Rabu, 19 Januari 2011

Memancing Kebahagiaan

Di malam natal tahun ini kulihat lampu-lampu dinyalakan di sepanjang jalan. Lampu minyak yang berasap. Hujan tidak turun. Aku melihat warga berbondong-bondong menuju gereja. Besok hari Yesus dilahirkan. Sementara Santa Klaus masih duduk di belakang kemudi mobil, terlihat lelah sehabis mengantar kami ke pantai untuk melihat sederet ombak yang bergulung.

Sebenarnya kami mau memancing, pertama di sebuah danau kecil yang airnya terlihat hijau dan dikelilingi pepohonan. Ketika itu hujan rintik-rintik. Kami menyusuri jalan setapak dan dari ketinggian melihat bagaimana indah dan tenangnya danau itu. Tak bergeming oleh hujan. Hati-hati kami menuju danau itu, takut terpeleset, malahan sampai di tempatnya kaki kami dipenuhi lintah. Mengetahui betapa kecilnya ukuran ikan-ikan di danau itu, Santa Klaus membawa kami untuk memancing di tempat lain. Kembali ke mobil sembari mencabuti lintah-lintah di kaki.


Baru beberapa kelokan salah satu dari kami sudah ada yang muntah. Di sekitar hanya tebing batu dan pepohonan. Kami menuju laut dan sinar matahari yang hangat. Memancing kemudian membakar ikannya di tempat. Begitulah rencananya, namun sampai di dermaga perahu-perahu nelayan hanya merapat. Sementara kami menyusuri dermaga yang berbentuk huruf T yang terbuat dari beton itu, hanya memandangi lautan yang bergejolak. Ombak sedang tinggi, tidak ada yang berani melaut. Melintasi dermaga di antara lautan itu rasanya seperti berlayar di atas sebuah kapal. Kami sudah sejauh ini dan penuh ekspektasi.

Santa Klaus tidak kehabisan akal. Dia mencari pasar ikan, namun pada mulanya hanya menemukan kios yang bertuliskan: JUAL IKAN SEGAR. Pada kenyataannya kios itu hanya menjual ikan yang dibekukan.  Tetap saja Santa membelinya, juga  setelah akhirnya menemukan pasar itu,  menuju pantai, kemudian melaksanakan paling tidak rencana membakar ikannya.

Pantainya sepi sore itu. Ombaknya kencang. Tidak ada yang bermain air. Kami sibuk menyiapkan  semuanya; membersihkan ikan, mengumpulkan kayu untuk pembakaran, membuat bumbu. Kami hanya melewatkan. sore itu dengan menatap warna merah pada langit dan hati kami ikut berdebur bersamaan dengan suara ombak di kejauhan. Santa Klaus sudah mengantisipasi setiap hal; walaupun alat pancing masih tersimpan di mobil, dia mengeluarkan kompor gas kecil, alat pemanggang yang berbentuk dua penggorengan yang saling menutup, dan alat-alat makan. Mungkin itu beberapa jenis hadiah natal yang sering diberikan kepada anak-anak yang hobi memasak. Kami makan dengan nasi yang dibeli sebelumnya di rumah makan padang. Sambal buatan Santa mantap.



Setelah sholat Maghrib, kami kembali ke Ruteng dan melihat lampu-lampu minyak yang temaram itu di nyalakan di sepanjang jalan. Asapnya melayang bersama kenangan masa lalu. Malam itu syahdu. Rasanya sepi sekali melewatkan malam natal di kota asing dimana sebagai muslim berarti menjadi minoritas--tidak seperti kebanyakan kota-kota di Jawa, terpesona melihat orang-orang begitu antusias dan menganggap malam itu sebagai sepenggal waktu yang spesial dalam satu tahun mereka.


Ketika tahun baru menjelang kami se-kontrakan mengumpulkan uang untuk acara yang sama: membakar ikan. Ikan bakar adalah teman karibku di sini, selain kesepian Aku membelinya di pasar yang pikuk dimana penjualnya harus berteriak untuk menawarkan ikan-ikan itu. Sementara aku merasa tua, karena merasa terganggu dengan suara petasan di kejauhan khas malam tahun baru, ikan-ikan itu dibakar. Lelucon yang entah mengapa terdengar lucu saat makan lewat tengah malam itu adalah kami begitu cepat menghabiskan ikan-ikannya ironis sekali disandingkan dengan proses pembakarannya yang lama dan merepotkan.

Januari datang dan hujan lebih sering turun.

Februari menjelang. Hujan masih akan sering turun. Aku masih akan kesepian. Mungkin di hari valentin nanti aku akan memancing lagi. Memancing hatimu. Aku akan mencarimu, bahkan jika harus mengarungi samudra paling luas. Sekalipun ombak sedang ganas. Kalau gagal, paling tidak aku bisa menuju arah pom bensin yang selalu penuh di Ruteng ini, memasuki sebuah rumah kayu dengan anyaman bambu yang merupakan sebuah rumah makan, tanpa melihat daftar menu lagi langsung memesan seekor ikan bakar, dengan jus nanas, lalu melahapnya ditemani kesepian.