik seekor komodo, proses kembang biaknya, makanannya, jalur-jalur penelusuran yang melewati bukit-bukit yang menghijau di pulaunya beserta analisis suhu dan cuaca, dalam upaya agar pembaca tergerak untuk mengunjungi pulau itu paling tidak sekali seumur hidup seraya menambahkan kalimat, 'Tak pelak lagi pulau ini masuk sebagai salah satu kandidat kuat calon tujuh keajaiban dunia versi alam.' atau gaya penulisan ala penyair kasmaran dengan romantisme yang ditemukan di sepanjang perjalanan lautnya yang bergelombang, di balik setiap bebatuan di pulaunya, atau diantara hamparan ilalang di bukit-bukitnya, bahkan di sosok komodonya yang langka seraya menambahkan kalimat, 'Tak pelak lagi komodo-komodo yang terlihat ajaib itu mengingatkanku pada keajaiban cinta.'

***

Kami menginap di Labuan Bajo pada malam sebelumnya, memimpikan komodo-komodo mengejar-ngejar kami dengan mata kelaparan. Pada keesokan harinya kami menuju dermaga dengan sebuah kapal yang terapung-apung menunggu kami, yang disewa untuk perjalanan menuju pulau Rinca dan kemudian pulau Kanawa seharian nanti. Kami berempat belas. Kapal itu penuh dan kami pun dipenuhi kebahagiaan. Kami bermain poker selama dua jam perjalanan, tidur, dan paling sering berfoto dengan latar belakang lautan yang berwarna biru pastel dengan efek tertiup anginnya. Aku jadi merasa kesepian melihat lautan, hatiku ikut terombang-ambing ombak seperti halnya karena cinta.
Setibanya di pulau Rinca aku merasa sedikit lega pada akhirnya setelah hampir dua tahun bekerja di Flores aku menginjakkan kakiku juga di pulau itu, merasakan terlalu dini sebuah keajaiban sebelum melihat sosok komodo yang terkenal itu sendiri. Ternyata, dengan cukup mengagetkan ada seekor komodo terlihat di dekat pintu masuk, diam di tepian sunga kecil, tampak tidak mengancam. Baru kemudian aku menyadari dan merasa ketakutan setelah diberitahu oleh para ranger--sebutan pemandu wisata di sana--bahwa hewan itu memang tampak tenang dan malas, namun sebenarnya mereka aktif dan jika berlari bisa mencapai 18 km/jam. Aku jadi menganggap mereka licik. Kami harus melewati tanah lapang yang kering dengan pepohonan yang meranggas seperti gambaran pulau-pulau berhantu dalam novel-novel petualangan untuk sampai di tempat pembelian tiket. Kami menyewa tiga ranger dengan tongkat mereka yang ujungnya bercabang dua. Sebelum memulai penelusuran, selain mendapatkan penjelasan bahwa pulau itu tidak hanya dihuni komodo namun juga beberapa jenis ular yang ketika disebutkan nama-namanya semakin membuat merinding, kami ditawari jalur apa yang akan ditempuh; short track untuk satu jam perjalanan atau long track yang menempuh waktu dua kalinya. Kami memilih yang pertama walaupun pada kenyataannya kami menempuh dua jam perjalanan. Satu jam tambahan untuk sesi pengambilan foto-foto yang akan kami upload di facebook dengan bangga.
Kemudian aku daki bebukitan itu dengan gairah pemuda kesepian yang merindukan cinta. Adakah seekor komodo yang bersembunyi di balik ilalang itu mencium aroma cinta di hatiku yang harum? Ketika dari atas bukit aku bisa melihat lautan yang membiru di kejauhan aku tercenung sejauh apakah cinta akan kutemukan? Aku tergetar oleh perasaan melankolis yang mendadak menyergapku bersamaan dengan angin yang berhembus. Sosok komodo yang purba membuatku terkenang pada cintaku padamu yang tumbuh sejak awal kehidupan, berkembang bersama rerumputan, mekar bersama bunga-bunga tercantik, dan menggelembung di hati kecilku seperti sekantung permata. Bersiap untuk meledak seperti ledakan supernova yang dahsyat. Sekonyong-koyong aku jadi ingin berbaring di rerumputannya sambil membayangkan menatap bintang yang sama dengan yang kamu tatap, tanpa merasa takut dengan komodo-komodo yang mengintai di suatu jarak.
Setelah membelah bukit-bukit itu kami memasuki kawasan hutan yang rindang untuk melihat sarang dan tempat komodo bertelur. Aku membayangkan ular-ular bergelantungan di pepohonan dan hal itu membuatku was-was. Malahan yang kami temukan di suatu dahan adalah seekor anak komodo! Tuhan, apa yang dia lakukan di atas dahan itu? Tanpa satu nada bercanda pun seorang ranger menjelaskan bahwa kami termasuk orang-orang beruntung yang bisa melihat anak komodo karena mereka sulit ditemukan. Pada kenyataannya sepanjang perjalanan tadi kami memang jarang sekali melihat komodo, hanya kotoran mereka yang terserak. Komodo-komodo muda memang memiliki naluri untuk memanjat pepohonan sebagai bentuk pertahanan diri agar tidak dimakan predator atau bahkan komodo-komodo dewasa sendiri! Sumpah, selain licik mereka sungguh-sungguh tidak berperikemanusiaan. Setelah melihat lubang-lubang di tanah yang merupakan bekas sarang komodo dan sering digunakan juga untuk tempat bertelur, aku jadi bertanya-tanya dalam hatiku akankah cintaku meninggalkan bekas yang mendalam di hatimu?
 
Kumpulan komodo hanya terlihat di sekitar dapur yang meruapkan aroma daging. Kami mengambil foto di kawasan itu. Dijaga para ranger dengan penuh perhatian, yang melarang kami berisik, kami berfoto dengan ketakutan. Mereka bisa meloncat, tambah salah seorang ranger, yang membuat kami makin waspada. Pelari cepat, penyelam, pemanjat pohon, bisa meloncat, jangan-jangan komodo juga bisa kungfu? Lelucon yang selalu aku lontarkan berkaitan dengan hewan itu: layaknya kisah romeo-juliet, kisah cinta sepasang komodo tak kalah tragisnya; Tuhan tidak mengijinkan mereka bahkan untuk sekedar berciuman mesra dikarenakan air liur mereka yang beracun. Berbeda denganku yang ingin diracuni cintamu, mati dalam ciumanmu.

***
Membaca berulang kali tulisan di atas, aku dibekap rasa tak berdaya, kebimbangan dalam gaya tulisanku antara jurnal perjalanan dengan romantisme malahan jadi perpaduan yang ganjil. Perjalanan digambarkan dalam deskripsi yang lemah, sedangkan romantismenya pun terlihat murahan. Aku sempat ragu, terbersit keinginan untuk menulis semuanya dari awal lagi, dengan gaya penulisan yang lain lagi. Aku merasa inferior, namun rasa enggan menyelimutiku, sebagai pembelaan diri aku mencoba meyakinkan pikiranku bahwa dari tulisan semacam ini aku akan memperbaiki diri, toh tujuan utamaku kali ini hanya ingin sedikit narsis dengan liburanku yang seru. Satu hal yang pasti, ketika melangkah keluar dari pulau itu, di atas dermaganya, melihat kapal yang akan kami naiki, aku malahan berfikir untuk terbang saja, rasanya seolah-olah membumbung tinggi oleh rasa bangga. Tak pelak lagi pulau ini masuk sebagai salah satu kandidat kuat calon tujuh keajaiban dunia versi alam. Tak pelak lagi komodo-komodo yang terlihat ajaib itu mengingatkanku pada keajaiban cinta.


Selasa, 29 Maret 2011

Tsunami Cinta

Seperti kehilangan sebuah kepala, aku berjalan tertatih menyusuri sebuah kota yang hancur yang dalam benakku (benak dalam kepalaku yang tergeletak di suatu tempat) seperti bekas diterjang tsunami. Aku menabrak puing tiang-tiang rumah, tersandung reruntuhan, dan tertusuk serpihan-serpihan kayu yang tajam. Sebuah bencana bisa menimpa kapan saja, seperti bintang jatuh. Oleh karena itu sebelum dijemput maut, aku bertekad untuk menemukanmu. Tanpa kepala, ini sejenis apa yang sering disebut orang-orang dengan cinta buta. Kedua tanganku menggapai-gapai kehampaan, berharap sebuah keajaiban bisa merenggutmu untuk kupeluk di suatu hari paling kelam. Tersuruk dan merasa putus asa, bahwa pencarianku yang terasa mustahil akan jadi sesuatu yang sia-sia. Pijar hatiku yang reduplah yang menerangi kegelapan hidupku. Walaupun tanpa kepala aku ragu kamu akan mengenaliku, aku berharap kamu dapat merasakan denyut jatungku yang bernafsu padamu, hatiku yang berpijar di dekatmu. Ketika aku menyadari bahwa aku terpukau pada ide-ide cinta semacam itu, hal itu semakin membuatku porak-poranda. Aku hanyalah seonggok daging yang merasa berharga karena cinta. Aku ketakutan memikirkan kalau-kalau seluruh dunia menunjukkan kepadaku bahwa ada sesuatu yang lebih berharga dari cinta, aku akan langsung berubah menjadi seonggok daging di suatu tempat jagal, yang dikerumuni lalat.

Warna jingga mewarnai siluet reruntuhan kota itu. Aku terpaku, agak menggigil. Malam akan turun. Rasa tragis menyergap hatiku yang rapuh. Apa yang tersisa? Pertanyaan itu terus mengusikku seperti hantu gentayangan. Apa yang tersisa dariku selain secuil cinta? Aku bahkan meragukan diriku sendiri. Aku bukanlah lelaki seromantis itu. Aku lelaki dengan lubang menganga di hatinya, seperti sebuah luka. Aku berjalan lagi dalam gelap dunia. Satu langkah pertama adalah keraguan. Satu langkah berikutnya adalah ketidakberdayaan. Aku akan menemukanmu. Aku akan menemukanmu.

Kemudian kesunyian membentang dihadapanku, seperti memasuki ruang hampa. Aku dapat mendengar suara angin yang terdengar getir menggesek reruntuhan, seolah-olah sebuah ode untuk kematian. Secara tiba-tiba aku merasakan sebuah hantaman keras di bagian belakang punggungku.

Maut.

Aku takut. Namun alih-alih merasakan sakit, hanya kedamaian yang meliputiku, membungkus diriku seperti seekor ulat yang menjadi kepompong. Seandainya aku menemukanmu. Benakku terus mengulang pengandaian itu. Seandainya aku menemukanmu. Kemudian aku hanya ingin meringkuk dan tidur.

Suara debur ombak samar-samar terdengar. Aku tidak terkejut kamu berdiri dihadapaku, cantik seperti bidadari. Jika pujian itupun terdengar basi, aku hanya ingin menutup mulutku agar berhenti mengungkapkan sesuatu yang tak sanggup menggambarkan kecantikanmu, hanya detak jantungku yang bernafsu dan pijar redup hatiku. Sesuatu mendadak surut di hatiku, aku ingin menangis, kemudian ketika tsunami cinta itu  pada akhirnya membanjiri setiap ruang di hatiku aku sungguh-sungguh menangis seperti seorang perempuan. Aku hanya ingin menatap wajahmu di sepanjang sisa hidupku. Ketika kamu mengajakku ke suatu tempat dengan cahaya yang berkilauan dan dipenuhi tawa anak-anak yang lucu aku diserang ketakutan, aku ingin berbalik. Aku hanya ingin membakar puing-puing kota itu bersamamu dan bercinta di suatu jarak sambil melihat kota itu secara perlahan lenyap, hanya untuk membuktikan teori bahwa terkadang cinta itu bisa sangat merusak. Aku hanya ingin kamu pasangkan lagi kepalaku di tempatnya untuk kamu pandangi mataku yang pesimis lalu mengecupnya. Aku hanya ingin kamu menggenggam tanganku yang gemetar dan meyakinkan diriku yang dipenuhi keraguan bahwa aku bisa mengangkat kepalaku lagi dan memberikan salam hangat kepada dunia setelah porak-poranda karena bencana.

Sabtu, 26 Maret 2011

Kisah Sepotong Hati

Dalam kamar kontrakanku yang temaram dimana cahaya masuk menembus tirai murahan berwarna merah muda aku berfikir keras untuk menulis sesuatu. Aku bimbang dan ragu, hasrat menulisku yang keterlaluan tidak sesuai dengan imajinasi dan daya pikirku. Aku menderita sendiri, menyiksa diri dengan harapan. Ketika aku memulai tulisan ini dengan kehampaan dan keputusasaan, aku berharap takdir mendorong jemariku untuk memencet tombol-tombol huruf di keyboard netbookku, membentuk sebuah kata kemudian serangkaian kalimat yang membius benakku dalam kebahagiaan. Namun macet.


C.I.N.T.A

Kali ini aku ingin menyerah pada perasaan itu. Menyusuri jalanan sendirian didera kegembiraan yang memenuhi jiwaku. Menatap langit sore dan tersenyum. Menjilati es krim rasa cokelat sambil menangis. Menari diiringi lagu cinta yang mendayu. Kemudian tertidur pulas, memimpikanmu.

Aku menggenggam hatiku di tangan. Mengikatnya dengan sepotong pita warna merah muda, dengan hati-hati kemudian membungkusnya dalam kertas kado bermotif bunga mawar. Tak lupa sebelumnya menulis pesan di secarik kertas :
UNTUKMU, SEPOTONG HATIKU YANG KESEPIAN
Ketika kulihat seekor burung dari jendela kamar, aku memohon kepadanya untuk mengirimkan kadoku. Pada mulanya dia enggan, bercicuit dengan ketus, namun setelah melihat wajahku yang menyedihkan dia jatuh iba. Burung itu menggigit pita kadoku kemudian kulihat terbang menjauh hingga menjadi setitik hitam di langit dan aku berdoa semoga dia menjatuhkan kado itu di tempat yang tepat.

Kemudian hari-hari bergulir. Aku selalu menatap keluar jendela, berharap burung itu kembali. Ribuan hujan berderai. Kilasan cahaya matahari melesat, yang terkadang menyakitkan. Deru angin yang sendu merintih. Aku menunggu sambil membaca novel dengan tak sabaran. Atau browsing internet; membuka situs-situs tidak jelas dan membaca status facebook orang-orang satu persatu untuk membunuh waktu. Terkadang aku dilanda ketakutan bahwa burung itu menabrak tebing atau sesuatu, ditembak seorang pemburu, atau malahan menyelewengkan kadoku.

Kemudian sesuatu melintas dalam pikiranku.

Betapa bodohnya! Mengapa tak terpikirkan sebelumnya? Mengapa aku harus menunggu burung itu, mungkin dia tidak akan kembali, bisa saja dia bermigrasi ke benua lain, mengarungi samudra yang luas, untuk menghindari polusi, namun bukan berarti kadoku belum sampai di tangan seorang perempuan(yang entah dimana kamu berada sekarang, aku merindukanmu sampai meriang). Sebuah ide berpijar dalam kepalaku seperti lampu. Aku akan menulis di status facebookku:
SEDANG MENCARI SANG PEMILIK HATI INI!
Aku juga akan upload foto sepotong hatiku yang sudah kufoto sebelumnya dengan kamera hp-ku, tak lupa dengan pita warna merah mudanya.


Tiba-tiba serentetan ide menembaki otakku, kali ini aku akan menulis cerita cinta, lebih tepatnya kisah sepotong hati yang kesepian. Dipenuhi sukacita, aku mulai memencet tombol-tombol huruf dalam keyboard netbookku dengan gemetar, tak sabaran.....

Senin, 14 Maret 2011

Yang Sendu, Yang Hampa

Kehampaan. Aku mulai terobsesi kata itu semenjak duduk di bangku SMA. Sementara teman perempuanku menyukai jenis musik keras ala System of Down, aku malahan terpesona pada sosok gadis bermata cokelat yang menyusuri pantai seorang diri di kala fajar menyenandungkan lagu sendu. Menyukai frase dari lagunya, "I feel as empty as a drum" seolah-olah semacam kata-kata bijak. Kemudian di waktu senggang membaca buku-buku Hemingway, Camus, atau buku-buku filsafat tanpa tuhan. Aku melakukannya mungkin karena tidak terlalu berhasil dalam pelajaran maupun olahraga. Atau entahlah, manusia macam apa yang masih saja terobsesi hal-hal semacam itu di jaman dimana filsafat telah mati dan televisi dan internet dan uang telah membanjiri ruang-ruang dalam hati kita. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk kehampaan.

Apakah dengan memikirkan sesuatu secara mendalam membuatku merasa lebih bijak, seperti merasa beruntung terbangun di suatu hari dan menatap matahari? Seperti seorang remaja, aku tak pernah berhenti meyakinkan diri bahwa tidak terlalu banyak yang kusesali dari hidupku sejauh ini. Bahwa aku cukup percaya diri dengan definisi kebahagiaanku. Walaupun aku masih terusik dengan pendapat orang lain, kikuk, dan labil, kehampaan membuatku merasa lebih baik; masih ada saat-saat dimana aku mengambil jarak dari kehidupan, berhenti merasa untuk sejenak, untuk mencerna, dan kemudian dengan menyedihkan berpura-pura optimis seperti pemeluk agama paling fanatik yang memimpikan surga. Aku menulis dengan gaya seorang kafir dan aku sendiri ketakutan dengan kenyataan dalam persepsiku itu. Di setiap sholat dengan kerapuhanku aku selalu meyakinkan diri bahwa aku cukup beriman, bahwa aku masih diselimuti ketakutan ketika melakukan hal-hal menyimpang, kemudian sehabis sholat aku akan selalu memohon ampun.

Aku masih sedang menulis dengan nada kesenduan, sesuatu yang muncul belakangan setelah kehampaan itu. Seperti melayang di luar angkasa yang luas dan gelap, melihat bintang-bintang malahan jadi sedih dan kesepian. Kupikir Pamuk yang membuatku melankolis seperti ini, memandang kehidupan dengan kaca mata kesenduan untuk melihat sisi keindahannya, seperti selembar foto hitam putih yang usang. Ketika aku sarapan seorang diri di rumah makan padang di perempatan dekat kantor, menelpon keluarga karena takut kesepian, sambil memandang pegunungan yang anggun dan dingin perlahan kehampangan menyelimutiku seperti awan mendung membuat pikiranku melayang menuju pulau-pulau jauh yang terpencil; bagaimana nanti jika aku pacaran, apa aku akan menatap kekasihku dengan kehampaan, membicarakan suatu topik dengan perasaan enggan, menikah dan bercinta dengan rasa bersalah, beranak dan kemudian menasehati anak-anakku dengan keraguan? Aku jadi ngeri sendiri. Kemudian pikiranku akan beralih pada pertanyaan kebahagiaan, bahwa aku hanya terobsesi pada kebahagiaan orang lain kemudian aku berfilsafat hanya untuk meredam rasa iri.

Menyedihkan.

Kemudian aku akan bersembunyi dalam kehampaan.

Namun sehabis sholat aku akan selalu berdoa semoga Tuhan mengampuni aku yang sendu, yang hampa. Bahwa semoga dalam hati kecilku masih terdapat secercah cahaya. Amin.




Kamis, 03 Februari 2011

Sang Penyair

Suatu hari aku terbangun dan dikelilingi kabut. Aku mencubit pipiku berharap terbangun lagi. Aku bermimpi di dalam mimpi. Mungkin ketika terbangun aku akan bertemu Ellen Page dan melakukan semacam mimpi basah. Membuatnya hamil seperti dalam film Juno. Dan baru kemudian aku benar-benar terbangun di dunia nyata ini. Dunia ini nyata bukan? Sialan, aku sungguh-sungguh terpengaruh film Inception.

Aku sering membeli es krim. Hampir setiap hari. Aku menyukai warna-warninya, juga kesan kekanak-kanakannya. Walaupun di Ruteng harga es krim hampir dua kali lipat dibanding di Jawa, dan membelinya jadi terkesan bodoh (tinggal di kota yang juga merupakan sebuah kulkas raksasa dan masih saja membeli es). Aku hanya ingin merasakan kesepian dan kedinginan, dan membuatnya jadi sejenis lelucon garing khas anak muda. Karena suasana semacam itu beraroma melankolis dan membuatmu  ingin jadi seorang penyair yang menulis puisi dengan frasa ' dingin menusuk tulang, menusuk hatiku'. Ha...ha...ha

Ada beberapa tekad yang kubulatkan semenjak aku menginjakkan kaki di Ruteng ini. Diantaranya adalah sebagai berikut ini :
1. Membaca semua buku yang kubeli namun belum kubaca (pada kenyataannya aku baru membaca jika sedang bosan atau jaringan internet mati).
2. Menambah kosa kata bahasa inggrisku dengan belajar (sepertinya lebih banyak yang aku lupa dibanding yang aku pelajari dan ingat).
3. Mulai menulis novel (paling banter malahan hanya menulis posting-posting tidak penting ini).
Dan hal-hal yang mengisi hari-hari dinginku(selain bekerja) di Ruteng ini adalah sebagaimana yang tersebut di bawah ini:
1. Menonton film-film yang didownload teman-teman dengan akun berbayar mereka dan merasa harus menonton semua film hingga tak tersisa(tidak menonton semua lebih baik mati saja)
2. Main PES dan berusaha mati-matian menang sehingga bisa mengolok-olok yang kalah(akhir-akhir ini juga mulai main Street Fighter).
3. Berolahraga dengan kesetanan (futsal 3 kali seminggu, badminton di hari sabtu, dan pingpong hampir setiap malam hingga pernah suatu kali sampai terserang flu berharap dapat berjaya di lomba pingpong tujuhbelasan di kantor)
4. Download gratis lagu-lagu kontemporer untuk dijadikan lagu karoke di netbook sendiri.

Pertanyaan besarnya: Apakah aku bahagia? Tulisanku ini hanya menunjukkan bahwa aku masih muda. Walaupun tujuan hidup sudah jelas tertulis, di luar tujuan Ilahiah, yaitu:
1. Hidup berkecukupan (kaya-raya).
2. Memiliki istri yang sempurna(cantik, pintar, setia)
3. Beranak-pinak seperti tikus (yang lucu, sehat, dan berprestasi)
4 Membesar anak-anak dan menjadi ayah dan suami idaman(romantis, suka memberi petuah-petuah berharga, bijaksana)
Aku hanya sedang dalam fase krisis umur seperempat abad kurasa, masih ingin berekplorasi namun juga harus dewasa. Aku masih suka melontarkan lelucon-lelucon garing yang membuatku merasa cerdas. Menikmati diolok-olok sebagai jomblo oleh teman-teman, berpura-pura tidak terusik, berpura-pura seperti Budha. Apakah aku perlu memberi pernyataan tentang kebahagiaan hidupku? Apakah seluruh tindakan menghibur diri, termasuk dengan menulis posting ini, hanyalah mekanisme pertahanan diriku? Apakah aku masih dalam dunia mimpi yang berkabut itu?

Pada kenyataannya di bulan Februari hujan masih sering turun di Ruteng ini dan berkabut di saat-saat tertentu. Aku hanya merasakan eksistensiku di tanah asing yang kini jadi ladangku, gemetar oleh dingin, teromantisir hujan yang tak henti berderai, terhibur hal-hal bodoh yang coba kulakukan, kesepian, dan kedinginan--menusuk tulang hingga hatiku. Ha...ha..ha. Menulis ini semua dengan gaya bahasa semacam ini hanya sungguh-sungguh menunjukkan bahwa aku terobsesi menjadi seorang penyair.

Rabu, 19 Januari 2011

Memancing Kebahagiaan

Di malam natal tahun ini kulihat lampu-lampu dinyalakan di sepanjang jalan. Lampu minyak yang berasap. Hujan tidak turun. Aku melihat warga berbondong-bondong menuju gereja. Besok hari Yesus dilahirkan. Sementara Santa Klaus masih duduk di belakang kemudi mobil, terlihat lelah sehabis mengantar kami ke pantai untuk melihat sederet ombak yang bergulung.

Sebenarnya kami mau memancing, pertama di sebuah danau kecil yang airnya terlihat hijau dan dikelilingi pepohonan. Ketika itu hujan rintik-rintik. Kami menyusuri jalan setapak dan dari ketinggian melihat bagaimana indah dan tenangnya danau itu. Tak bergeming oleh hujan. Hati-hati kami menuju danau itu, takut terpeleset, malahan sampai di tempatnya kaki kami dipenuhi lintah. Mengetahui betapa kecilnya ukuran ikan-ikan di danau itu, Santa Klaus membawa kami untuk memancing di tempat lain. Kembali ke mobil sembari mencabuti lintah-lintah di kaki.


Baru beberapa kelokan salah satu dari kami sudah ada yang muntah. Di sekitar hanya tebing batu dan pepohonan. Kami menuju laut dan sinar matahari yang hangat. Memancing kemudian membakar ikannya di tempat. Begitulah rencananya, namun sampai di dermaga perahu-perahu nelayan hanya merapat. Sementara kami menyusuri dermaga yang berbentuk huruf T yang terbuat dari beton itu, hanya memandangi lautan yang bergejolak. Ombak sedang tinggi, tidak ada yang berani melaut. Melintasi dermaga di antara lautan itu rasanya seperti berlayar di atas sebuah kapal. Kami sudah sejauh ini dan penuh ekspektasi.

Santa Klaus tidak kehabisan akal. Dia mencari pasar ikan, namun pada mulanya hanya menemukan kios yang bertuliskan: JUAL IKAN SEGAR. Pada kenyataannya kios itu hanya menjual ikan yang dibekukan.  Tetap saja Santa membelinya, juga  setelah akhirnya menemukan pasar itu,  menuju pantai, kemudian melaksanakan paling tidak rencana membakar ikannya.

Pantainya sepi sore itu. Ombaknya kencang. Tidak ada yang bermain air. Kami sibuk menyiapkan  semuanya; membersihkan ikan, mengumpulkan kayu untuk pembakaran, membuat bumbu. Kami hanya melewatkan. sore itu dengan menatap warna merah pada langit dan hati kami ikut berdebur bersamaan dengan suara ombak di kejauhan. Santa Klaus sudah mengantisipasi setiap hal; walaupun alat pancing masih tersimpan di mobil, dia mengeluarkan kompor gas kecil, alat pemanggang yang berbentuk dua penggorengan yang saling menutup, dan alat-alat makan. Mungkin itu beberapa jenis hadiah natal yang sering diberikan kepada anak-anak yang hobi memasak. Kami makan dengan nasi yang dibeli sebelumnya di rumah makan padang. Sambal buatan Santa mantap.



Setelah sholat Maghrib, kami kembali ke Ruteng dan melihat lampu-lampu minyak yang temaram itu di nyalakan di sepanjang jalan. Asapnya melayang bersama kenangan masa lalu. Malam itu syahdu. Rasanya sepi sekali melewatkan malam natal di kota asing dimana sebagai muslim berarti menjadi minoritas--tidak seperti kebanyakan kota-kota di Jawa, terpesona melihat orang-orang begitu antusias dan menganggap malam itu sebagai sepenggal waktu yang spesial dalam satu tahun mereka.


Ketika tahun baru menjelang kami se-kontrakan mengumpulkan uang untuk acara yang sama: membakar ikan. Ikan bakar adalah teman karibku di sini, selain kesepian Aku membelinya di pasar yang pikuk dimana penjualnya harus berteriak untuk menawarkan ikan-ikan itu. Sementara aku merasa tua, karena merasa terganggu dengan suara petasan di kejauhan khas malam tahun baru, ikan-ikan itu dibakar. Lelucon yang entah mengapa terdengar lucu saat makan lewat tengah malam itu adalah kami begitu cepat menghabiskan ikan-ikannya ironis sekali disandingkan dengan proses pembakarannya yang lama dan merepotkan.

Januari datang dan hujan lebih sering turun.

Februari menjelang. Hujan masih akan sering turun. Aku masih akan kesepian. Mungkin di hari valentin nanti aku akan memancing lagi. Memancing hatimu. Aku akan mencarimu, bahkan jika harus mengarungi samudra paling luas. Sekalipun ombak sedang ganas. Kalau gagal, paling tidak aku bisa menuju arah pom bensin yang selalu penuh di Ruteng ini, memasuki sebuah rumah kayu dengan anyaman bambu yang merupakan sebuah rumah makan, tanpa melihat daftar menu lagi langsung memesan seekor ikan bakar, dengan jus nanas, lalu melahapnya ditemani kesepian.