Rabu, 07 Desember 2011

Agak Relijius

Aku sudah dua puluh empat tahun. Pembukaan posting semacam ini pasti akan sangat menyedihkan. Aku berakhir dengan masih mengurusi masalah jerawat, bau mulut, atau bau badan, seolah-olah aku masih anak remaja. Aku bangun kesiangan dan kamarku berantakan. Aku bekerja tanpa ambisi, hanya karena takut akan kegagalan. Aku sudah tidak bisa menjadi apa saja; superstar atau astronot kecuali diriku sendiri. Sangat keras kepala dan membela diri. Aku masih harus mendefinisikan diriku sendiri, masih saja dilanda kegalauan, dan takut menghadapi masa depan. Aku di sini, terengah-engah mengejar bayanganku sendiri dan kesepian. Menatap nanar pada dunia, bukannya marah, aku takut aku hanya berputus asa, jika tidak boleh disebut hampa karena akan lebih terdengar mengerikan. Aku masih berjuang memenuhi sholat lima waktu. Lucunya, kupikir aku lebih galau karena iman ketimbang cinta, aku merasa seperti pastur atau biksu. Agak relijius. Agak bangga dengan kerelijiusanku itu.

Aku tahu aku hanya satu orang dari milyaran orang di bumi ini. Terkesan remeh. Mungkin aku tak akan seterkenal gurita yang bisa meramal siapa pemenang piala dunia pada tahun 2010 atau seekor simpanse yang pernah ke luar angkasa. Siapa yang peduli? Bahkan seluruh bumi pun masih terlihat kecil untuk ukuran jagad raya. Tapi aku ingin dicntai. Sialan tema ini lagi. Aku ingin menjadi berarti paling tidak bagi seseorang. Tentu saja keluargaku sangat meyayangiku karena aku memang lucu. Namun aku sedang membicarakan cinta sekarang. Aku akan menikah suatu saat nanti, tidak dalam waktu dekat sepertinya, suatu hari dengan acara ijab kobul yang mendebarkan itu. Siapapun dia sekarang sedang melintas dalam benakku dengan kelebat gaunnya yang memesona namun wajahnya tertutup cadar. Sialan, siapakah dikau gerangan? Munculah di hadapanku sekarang. Aku memaksa. Aku akan mati esok hari oleh karena itu nikahi aku hari ini.

Agak relijius.

Aku tidak berbohong. Paragraf kedua tadi hanyalah dorongan romantisme-ku yang menyeruak. Aku lebih sering memikirkan betapa berdosanya aku dibanding memikirkan gambaran sesosok istri. Aku dihantui rasa bersalah bahwa aku tidak berusaha cukup keras untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Aku menarik garis sendiri, melanggarnya sendiri. Berdoa namun tanpa harapan. Berjalan namun hatiku diam. Seperti pecundang namun mengasihi diri sendiri. Dalam posting ini aku menganalisis diri namun aku tahu aku masih saja membela diri. Sangat keras kepala dan membela diri. Apakah kesimpulannya aku agak relijius namun sedikit romantis? Aku masih harus mendefinisikan diriku sendiri. Aku tahu aku hanya satu orang dari milyaran orang di bumi ini. Terkesan remeh. Mungkin aku tak akan seterkenal gurita yang bisa meramal siapa pemenang piala dunia pada tahun 2010 atau seekor simpanse yang pernah ke luar angkasa. Siapa yang peduli? Bahkan seluruh bumi pun masih terlihat kecil untuk ukuran jagad raya. Tapi aku ingin terbangun di suatu hari mendengar rintik hujan dan mendapatimu tertidur pulas dalam pelukanku, merasa bahwa dunia ada dalam genggamanku, namun aku tahu aku takkan ragu untuk membangunkanmu untuk sholat berjamaah karena waktu subuh yang cepat beranjak pergi. Aku romantis dan tentunya, agak relijius.