Kamis, 15 September 2011

Ironi, Inspirasi, Imajinasi

Di kota ini aku tidak memerlukan ironi tentang merasa sepi di tengah keramaian, dalam dingin dan kesederhanaan kota ini aku berhak merasa sepi. Walaupun aku semakin tua dan mulai dihantui bayangan tentang pernikahan dan masa depan aku masih dicengkeram rasa takut bahwa aku akan menjadi lelaki gagal, kurang percaya diri, dan galau seperti seorang remaja jerawatan. Aku berusaha keras menenggelamkan diri dalam pekerjaan atau ke dalam lembar demi lembar buku-buku bacaan seolah-olah dengan melakukannya aku akan menemukan diriku sendiri mewujud menjadi sesosok lelaki sempurna. Belakangan ini orang-orang yang datang ke kantor, berkonsultasi mengenai masalah pajak denganku, mencoba mencairkan suasana kikuk yang aku  memang berbakat membuatnya dengan membicarakan Anak Ranaka yang mau meletus. Aku akan selalu menjawab bahwa aku melihat beritanya di televisi seolah-olah aku tinggal di pulau lain. Atau ketika beberapa hari yang lalu ada seorang petani yang berkonsultasi dengan mengeluhkan birokrasi yang lebih memihak ras tertentu ketimbang pribumi dengan gaya bahasa yang dramatis, membuatnya jadi semacam kuliah ekonomi yang membebaskan kaum tertindas, aku bahkan tidak tersentuh, sama seperti soal Anak Ranaka, aku merasa tidak relevan, bahkan untuk merasa kasihan atau sekedar menertawakannya. Di bulan September hujan sering turun dan aku masih merasakan irelevansi dengan dunia beserta persoalannya. Sekejab jadi merasa sebatang kara.

Pada malam harinya yang dingin aku akan menonton satu atau dua film kemudian tidur dengan gelisah kemudian terbangun dengan rasa pening kemudian rutinitas memelukku erat seperti seorang ibu. Aku berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sempat tertawa sendiri untuk pemikiran bahwa aku sedang mengalami fakir cinta, lebih mengerikan ketimbang fakir uang, yaitu dimana sesungguhnya aku hanya sedang membutuhkan sentuhan cinta yang lembut. Namun itu hanya romantisme dari seorang pemuda yang terobsesi menjadi penyair. Samar-samar aku meyakini bahwa kegalauanku terbentuk dari obsesi menjadi penyair itu. Aku sedang ingin menuliskan sesuatu namun dunia tidak berpihak kepadaku. Aku merasa tercerabut dan melayang dengan galau di luar angkasa yang hampa. Berharap sesosok alien menculikku dan membawaku ke planetnya di galaksi yang lain dengan pesawat super canggih yang berbentuk piring. Mungkin di planet itu sedang berlangsung kekacauan dan aku memang ditakdirkan akan menjadi juru selamat mereka. Hingga akhirnya aku pulang ke bumi dan mulai menulis sebuah novel science-fiksi. Kalau perlu aku akan jatuh cinta di dalamnya dengan sesosok alien dengan buah dada besar dan pandai memasak masakan aneh dari planetnya. Tema besarnya bisa disebut cinta intergalaksi dengan pesan moralnya sepanjang kita cinta kita bahkan bisa menikah dengan alien. Aku akan agak terhibur.

Sepanjang minggu kedua setelah lebaran, beranjak dari pertanyaan orang-orang tentang kekasih, aku sampai di tahap 'ingin melakukan apa', bukan tentang imajinasi mesum persetubuhan namun tentang hasrat yang lain, yang menggerakkan seperti roda atau baterai untuk sebuah robot. Aku merasa seperti seonggok robot karatan yang bahkan untuk mengeluarkan suara bip-bip-pun tidak berhasil. Sepanjang lebaran aku banyak menghabiskan makanan dan berharap menjadi agak berisi agar tidak lagi terlihat menyedihkan dengan tulang-tulang, namun menyedihkan ada dalam untaian DNA dalam genku dan aku tidak merasa keberatan. Aku akan berjalan-jalan sebentar seputar Ruteng untuk mencari ironi, kalau memang tidak ada alien, kupikir aku hanya sedang perlu mengisi bateraiku dengan inspirasi dan imajinasi, dengan begitu aku bisa mulai menulis lagi.