Rabu, 12 Desember 2012

Aku Selalu Memikirkanmu

Aku selalu memikirkan cinta, dalam sebuah pesawat baling-baling melintasi laut Sawu yang biru setengah tertidur aku memikirkanmu. Mendarat di bandara Mali aku langsung mencari ojek untuk mencapai Alor Kecil. Dalam perjalanan aku sempat berhenti untuk melihat dua buah pantai cantik. Aku dikejutkan oleh betapa lebarnya jalanan Alor dan ketika melintasi kota Kalabahi aku takjub oleh kantor bupatinya yang megah, ramainya kota itu, dan berdirinya beberapa masjid. Di Alor Kecil aku diturunkan di depan rumah seorang bapak yang biasa mengantar turis menuju pulau Kepa. Dengan perahu motor kecil aku diangkut ke pulau kemudian ditunjukkan jalan menuju penginapan. Ketika itu sudah beranjak sore dan langit sudah mulai berwarna jingga. Pemilik penginapannya orang Perancis. Aku sudah mencari informasi tentang akomodasi di pulau itu lewat internet sebelumnya. Cukup terjangkau. Kamarnya berupa gubuk kecil yang bersih dengan kelambu pelindung nyamuk. Dari pulau itu kita bisa melihat lautan yang biru dan pulau-pulau kecil lain yang indah.




Pada malam harinya aku makan bersama dalam satu meja dengan turis lain seperti layaknya keluarga. Kami saling berkenalan; sepasang kekasih dari Ceko, sepasang dari Slovakia, dan dua orang sama-sama petualang sendirian sepertiku; satu dari Jerman dan satu lagi Swiss. Mereka semua dari negara yang bukan berbahasa Inggris namun mereka semua fasih berbahasa itu, kurasa karena akan lebih mudah sebagai petualang jika menguasai bahasa inggris. Beberapa dari kami, termasuk aku, sepakat patungan menyewa perahu untuk snorkling keesokan harinya. Jarang aku melihat bule wanita yang menurutku menarik namun dua wanita dari eropa tengah itu sungguh cantik. Aku kemudian berasumsi bahwa wanita-wanita eropa tengah itu cantik-cantik. Kami ngobrol sampai malam. Aku lebih banyak diam, selain karena bahasa inggrisku yang buruk, mereka lebih banyak membicarakan tentang eropa; bir, kota-kota asing, dan bahkan agama. Aku diajak menonton sebuah film dokumenter tentang Papua yang semula kupikir tentang budaya atau alamnya yang indah, ternyata tentang politik; perjuangan para anggota Organisasi Papua Merdeka yang diburu oleh tentara Indonesia yang digambarkan kejam. Film itu buatan sutradara Australia kurasa.




Keesokan harinya aku menyewa snorkel namun tidak ada pelampung. Di atas perahu motor kecil yang terombang-ambing menuju titik snorkling itu aku pucat pasi memikirkan bagaimana nanti di lautan tanpa pelampung. Aku bukan perenang handal dan selama ini selalu mengandalkan pelampung. Beberapa kali kami melihat gerombolan lumba-lumba berloncatan ke udara dan di saat kami mendekat mereka menghilang. Sampai di titik pertama para bule langsung meloncat ke air kemudian berenang kesana-kemari sementara aku ketakutan menimbang-nimbang akan terjun atau tidak. Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya aku terjun ke air dan berusaha untuk berenang namun tiba-tiba rasa panik menyerang kemudian aku mulai tenggelam. Aku berpegangan pada perahu, gemetar oleh rasa takut, dan tanpa pikir panjang lagi memutuskan untuk menyerah. Para bule menyemangati bahwa jika nanti aku mati pun, paling tidak aku akan mati di tempat yang indah. (Iya, dan aku belum menikah.) Untungnya pada titik kedua kapten perahu mengeluarkan sebuah gabus putih dan menyarankanku untuk memakainya sebagai pelampung. Aku meletakkan gabus itu di atas dada dan dengan canggung mulai mengambang kemudian lama-kelamaan aku merasa selincah ikan pesut. Aku berenang bersama gerombolan ikan warna-warni dan menyaksikan hamparan koral yang menyerupai dunia mimpi ajaib yang membuatku melupakan rasa was-was-ku. Selama ini aku belum pernah melihat pemandangan semacam itu. Aku merasa begitu takjub dan diliputi rasa bahagia. Sebelumnya aku pernah snorkling di tiga titik di sekitar Flores; perairan Labuan Bajo, Riung, dan Maumere yang semula menurutku sudah menakjubkan namun di perairan Alor aku berharap menjadi salah satu ikan di dalamnya dan mati dengan bahagia. Dalam perjalan kembali ke Kepa, dalam sengatan matahari yang menyengat seperti cinta yang tak kunjung datang, aku menyesali mengapa aku tidak memiliki sebuah kamera bawah air. Dan sebuah rompi pelampung.


Aku langsung menuju kota Kalabahi siang itu juga, menginap di sebuah penginapan murah dengan pemandangan dermaga. Aku mengelilingi kota, membaur dalam keramaian di alun-alun dan membeli jajanan kecil seperti anak-anak sekolah. Melihat senja turun di pelabuhan menyelimuti kesibukan para buruh yang mengangkat barang-barang dari luar pulau. Merasakan sholat berjamaah di dua masjid berbeda dan menghayati bagaimana beribadah di tempat-tempat asing dan berdoa pada Tuhan yang sama. Aku akan menemukan cinta. Amin



Keesokan harinya aku harus beranjak pulang. Melihat matahari di atas siluet-siluet kapal, aku mencari ojek menuju bandara. Sekali lagi aku melintasi seruas jalan Alor yang lebar itu dan mencoba mengenang semua hal. Setelah melewati pintu detektor di bandara aku diperiksa seorang petugas bandara berjilbab yang manis. Aku tersenyum. Jika aku tidak memiliki rasa rindu pada kampung halaman aku akan menghabiskan sisa usiaku di pulau ini, berdua denganmu, duduk di pantai-pantainya yang cantik merasakan detik-detik dalam kehidupan kita berlalu, berenang di lautan yang dipenuhi lumba-lumba, menelusuri koral-koralnya yang memesona, dan menatap senja di dermaga sebelum kita beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Aku selau memikirkanmu.