Minggu, 22 April 2012

Surat Untuk Calon Istriku ( III )

Bacalah surat ini dengan hatimu.........

Aku mulai bosan membuat surat semacam ini namun pencarian juga merupakan bagian dari hidup. Aku mulai bosan menyanyikan lagu tentang kesendirian namun hanya lagu ini yang sudah kukenal sejak aku dilahirkan dan menangis, seperti lagu nina bobok yang bisa membuatku tertidur dan memimpikanmu. Saat-saat menulis surat ini bisa dikatakan saat-saat pencerahan yang garing, seperti aku berharap dengan cemas semoga kamu tidak terburu-buru. Kecemasan semacam itu menghancurkan hatiku dan aku hanya bisa menulis dengan cinta yang berpendar di dalamnya. Aku tahu aku bukanlah lelaki yang luar biasa namun aku bisa menunjukkan kepadamu bahwa dunia itu indah, dan kita berdua hidup bersama sudahlah cukup dan berbahagia. Mungkin aku menginginkan anak lelaki, sedangkan kamu perempuan, namun kita bisa sama-sama mengajarkan betapa luar biasanya perasaan mencintai dan dicintai itu.

Aku menulis surat ini ditemani malaikat cinta yang berdengung di telinga. Aku ketakutan aku tidak akan cukup romantis. Ketika kamu membaca sampai bagian ini yakinlah bahwa aku selalu mencarimu dan tak pernah berhenti dan aku berharap kamu tidak terburu-buru. Kamu perempuan yang baik dan sabar, yang menatap sebuah bintang yang sama dan berharap dengan sama antusiasnya denganku di sini. Surat ini kutunjukkan hanya kepadamu yang sekarang tersenyum, untukmu bidadari, ribuan tahun lalu aku sudah merasakannya, hingga akhirnya nanti kita bertatap muka aku berharap aku tidak terlalu membosankan dengan cintaku yang berkarat dan berlebihan. Aku memimpikan punggungmu dan aku ingin meratap di atasnya mengapa harus menghabiskan bertahun-tahun umurku, mengapa harus sedemikian berliku, mengapa sedemikan hampir putus asanya aku, untuk menemukanmu. 

Untuk kemarahanku itu, hasrat yang menggebu untuk segera bertemu, aku ingin meminta maaf telah membuatmu menunggu dalam dingin kehidupan. Oleh karena itu aku menulis surat ini berupaya menghangatkan hatimu yang beku. Anggap saja lewat surat ini aku ingin memelukmu begitu lama seolah selama-lamanya. Jadi kamu tidak perlu bersedih berkepanjangan. Semua ini sungguh terasa menyiksa dan tak tertahankan namun ketika kamu membaca sampai bagian penutup dari surat ini yakinlah bahwa aku selalu mencarimu dan tak pernah berhenti dan aku berharap kamu tidak terburu-buru.




Minggu, 08 April 2012

Sepenggal Paskah

Liburan paskah aku habiskan di kontrakan. Beberapa teman berangkat memancing di perairan sekitar Labuan Bajo. Suhu Ruteng beberapa derajat lebih dingin kurasa, di malam harinya yang lembut mulutku beruap seperti merokok. Suatu hari aku akan mencintai seseorang dan memeluknya dengan sungguh-sungguh, apalagi dalam suhu seperti ini. Aku takut masuk angin. Aku merasa sedikit demam dan mual. Aku membuat mi instan dan menghirup kuahnya sampai habis. Aku juga menyeduh campuran sereal dengan kopi panas-panas. Aku menonton tv kabel seharian dan merasa bodoh. Aku bahagia walaupun aku terlihat menyedihkan. Bagaimana pikiran bahagia tiba-tiba melintas dalam kepalaku, aku sendiri tidak yakin sungguh-sungguh memikirkannya. Aku merasa hari berlalu begitu saja kemudian yang aku hadapi hanyalah kegagalan. Aku seperti pemurung walaupun aku hanya tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Tersenyum membuat pipiku capek.

Pagi-pagi aku menelepon ibu, sudah lama sekali aku tidak meneleponnya. Kami penelpon yang kikuk yang mengakhiri percakapan kami dengan pertanyaan masih adakah hal lain yang perlu dibicarakan. Aku merasa hubungan kami dekat namun ada rasa sungkan di antaranya seperti dua orang asing. Aku kaget dia mengajukan pertanyaan tentang calon istri pagi itu, cukup mengganggu dan dia tahu itu. Dia sedang berada dalam sebuah mobil dalam perjalanan melayat bersama keluarga besarnya dan pertanyaan itu bukanlah dari dia. Aku tertawa dan tak menjawab pertanyaan itu. Bagaimana percakapan telpon itu berakhir terasa cukup kikuk, seperti secangkir kopi pahit. Aku tidak lantas berfikir tentang calon istri setelah itu walaupun jika dipikirkan akan cukup menarik. Aku baru memikirkannya ketika menulis blog ini. Aku mengingat langit malam dengan selimut awan tipis dan bintang-bintangnya yang indah. Agak melankolis kurasa memikirkan kesendirian, langit berbintang, dan rasa bahagia. Sepertinya terlalu berat untuk malam ini walaupun aku belum mengantuk. Baru saja aku menonton acara keilmuan di tv kabel tentang kemungkinan kita menjelajahi waktu ke masa lalu atau masa depan dengan antusiasme yang agak dipaksakan. Dalam pemahaman dangkalku dari acara itu dimana Einstein yang terkenal itu yang mengemukakan teori itu aku berfikir ruang-waktu seperti jalinan takdir. Hanya sebatas itu, jika aku berfikir terlalu jauh aku akan semakin terlihat menyedihkan, tanpa kekasih, di malam minggu yang cerah, memikirkan hal yang tidak-tidak untuk menutupi nafsu dan rasa kesepian.

Sebelum tidur aku ingin memikirkan cinta. Aku kedinginan di kota ini berkhayal tentang bidadari bersayap yang super seksi mengetuk jendela kamarku namun malahan jadi terkesan mesum. Aku menghalau khayalanku dan mulai menulis blog ini dengan percikan cinta di dalamnya, rasa sepi, dan omong kosong ringan yang mengarah jadi sebuah komedi. Aku tersenyum sendiri seolah-olah menghidupkan roh pelawak dari tulisan ini. Walaupun absurd, aku merasa kata-kata ini mengalir lembut, dalam kelembutan malam yang makin larut, takdir yang terus melaju, dan pikiran mesum yang terlalu lelah untuk menggerakkan sendi-sendi lelakiku.