Selasa, 28 Juni 2011

Surat Untuk Calon Istriku ( II )

Setelah membaca ulang suratku yang pertama aku merasa kepuitisanku terlalu berlebihan sehingga kehilangan makna. Aku mungkin tidak cukup jatuh cinta. Aku terlalu menyedihkan untuk jatuh cinta. Kali ini aku hanya ingin berhenti berpura-pura, dengan surat ini, kurasa aku hanya terobsesi menjadi puitis. Aku merasa terintimidasi dengan novel-novel yang kubaca atau lagu-lagu yang aku dengar. Bertanya-tanya bagaimana mereka bisa begitu sangat puitis sehingga membuatku hampir menangis. Membuat hal-hal sederhana di sekitar jadi begitu berarti, seperti menambah massa suatu benda, sedangkan di sini aku begitu kurus dan terlalu klise dengan gaya bahasa.

 Aku harus meminta maaf kepadamu untuk ketidakpuitisanku. Aku teringat pelajaran bahasa indonesia yang membosankan di SMA, seharusnya aku lebih memusatkan perhatianku ketika pelajaran itu. Mungkin sekarang aku akan sudah menulis seribu puisi untukmu. Di bawah sejuta bintang-bintang di malam kelam. Dalam hembusan angin musim kemarau di bawah segumpal awan. Dalam sorotan matahari sore yang dipenuhi peri-peri. Dan kamu berpendar di mataku seperti mimpi. Kamu di depan pintu kontrakanku malam ini, seperti kunang-kunang kamu menerangi gelapku. Mengajakku menari di sepanjang jalan Adi Sucipto dan tanpa suatu alasan menciumku di suatu sudut kota yang dingin ini. Aku gemetaran, lebih karena nafsu ketimbang karena dingin malam.

Aku lembur malam ini yang mengingatkanku pada mengerjakan PR di masa SD namun tanpa antusiasme. Seperti malam-malam sebelumnya aku ping-pong di kantor dan kalah. Sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang dan aku akan mengisinya dengan menulis sebuah surat untukmu. Mencoba terlalu keras untuk menjadi puitis di hadapanmu. Apa ini tidak menyedihkan? Namun baca dengan cermat suratku ini, apakah kamu bisa merasakan detak jantungku yang bernafsu? Mendengar gaung suara hatiku yang sedang menyanyikan lagu favoritku untukmu? Melihat ketulusanku yang bodoh dari kalimat-kalimat bodoh yang kutulis? Bertanya-tanya apa aku pernah terlintas dalam pikiranmu?

Kamu boleh sebut aku puitis obsesif kompulsif atau apalah itu. Pada kenyataannya aku menjadi seperti ini karenamu, membaca banyak novel cinta atau mengulang-ulang mendengar lagu-lagu cinta di malam-malamku. Ketika menulis surat pada bagian penutup ini hampir tengah malam dan aku bisa mendengar suara air dari keran di bak cuci, suara samar televisi di ruang tengah, bahkan percakapan telepon salah seorang teman dengan pacar. Aku tidak kesepian malam ini karena sedang menulis sebuah surat cinta. Aku membayangkan pada saat ini di suatu hari nanti aku akan sedang bercinta denganmu. Aku tahu untuk tidak berharap terlalu banyak namun lewat kalimat terakhir suratku ini aku hanya berharap aku pernah terlintas dalam pikiranmu, walaupun untuk sepersekian detik dan aku berdoa kepada Tuhan agar dalam sepersekian detik itu Dia meyakinkanmu tentang aku.

Minggu, 19 Juni 2011

Ijinkan Aku Menulis Lagi Dengan Rasa Muak

Aku sendirian, melihat cahaya keemasan yang lembut di sore hari dan merasa kesepian. Aku pemuda dengan usia menuju dua puluh empat dan masih merasa asing dengan dunia. Ketika kebetulan sholat ashar di masjid dan mendengar suara anak-anak yang bermain berlarian di halamannya aku jadi diliputi kedamaian yang malahan membuatku ragu apakah sesederhana itu kebahagiaan? Ketika sholat dimana tidak selalu pikiranku fokus pada Tuhan aku memikirkan banyak hal duniawi seperti misalnya dengan siapa aku akan menikah dan bagaimana nanti masa depanku, aku jadi merasa bersalah. Anggap aku seorang remaja yang ingin tahu tentang dunia, terpesona dengan orang-orang dewasa yang sukses, atau bermimpi tentang kemewahan. Pada kenyataannya aku cukup menyedihkan sehingga memikirkan cinta, kebahagiaan, atau Tuhan, bukannya menikmati kehidupan yang cuma sekali. 

Sudah lama aku tidak menulis sebuah posting dan kenyataan itu mengecewakan diriku sendiri yang mendapati bahwa aku tidak cukup kreatif. Aku bosan menulis tentang diri sendiri dengan nada pembelaan yang menyedihkan. Pandanganku tentang dunia belum banyak berubah. Aku bertanya-tanya apakah mungkin ada keadaan yang lebih baik dari saat ini? Aku mulai menumbuhkan rasa sesal tentang seharusnya aku begitu, seharusnya aku melakukan sesuatu, atau malahan seharusnya tidak. Apa sepenggal hidupku ini indah dan bermakna, dan akankah aku mengarungi sisa usiaku dengan keyakinan? Terkadang aku ingin tidur seharian, menonton film-film yang sekarang mudah diunduh. Makan banyak snack dan menjadi gendut. Aku merasa tidak relevan dengan tanggung jawab-tanggung jawab yang dipikulkan kepadaku walaupun sudah dengan keras kucoba pahami satu-per-satu.

Aku enggan menulis, selain dari sisi kreatifitas, menurutku, karena aku mulai muak membahas diri sendiri walaupun aku merasa sudah sangat akrab dengan suara dalam benakku. Aku dihantui rasionalitas diri dan mekanisme pertahanan diri yang reflektif. Pecahkan saja cerminnya, biar ketakutan akan diri sendiri yang bisa jadi sangat mengerikan itu lenyap. Aku akan jadi hantu gentayangan di suatu kota mati. Aku takut matahari. Dan dunia di mataku jadi sangat membosankan. Makan dengan perasaan hambar. Tidur tanpa sepotong mimpi. Apa itu mungkin? Kali ini aku takkan membuat lelucon tentang betapa miripnya aku dengan Robert Pattinson lagi walaupun itu konyol. Tanpa kusadari dengan menyerahnya aku pada rutinitas hidup, tanggung jawab yang secara brutal dipikulkan di pundakku, dan penilaian orang lain secara perlahan namun pasti aku telah berubah menjadi sosok mayat hidup itu. Masa pemberontakanku telah usai seperti hujan yang kini lelah berderai. Aku takkan lagi berlari dengan rasa bebas seperti seorang bocah. Aku akan hanya tertawa karena sebuah alasan. Tapi aku ragu akan bisa tertawa lagi, karena tidak ada yang lucu di dunia ini. Bahkan lelucon paling cerdas pun jadi terdengar garing karena ketidaktulusannya.