Rabu, 12 Desember 2012

Aku Selalu Memikirkanmu

Aku selalu memikirkan cinta, dalam sebuah pesawat baling-baling melintasi laut Sawu yang biru setengah tertidur aku memikirkanmu. Mendarat di bandara Mali aku langsung mencari ojek untuk mencapai Alor Kecil. Dalam perjalanan aku sempat berhenti untuk melihat dua buah pantai cantik. Aku dikejutkan oleh betapa lebarnya jalanan Alor dan ketika melintasi kota Kalabahi aku takjub oleh kantor bupatinya yang megah, ramainya kota itu, dan berdirinya beberapa masjid. Di Alor Kecil aku diturunkan di depan rumah seorang bapak yang biasa mengantar turis menuju pulau Kepa. Dengan perahu motor kecil aku diangkut ke pulau kemudian ditunjukkan jalan menuju penginapan. Ketika itu sudah beranjak sore dan langit sudah mulai berwarna jingga. Pemilik penginapannya orang Perancis. Aku sudah mencari informasi tentang akomodasi di pulau itu lewat internet sebelumnya. Cukup terjangkau. Kamarnya berupa gubuk kecil yang bersih dengan kelambu pelindung nyamuk. Dari pulau itu kita bisa melihat lautan yang biru dan pulau-pulau kecil lain yang indah.




Pada malam harinya aku makan bersama dalam satu meja dengan turis lain seperti layaknya keluarga. Kami saling berkenalan; sepasang kekasih dari Ceko, sepasang dari Slovakia, dan dua orang sama-sama petualang sendirian sepertiku; satu dari Jerman dan satu lagi Swiss. Mereka semua dari negara yang bukan berbahasa Inggris namun mereka semua fasih berbahasa itu, kurasa karena akan lebih mudah sebagai petualang jika menguasai bahasa inggris. Beberapa dari kami, termasuk aku, sepakat patungan menyewa perahu untuk snorkling keesokan harinya. Jarang aku melihat bule wanita yang menurutku menarik namun dua wanita dari eropa tengah itu sungguh cantik. Aku kemudian berasumsi bahwa wanita-wanita eropa tengah itu cantik-cantik. Kami ngobrol sampai malam. Aku lebih banyak diam, selain karena bahasa inggrisku yang buruk, mereka lebih banyak membicarakan tentang eropa; bir, kota-kota asing, dan bahkan agama. Aku diajak menonton sebuah film dokumenter tentang Papua yang semula kupikir tentang budaya atau alamnya yang indah, ternyata tentang politik; perjuangan para anggota Organisasi Papua Merdeka yang diburu oleh tentara Indonesia yang digambarkan kejam. Film itu buatan sutradara Australia kurasa.




Keesokan harinya aku menyewa snorkel namun tidak ada pelampung. Di atas perahu motor kecil yang terombang-ambing menuju titik snorkling itu aku pucat pasi memikirkan bagaimana nanti di lautan tanpa pelampung. Aku bukan perenang handal dan selama ini selalu mengandalkan pelampung. Beberapa kali kami melihat gerombolan lumba-lumba berloncatan ke udara dan di saat kami mendekat mereka menghilang. Sampai di titik pertama para bule langsung meloncat ke air kemudian berenang kesana-kemari sementara aku ketakutan menimbang-nimbang akan terjun atau tidak. Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya aku terjun ke air dan berusaha untuk berenang namun tiba-tiba rasa panik menyerang kemudian aku mulai tenggelam. Aku berpegangan pada perahu, gemetar oleh rasa takut, dan tanpa pikir panjang lagi memutuskan untuk menyerah. Para bule menyemangati bahwa jika nanti aku mati pun, paling tidak aku akan mati di tempat yang indah. (Iya, dan aku belum menikah.) Untungnya pada titik kedua kapten perahu mengeluarkan sebuah gabus putih dan menyarankanku untuk memakainya sebagai pelampung. Aku meletakkan gabus itu di atas dada dan dengan canggung mulai mengambang kemudian lama-kelamaan aku merasa selincah ikan pesut. Aku berenang bersama gerombolan ikan warna-warni dan menyaksikan hamparan koral yang menyerupai dunia mimpi ajaib yang membuatku melupakan rasa was-was-ku. Selama ini aku belum pernah melihat pemandangan semacam itu. Aku merasa begitu takjub dan diliputi rasa bahagia. Sebelumnya aku pernah snorkling di tiga titik di sekitar Flores; perairan Labuan Bajo, Riung, dan Maumere yang semula menurutku sudah menakjubkan namun di perairan Alor aku berharap menjadi salah satu ikan di dalamnya dan mati dengan bahagia. Dalam perjalan kembali ke Kepa, dalam sengatan matahari yang menyengat seperti cinta yang tak kunjung datang, aku menyesali mengapa aku tidak memiliki sebuah kamera bawah air. Dan sebuah rompi pelampung.


Aku langsung menuju kota Kalabahi siang itu juga, menginap di sebuah penginapan murah dengan pemandangan dermaga. Aku mengelilingi kota, membaur dalam keramaian di alun-alun dan membeli jajanan kecil seperti anak-anak sekolah. Melihat senja turun di pelabuhan menyelimuti kesibukan para buruh yang mengangkat barang-barang dari luar pulau. Merasakan sholat berjamaah di dua masjid berbeda dan menghayati bagaimana beribadah di tempat-tempat asing dan berdoa pada Tuhan yang sama. Aku akan menemukan cinta. Amin



Keesokan harinya aku harus beranjak pulang. Melihat matahari di atas siluet-siluet kapal, aku mencari ojek menuju bandara. Sekali lagi aku melintasi seruas jalan Alor yang lebar itu dan mencoba mengenang semua hal. Setelah melewati pintu detektor di bandara aku diperiksa seorang petugas bandara berjilbab yang manis. Aku tersenyum. Jika aku tidak memiliki rasa rindu pada kampung halaman aku akan menghabiskan sisa usiaku di pulau ini, berdua denganmu, duduk di pantai-pantainya yang cantik merasakan detik-detik dalam kehidupan kita berlalu, berenang di lautan yang dipenuhi lumba-lumba, menelusuri koral-koralnya yang memesona, dan menatap senja di dermaga sebelum kita beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Aku selau memikirkanmu.







Senin, 22 Oktober 2012

Pantai Sunyi dan Batu-Batu Karang yang Terserak (I)

Aku tidak terlalu yakin apakah aku memiliki jiwa petualangan namun cukup dengan tiket promo dan satu ruang hati yang hampa aku akan melangkahkan kakiku di atas tanah-tanah asing di seberang lautan. Penerbangan Ruteng-Kupang hanya menempuh waktu satu jam. Aku disambut matahari Kupang yang menyengat. Menginap di tempat teman lama, pada malam harinya aku diajak makan di pasar malam kampung Solor dimana satu ruas jalan disulap menjadi lautan lapak makanan laut yang benderang dan menggoda kemudian dilanjutkan karaoke di salah satu tempat karaoke keluarga yang baru dibuka di kota itu untuk menghabiskan malam. Keesokan harinya aku diantar ke pelabuhan Tenau untuk mengejar kapal cepat menuju Rote yang berangkat pagi.

Aku tertidur selama perjalanan lautnya. Dua jam lebih. Setibanya di Rote aku langsung menuju angkot yang menunggu di luar dermaga yang kemudian dipenuhi penduduk setempat. Mereka memiliki kulit terbakar khas daerah timur yang memikat. Selama perjalanan mereka mengobrol dalam bahasa daerah bercampur Indonesia sehingga sedikit banyak aku masih paham. Ada seorang pemuda berkaki panjang dan indah bercerita tentang turnamen sepak bola yang sedang dia ikuti di Kupang yang memperebutkan piala Gubernur. Mereka larut dalam pembicaraan itu sementara aku membisu. Pemuda itu bercerita tentang hadiah uang untuk para pemenangnya yang hanya cukup untuk makan bersama. Di suatu ruas jalan kami sempat terhenti menyaksikan sepasang pengantin menyeberangi jalan kemudian memasuki sebuah gereja kecil untuk mengucap janji pernikahan sementara para pengiringnya mengikuti di belakang. Siang bolong itu secara tiba-tiba romantisme cinta membanjiri hatiku yang hampa. Dalam mimpi di sisa perjalanan aku berjalan dalam acara pernikahanku sendiri.

Aku terbangun dengan suara ombak di kejauhan dan pemandangan di luar kaca jendela adalah deretan pohon kelapa. Aku diturunkan di sebuah penginapan kecil. Memasuki penginapan itu para tamu sedang makan siang bersama. Setelah meletakkan tasku di kamar, oleh tuan rumah aku langsung dipersilahkan untuk ikut makan. Semua tamunya bule sehingga aku merasa yang jadi orang asingnya di situ. Istirahat sebentar, mandi, sholat dhuhur, kemudian aku beranjak ke pantai. Pantainya sepi mengingatkanku pada hatiku yang juga sepi. Nemberala bukanlah daerah dengan pantai yang sangat memesona, aku mengetahui daerah itu dari internet; rekomendasi pantai dengan ombaknya yang panjang dan sempurna untuk selancar--ada turnamen selancar internasional setiap tahunnya di situ--namun pasir putih dan rasa sepinya adalah dua hal yang sudah cukup membuat sebuah pantai disebut surga. 



Pada sore harinya aku menyewa sepeda motor dari pemilik penginapan. Ada beberapa pantai lagi di sebelah selatan. Jalanannya sudah bagus. Banyak babi berkeliaran di jalanan dan yang sering mengagetkanku adalah babi-babi kecil yang secara tiba-tiba menyeberang jalan dengan meloncat seperti seekor kelinci. Mereka semua dibiarkan bebas oleh pemiliknya. Warga setempat sangat bersahabat; tak malu menyapa dan tersenyum. Aku berhenti di beberapa pantai dengan pemandangan yang indah. Pantai yang sunyi, hamparan rumput laut, dan batu-batu karang yang terserak membuatku merasakan cintaku yang juga sunyi dan terserak di suatu sudut bumi yang mahaluas ini.





Ketika malam beranjak datang jalanan jadi begitu gelap. Lampu jalan hampir tidak ada. Mudah bosan, aku berencana pulang keesokan harinya. Angkot ke kota beroperasi pagi-pagi sekali dan hanya sekali sehari. Namun saat merogoh kantong celana dan mendapati ternyata hp-ku tidak ada, sepertinya dengan terpaksa aku harus menyusuri kembali jejak-jejakku di atas pantai-pantai sunyi itu dan menatap nanar pada karang-karangnya yang terserak keesokan hari. Merasakan lagi rasa sepi yang menghantam ulu hati seperti ombak. Tanpa tahu pantai-pantai dan karang-karang lain yang lebih indah menanti. 
***

Rabu, 08 Agustus 2012

Aku Hanya Akan Tersenyum

Ramadhan bergulir lagi seperti butiran hujan di balik kaca jendela. Aku hanya menatapnya dengan hampa seolah sepenggal musim datang lagi dan fenomena alam atau cuaca-nya mengikuti. Ibu menelepon mengingatkanku untuk lebih rajin beribadah. Walaupun bukan negara islam, acara televisi  dan masyarakat mengambil tema yang sama: puasa. Aku mengenang dua Ramadhan silam di saat aku mulai menulis posting dan mulai menghidupkan blog ini. Aku membayangkan diriku ketika itu sebagai pemuda ringkih dengan wajah melankolis yang mencoba menghibur dirinya sendiri dalam dingin Agustus yang menggigil. Dan fakta bahwa sudah sejauh ini aku menulis membuatku masih memeluk erat mimpiku menjadi seorang penulis. Hidup dengan mengenggam mimpi seperti seorang bocah yang menggenggam tali balonnya erat-erat karena takut terbang.

Dalam Ramadhan ini aku lebih sering memikirkan Tuhan walaupun aku belum terlalu teratur dengan ritual. Aku cukup relijius karena begitulah cara aku dibesarkan. Di kota asing yang perlahan-lahan seperti rumah sendiri bernafas dan berdoa menjadi dua hal yang begitu pribadi dan sakral. Rutinitas makan sahur dengan nasi dingin yang dibungkus pada malam harinya, puasa seharian di kantor dengan bibir kering dan bau mulut, memburu sajian berbuka keliling kota, dan solat tarawih yang bolong-bolong menjadi semacam perjuangan kecil sehari-hari. Aku akan bertahan seribu tahun lagi, dengan iman dan rasa sepi aku akan menaklukan dunia ini.

Tuhan ada di kota yang dingin ini. Cinta bersemayam dalam hati yang dingin ini. Lebaran menjelang aku akan pulang kampung dan melihat kedua orang tuaku yang menua yang aku bersyukur masih ada dan keponakan yang semakin besar. Berkunjung ke beberapa rumah saudara dan menghadiri beberapa reuni. Pertanyaan besarnya akan disodorkan kepadaku--tentang jodoh--dan aku hanya akan tersenyum.

Ruteng Ramadhan ini begitu dingin. Tidur singkat sehabis sahur begitu nikmat. Aku harus membahasahi bibirku terus-menerus karena takut kering. Mungkin hari ini imanku akan menguat atau melemah, begitu pula cintaku, namun aku akan terus melanjutkan hidupku yang satu-satunya ini. Aku berusaha membaca perasaanku sendiri dan meyakinkan diriku untuk melalui Ramadhan sekali lagi, bernafas dan berdoa: Tuhan, hidup ini begitu absurd dan dingin, kuatkanlah aku, yakinkanlah............




Rabu, 11 Juli 2012

Tragedi Mahasedih

Di saat aku mulai menulis tulisan ini dalam buaian sepenggal waktu yang beku dan malam larut aku berusaha membebaskan diriku menuju padang rumput dengan sinar matahari dan bunga-bunga liar. Aku berusaha menemukan lagi motivasi, hasrat menggebu yang bergejolak di dada para pemuda idealis yang memimpikan surga di atas bumi ini. Aku merasakan tepat di perutku bukan lagi rasa lapar yang membuat terjaga namun timbunan lemak yang menjemukan. Aku sudah merasa nyaman dengan hidupku yang datar dan enggan merasakan kesenduan yang menghinggapi jiwa-jiwa galau para pemuda yang bermimpi tentang pemerintah bebas korup dan cinta yang menggairahkan. Tema apalagi yang akan aku tulis, tema dangkal yang hanya mengobati rasa bosan akan pekerjaan dan mimpi kehidupan mapan. Aku mulai malas terusik dengan politik, cinta yang tak kunjung datang, atau bahkan pengumuman random yang terdengar. Tidak lagi memuja matahari, angin sepoi-sepoi, atau musik favorit. Bertambah tua dan sering mengeluh. Diam saja menyalakan televisi untuk melihat kemolekan tubuh pemain-pemain sinetron remaja yang bercelana super pendek. Ada bagian dari tubuhku yang tak bergeming melihat kehidupan berlalu. Matahari terbenam kemudian malam datang dan perasaan miris yang terkadang menghampiri hanyalah sekedar nyanyian sendu murahan di acara musik televisi pagi hari. Aku akan menonton acara komedi untuk tertawa, sekedar membaca semua timeline di twitter atau status-status facebook random dari orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Dunia jadi begitu melenakan sekaligus begitu asing, seolah-olah aku pergi ke lokalisasi dan dengan uang aku bisa bersenang-senang dan hidupku akan terasa penuh. Mungkin aku hanyalah insan yang tak pernah berhenti bersyukur kepada Tuhan, tak pernah menyesali masa lalu dan persetan dengan masa depan. Atau hanyalah seorang pemuda hampa yang memuakkan yang menulis tentang kehampaan yang menyesakkan seolah-olah sebuah tragedi mahasedih. Di sini aku sekarang, dalam ruang sempit idealisme aku bernafas satu-satu, di antara himpitan rasa malas dan rasa nyaman. Dengan semua lemak yang menjemukan dan pembelaan diri ini aku berjalan di muka bumi seperti seorang pelancong dengan topi dan sandal jepitnya melihat kehidupan sebagai tempat wisata yang indah. Sementara mimpi-mimpi telah pergi seperti balon-balon yang terlepas ke langit dan cinta hanyalah menjadi lagu-lagu pengiring di tempat perbelanjaan. Aku menyusut dan merasa tak memiliki arti, seperti sehelai daun kering yang diterbangkan angin, berpindah dari satu ranting ke ranting lain, yang hanya dengan satu sentuhan kecil sekalipun akan hancur berkeping-keping. Atau, sekali lagi, hanyalah seorang pemuda hampa yang memuakkan yang menulis tentang kehampaan yang menyesakkan seolah-olah sebuah tragedi mahasedih.

Minggu, 17 Juni 2012

Musim Mangga

Musim kemarau datang dan suhu di Ruteng menjadi lebih dingin. Aku bangun tidur dengan hidung mampet dan menghindari mandi pagi. Terkadang hidung bisa mampet seharian dan agak merusak hari. Aku ingin mengeluh namun hal semacam itu tak ada gunanya. Diam-diam aku menyukai hawa dingin tersebut karena mengingatkanku pada rasa sendu atau cinta yang tak kunjung ketemu. Pada siang harinya mataharinya begitu benderang namun hawa dingin masih saja menyergap hatiku dan membuat hatiku kedinginan dan merindukan sebuah sentuhan. Aku berfikir apa di usiaku sekarang aku masih berhak merasa galau dan menuliskannya dengan bahasa yang dilebih-lebihkan. Namun betapa dinginnya Ruteng hari-hari belakang ini bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan lagi.

Aku habiskan banyak waktu dalam hidupku dengan bercanda akhir-akhir ini dan aku takut mulai kehilangan rasa sepi atau sendu dalam tulisanku. Aku membuat semua hal jadi lelucon dan menertawakannya sendiri seperti orang gila. Pekerjaan. Cita-cita. Cinta. Aku tahu ada sejenis melankolisme dalam lelucon-lelucon itu yang masih membuatku merasa menjadi diri sendiri. 

Masih tenggelam dalam rutinitas, menjadi robot sepertinya satu-satunya keahlianku. Rutinitas membuatku berfikir bahwa masih ada hal-hal yang harus kulakukan dalam hidup walaupun ada satu rutinitas yang mulai perlahan-lahan kutinggalkan: mandi--aku menyalahkan suhu udara. Satu rutinitas lain yang mulai kutambahkan dalam daftar rutinitasku setiap hari Minggu adalah ikut sebuah pengajian kecil sebelum Dhuhur tentang bagaimana menjalani kehidupan islami itu. Aku tumbuh besar dalam didikan keluarga yang konservatif mengenai agama dan kajian semacam itu mengingatkanku pada kampung halaman atau bagaimana aku tidak sereligius dulu. Namun mendengarkan kajian semacam itu di usia-ku sekarang dimana aku berusaha lebih terbuka kepada hidup, samar-samar aku merasakan keniscayaan hidup islami: menolak minum, menikah tanpa pacaran dulu, berjenggot, atau membentengi diri dari budaya luar yang menyimpang. Apakah aku menua atau ini hanya caraku menjadi terbuka. Rasa-rasanya aku bisa hidup semembosankan itu dan mati bahagia, atau aku hanyalah manusia random yang hampa yang untuk mengisi hidupnya selain rutinitas adalah dengan iman.

Masih ada absurditas dalam pikiran dangkalku: suhu yang bertambah dingin, lelucon yang masih membuatku merasa sendu, rutinitas datar, dan iman yang bangkit. Bagaimana hal-hal yang terpisah itu saling berhubungan dan membentuk logika dalam pemahamanku aku sendiri bertanya-tanya. Satu hal yang pasti aku merindukan rutinitas menelusuri pasar tradisional di Ruteng ini untuk sekedar membeli bahan makanan untuk dimasak--sudah ribuan tahun aku tidak memasak--atau sekedar membeli mangga. Aku jadi bertanya-tanya apakah di sini sedang musim mangga sekarang.

Kamis, 24 Mei 2012

Pulau Antah Berantah, Danau Tiga Warna, dan Sahabat Lama

Liburan kemarin aku mendapati diriku berada dalam perjalanan 12 jam menuju Maumere, kota di bagian timur pulau Flores. Ditemani kesepian aku memikirkan motivasi yang menggerakkan diriku menuju kota itu; kehampaan seorang pemuda di usia hampir seperempat abad berpadu dengan mimpi tentang sebuah petualangan. Aku sampai di Maumere malam-malam dan dengan samar-samar meraba wajah kota itu. Disambut salah seorang teman dari teman kuliahku aku berusaha menjadi terbuka, diajak ke sebuah perjamuan makan dan bercakap-cakap dengan kikuk. Aku bukanlah tipe lelaki yang mudah bergaul. Pada keesokan harinya aku ikut berdesakan dalam sebuah perahu motor yang disewa murah dari salah seorang nelayan di pesisir timur laut Maumere menuju pulau Pangabatan. Snorkling dengan pelampung di suatu titik yang tidak terlalu dalam sebelum menelusuri pasir pantai pulau Pangabatan yang putih. Kebetulan hari itu Jumat jadi kami menunaikan sholat Jumat di pulau itu. Ketika sholat di dalam masjidnya yang kecil dengan ketenangan pulaunya yang hampir sempurna kecuali dengung sound sistem masjid itu aku diliputi kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya dan membuatku merasa masih menjadi orang baik. Setelahnya kami makan nasi bungkus yang sudah dibeli sebelumnya, menelusuri pantainya yang indah hingga ke ujung pulau sebelum celanaku basah dalam upaya kembali menuju perahu. Dalam perjalanan pulang aku terombang-ambing ombak kemudian setengah tertidur berharap bermimpi tentang cinta.




Dari perjalanan yang membuat kulitku terbakar aku meninggalkan teman-teman baru-ku di Maumere menuju Moni; menginap satu malam untuk mengejar fajar di puncak Kelimutu. Sayang sekali keesokan harinya hujan yang belum reda juga dari semalam meluruhkan rencanaku. Sehabis reda, dengan ojek aku menuju Kelimutu diselimuti ketakutan akan kabut. Menelusuri jalan setapak menuju danau dengan vegetasi luar biasa di sekitar membuatku merasa menjadi salah seorang petualang dalam acara televisi yang suka menantang bahaya; mencari-cari ular atau buaya. Di puncaknya langit begitu cerah. Walaupun agak kecewa melewatkan fajar, melihat dengan mata kepala sendiri danau tiga warna yang terkenal itu--walaupun tidak sepenuhnya tepat sebutan 'tiga warna' ketika itu karena dua diantaranya berwarna sama biru pastel dan satu lagi gelap--sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Dengan bantuan turis lain aku berhasil mengambil gambarku sendiri di situ. Di tugu di puncaknya aku duduk cukup lama menatap danau-danau itu tak bergeming, menyaksikan kabut yang sempat menutupi permukaannya, dan berfikir tentang cinta yang tak kunjung datang dan tentang iman yang harus selalu diperjuangkan. Sebelum berangkat ke Ende aku mandi di pemandian air panas di suatu kampung di hadapan ibu-ibu yang mencuci, menyaksikan sebuah air terjun tanpa nama seorang diri, dan menyantap pancake yang disediakan penginapan dengan rasa hambar.





Di Ende aku menemui seorang sahabat lama. Kami saling bertukar kabar dan seulas senyuman penuh kenangan. Aku diajak berkeliling kota, berhenti di depan rumah tempat pengasingan presiden Soekarno di masa penjajahan yang gerbangnya terkunci, dan menuju pantai untuk berbicara panjang lebar sambil melihat keramaian dermaga. Pasirnya hitam, walaupun tidak terlalu menarik, sepotong senja yang berwarna akan selalu menarik. Juga serangkaian pembicaraan ringan dengan seorang sahabat lama. Dan melihat anak-anak yang bermain bola atau berenang. Pada malam harinya aku menginap di kos temanku itu dan pulang ke Ruteng keesokan hari. Meninggalkan kota Ende dalam perjalanan pulang berarti menyusuri garis pantai yang panjang dengan buih-buih ombaknya. Dari jendela travel aku melihat seseorang berjalan di pantai seorang diri dan meninggalkan jejak di belakangnya. Aku teringat tepat di hari itu di Salatiga salah seorang temanku sedang melangsungkan ijab-qobul dan tiba-tiba aku diselimuti bayang-bayang pernikahan. Aku pemuda kesepian yang akan berjalan lebih jauh lagi untuk menemukan cinta, kalau perlu sampai ke ujung dunia. Paling tidak, dengan begitu aku bisa menuliskan kisah perjalananku itu; baik di suatu pulau antah berantah, danau seribu warna, ataupun kota-kota asing--kisah perjalananku yang panjang dan berliku untuk mencapai tempat dimana kamu berada sekarang.


Minggu, 22 April 2012

Surat Untuk Calon Istriku ( III )

Bacalah surat ini dengan hatimu.........

Aku mulai bosan membuat surat semacam ini namun pencarian juga merupakan bagian dari hidup. Aku mulai bosan menyanyikan lagu tentang kesendirian namun hanya lagu ini yang sudah kukenal sejak aku dilahirkan dan menangis, seperti lagu nina bobok yang bisa membuatku tertidur dan memimpikanmu. Saat-saat menulis surat ini bisa dikatakan saat-saat pencerahan yang garing, seperti aku berharap dengan cemas semoga kamu tidak terburu-buru. Kecemasan semacam itu menghancurkan hatiku dan aku hanya bisa menulis dengan cinta yang berpendar di dalamnya. Aku tahu aku bukanlah lelaki yang luar biasa namun aku bisa menunjukkan kepadamu bahwa dunia itu indah, dan kita berdua hidup bersama sudahlah cukup dan berbahagia. Mungkin aku menginginkan anak lelaki, sedangkan kamu perempuan, namun kita bisa sama-sama mengajarkan betapa luar biasanya perasaan mencintai dan dicintai itu.

Aku menulis surat ini ditemani malaikat cinta yang berdengung di telinga. Aku ketakutan aku tidak akan cukup romantis. Ketika kamu membaca sampai bagian ini yakinlah bahwa aku selalu mencarimu dan tak pernah berhenti dan aku berharap kamu tidak terburu-buru. Kamu perempuan yang baik dan sabar, yang menatap sebuah bintang yang sama dan berharap dengan sama antusiasnya denganku di sini. Surat ini kutunjukkan hanya kepadamu yang sekarang tersenyum, untukmu bidadari, ribuan tahun lalu aku sudah merasakannya, hingga akhirnya nanti kita bertatap muka aku berharap aku tidak terlalu membosankan dengan cintaku yang berkarat dan berlebihan. Aku memimpikan punggungmu dan aku ingin meratap di atasnya mengapa harus menghabiskan bertahun-tahun umurku, mengapa harus sedemikian berliku, mengapa sedemikan hampir putus asanya aku, untuk menemukanmu. 

Untuk kemarahanku itu, hasrat yang menggebu untuk segera bertemu, aku ingin meminta maaf telah membuatmu menunggu dalam dingin kehidupan. Oleh karena itu aku menulis surat ini berupaya menghangatkan hatimu yang beku. Anggap saja lewat surat ini aku ingin memelukmu begitu lama seolah selama-lamanya. Jadi kamu tidak perlu bersedih berkepanjangan. Semua ini sungguh terasa menyiksa dan tak tertahankan namun ketika kamu membaca sampai bagian penutup dari surat ini yakinlah bahwa aku selalu mencarimu dan tak pernah berhenti dan aku berharap kamu tidak terburu-buru.




Minggu, 08 April 2012

Sepenggal Paskah

Liburan paskah aku habiskan di kontrakan. Beberapa teman berangkat memancing di perairan sekitar Labuan Bajo. Suhu Ruteng beberapa derajat lebih dingin kurasa, di malam harinya yang lembut mulutku beruap seperti merokok. Suatu hari aku akan mencintai seseorang dan memeluknya dengan sungguh-sungguh, apalagi dalam suhu seperti ini. Aku takut masuk angin. Aku merasa sedikit demam dan mual. Aku membuat mi instan dan menghirup kuahnya sampai habis. Aku juga menyeduh campuran sereal dengan kopi panas-panas. Aku menonton tv kabel seharian dan merasa bodoh. Aku bahagia walaupun aku terlihat menyedihkan. Bagaimana pikiran bahagia tiba-tiba melintas dalam kepalaku, aku sendiri tidak yakin sungguh-sungguh memikirkannya. Aku merasa hari berlalu begitu saja kemudian yang aku hadapi hanyalah kegagalan. Aku seperti pemurung walaupun aku hanya tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Tersenyum membuat pipiku capek.

Pagi-pagi aku menelepon ibu, sudah lama sekali aku tidak meneleponnya. Kami penelpon yang kikuk yang mengakhiri percakapan kami dengan pertanyaan masih adakah hal lain yang perlu dibicarakan. Aku merasa hubungan kami dekat namun ada rasa sungkan di antaranya seperti dua orang asing. Aku kaget dia mengajukan pertanyaan tentang calon istri pagi itu, cukup mengganggu dan dia tahu itu. Dia sedang berada dalam sebuah mobil dalam perjalanan melayat bersama keluarga besarnya dan pertanyaan itu bukanlah dari dia. Aku tertawa dan tak menjawab pertanyaan itu. Bagaimana percakapan telpon itu berakhir terasa cukup kikuk, seperti secangkir kopi pahit. Aku tidak lantas berfikir tentang calon istri setelah itu walaupun jika dipikirkan akan cukup menarik. Aku baru memikirkannya ketika menulis blog ini. Aku mengingat langit malam dengan selimut awan tipis dan bintang-bintangnya yang indah. Agak melankolis kurasa memikirkan kesendirian, langit berbintang, dan rasa bahagia. Sepertinya terlalu berat untuk malam ini walaupun aku belum mengantuk. Baru saja aku menonton acara keilmuan di tv kabel tentang kemungkinan kita menjelajahi waktu ke masa lalu atau masa depan dengan antusiasme yang agak dipaksakan. Dalam pemahaman dangkalku dari acara itu dimana Einstein yang terkenal itu yang mengemukakan teori itu aku berfikir ruang-waktu seperti jalinan takdir. Hanya sebatas itu, jika aku berfikir terlalu jauh aku akan semakin terlihat menyedihkan, tanpa kekasih, di malam minggu yang cerah, memikirkan hal yang tidak-tidak untuk menutupi nafsu dan rasa kesepian.

Sebelum tidur aku ingin memikirkan cinta. Aku kedinginan di kota ini berkhayal tentang bidadari bersayap yang super seksi mengetuk jendela kamarku namun malahan jadi terkesan mesum. Aku menghalau khayalanku dan mulai menulis blog ini dengan percikan cinta di dalamnya, rasa sepi, dan omong kosong ringan yang mengarah jadi sebuah komedi. Aku tersenyum sendiri seolah-olah menghidupkan roh pelawak dari tulisan ini. Walaupun absurd, aku merasa kata-kata ini mengalir lembut, dalam kelembutan malam yang makin larut, takdir yang terus melaju, dan pikiran mesum yang terlalu lelah untuk menggerakkan sendi-sendi lelakiku.

Selasa, 20 Maret 2012

Melancholyholic

Dalam kubik kerja-ku aku mulai menulis posting ini. Sendirian. Kelengangan ruangan kantor selepas jam kerja terasa menenangkan seperti sebutir obat tidur. Aku mengenang hujan yang berderai siang tadi ketika dalam perjalanan menuju tempat makan siang aku melihat anak-anak sekolah kehujanan dan dorongan romantisme-ku membuatku tersenyum mengenang rasa hujan di masa kanak-kanak dan bermimpi tentang berciuman denganmu dalam suatu hujan yang basah. Mendadak aku teringat mimpi buruk semalam dimana dalam suatu peristiwa pembunuhan berantai aku dituduh sebagai pelakunya. Teman-teman satu kontrakanku tewas satu per satu dan aku berusaha membela diri bahwa aku bukan pembunuh mereka. Rasa sakit hati karena dituduh masih kurasakan setelah aku terbangun di pagi harinya, sementara angin kencang bertiup di luar, aku merasakan awal hari yang suram. Tanpa sempat mandi aku pergi ke kantor, gosok gigi dan cuci muka, dengan baju bekas minggu lalu yang belum sempat kucuci aku merasa hatiku berhamburan di suatu peristiwa tragis dalam sepotong mimpiku semalam. Aku mencoba menafsirkan mimpi tersebut seperti Sigmund Freud; aku keseringan menonton serial pembunuh berantai, namun inti dari mimpi itu adalah rasa sakit hati dan ketakberdayaanku untuk membela diri. Aku jarang mengingat mimpiku, jika memang ada penjelasan psikologis tentangnya, penyangkalanku akan menolak penafsiran semacam itu--aku tak mau dihakimi. Namun satu hal yang aku tahu persis adalah diriku sendirilah yang menghakimi paling kejam.

Awal yang suram bukan berarti akan merusak keseluruhan hari. Mungkin dalam posting-postingku dan keyakinanku bahwa aku pecandu melankolisme menunjukkan bagaimana aku menganalisis perasaanku sendiri. Walaupun analisisku terlihat kurang cerdas dan mungkin juga kurang akurat, aku benar-benar menikmati secercah cakrawala pengetahuanku itu. Seperti semburat surya di garis horizon. Aku merasa memeluk diriku sendiri di tengah badai sekalipun. Kesadaranku berkilauan dalam pikiran dangkalku seolah-olah aku sedang memikirkanmu dan pikiran-tentang-kamu itulah satu-satunya realitas bagiku. Dalam beberapa hari ini rasa percaya diri akan kemampuan menulisku sedang berada di titik-titik rendah. Aku tak meyakini kata-kataku. Meragukan makna yang bisa kubuat dari kata-kata itu. Aku dijejali kehampaan dan hampir tercekik. Namun sepotong mimpi buruk telah mengubah hari-hari datarku jadi agak menyeramkan dan derai hujan membangkitkan romantisme-ku yang telah lama lesu. Aku jadi agak bersemangat dan dalam suatu senja yang hangat dan lembut aku mulai menulis posting ini, memuaskan kecanduanku pada melankolisme. Aku tersenyum kecil sekarang dan agak sakau.


Sabtu, 03 Maret 2012

Aku Versi Jompo

Lagi-lagi aku membicarakan diri sendiri. Mengambil langkah aman. Tak ada yang keberatan dengan topik ini, kecuali diriku sendiri. Dalam beberapa respon yang aku terima ada yang menyayangkan sudut pandangku dalam memandang hidup maupun diri sendiri. Suram. Mengasihi diri. Kadang-kadang aku ingin membela diri namun di suatu titik dalam hidupku dengan pengalaman yang aku alami dan pengetahuan yang aku serap aku merasa wajar saja. Walaupun dengan keterbukaan seperti dalam tulisan-tulisanku ini kelelakianku perlu dipertanyakan, ada pertanyaan yang lebih besar yang mengusikku; bagaimana sebenarnya gaya kepenulisanku? Hemingway sangat maskulin, menggambarkan perang, pesta, atau perburuan dengan kalimat yang lugas. Ketika aku menulis kalimat puitis aku merasa hanya pamer bahwa aku juga bisa romantis. Orhan Pamuk yang kupuja karena kesenduannya tidak secengeng aku menulis hidupku. Terkadang membaca karya pengarang-pengarang besar hanya melumpuhkan keberaniamu untuk menulis karena kamu tidak akan pernah cukup bagus. Aku tidak akan pernah bisa menulis novel seperti mereka, seindah mereka, secerdas mereka. Aku dengan kaca mata culunku hanya akan berakhir sebagai salah satu pengagum mereka yang membaca ulang frasa-frasa dalam novel mereka hanya untuk merasakan kepuasan. Dan itu cukup.

Aku hanya sedang bosan. Menonton banyak acara TV kabel, menonton film-film yang diunduh secara ilegal, maen PES, ataupun berolahraga aku merasa membiarkan diriku sendiri tidak berkembang. Larut dalam pekerjaan kantor yang tidak akan pernah habis. Apakah aku hanya sedang menyia-nyiakan hidup? Aku memang tidak tahu banyak tentang hidup. Aku merasa tidak memiliki prioritas. Aku seperti menaiki tangga tanpa ujung. Suatu hari aku ingin menjadi orang yang sangat kaya, suatu hari aku hanya ingin memiliki sebuah keluarga dan hidup bahagia, suatu hari aku hanya ingin menjadi seorang penulis. Dan hari-hari terus bergulir dan ribuan mimpiku hanyalah seperti bintang-bintang di langit; indah namun jauh. Aku tahu aku tidak sendirian dalam masalah ini. Hanya beberapa dari kita yang berhasil. Aku merindukan buku-buku filsafat yang kubaca semasa kuliah yang selalu mendorongku untuk berani menjalani hidup dengan jalan pikiran tertentu. Namun aku menua, dan dengan kecemasan dan kegelapan realitas aku hanya menjadi seonggok daging itu yang berjalan di muka bumi ini dan makan dan minum dan tidur dan takut mati. Beribadah hanya karena takut neraka. Aku tahu ada sisi suram dalam tulisanku ini. Kita ambil saja kesimpulan bahwa gaya kepenulisanku bergaya gothic dengan begitu pertanyaan besarku terjawab, jangan terlalu dianggap serius. Aku bahkan ragu apakah ada artinya tulisanku ini, kalaupun ada harus seteguh apa membelanya. Aku menua dan aku tak ingin lagi banyak bertanya atau membela diri. Aku hanya berusaha bertahan hidup sampai aku mati.

Kamis, 02 Februari 2012

Sundul Bolong yang Ganteng

Hujan sering turun dan membuatku takut masuk angin. Pesawat ke Labuan Bajo dibatalkan, kami para penumpang yang asing satu sama lain diinapkan di penginapan dekat Bandara Ngurah Rai dan merasa disatukan oleh keluhan yang sama. Aku dan seorang teman menyewa sepeda motor, menyusuri Kuta dan Legian di malam hari, berpose dengan kikuk di depan Hard Rock Cafe karena aku mulai kehilangan kenarsisan--mulai merasa konyol untuk mengupload foto di jejaring sosial, kemudian menonton TV kabel semalaman di kamar hotel. Rencana pagi harinya melihat matahari terbit di Sanur namun aku bangun kesiangan dan paginya hujan rintik-rintik. Walaupun begitu kami tetap melihat gulungan ombak Sanur di bawah rintik hujan hanya karena merasa sayang sudah menyewa sepeda motor dan dengan kikuk berpose untuk difoto lagi. Siangnya pesawat kami meluncur dan baru pada malam harinya aku sampai di Ruteng.

Aku mengingatkan diriku sendiri untuk menulis sesampainya di Ruteng namun selalu saja terbuai dalam pemainan saling mengolok di kontrakan. Pernah aku berfikir bahwa aku mulai kecanduan dengan permainan itu; diolok hingga merasa tak berharga namun membela diri dengan asumsi bahwa aku baik-baik saja dengan anggapan orang dan mengeluarkan sepasang tanduk setan dari kepala dan dari lidah ularku keluarlah kata-kata sarkastik hanya untuk memuaskan egoku. Aku akan hidup dengan semua itu.

Kemudian tadi siang aku mengalami kecelakaan. Dalam sepersekian detik aku memikirkan sosok kematian yang termasyhur itu. Aku tidak apa-apa. Belum saat itu ajalku. Ketika aku di kamar sendirian dan memikirkan mengapa aku ditimpa kemalangan semacam itu aku tahu apa yang harus kulakukan dan yang seharusnya aku lakukan dari dulu: menulis. Aku memikirkan jalan takdir yang berliku dan bagaimana lemahnya aku menerimanya. Aku merasa melihat lubang di dadaku membesar yang membuatku seperti sesosok sundul bolong yang ganteng. Aku kehilangan selera humor untuk permainan saling mengolok. Aku akan beribadah lebih kusyuk namun takut menjadi munafik.

Aku tahu aku akan baik-baik saja, walaupun dengan luka kecil di tangan dan kakiku, bahkan dengan lubang yang menganga di dadaku yang membuatku seperti sesosok sundul bolong yang ganteng, aku akan terus meyakinkan diriku. Ini hidupku yang kujalani setelah aku bangun dari sebuah tidur. Aku akan terbangun lagi dan lagi dan lagi hanya untuk menjalani hidupku hingga ajal menjemput. Aku tahu bahwa secara perlahan namun pasti aku sedang menuju ke situ. Sebuah tempat dan momen aku akan mati. Setiap kejadian, sekecil apapun objek yang bersinggungan denganku, rasa takut yang kucoba sembunyikan akan mengantarku pada maut. Aku membicarakan maut, aku ketakutan, bukan hanya karena sosoknya yang begitu meyakinkan dan misterius lebih karena betapa beraninya aku, betapa lancangnya aku membicarakannya, seolah-olah menggambarkan keimanku yang lemah. Aku sedang diolok-olok Tuhan dan aku tak mau ikut dalam permainan itu.