Kamis, 02 Februari 2012

Sundul Bolong yang Ganteng

Hujan sering turun dan membuatku takut masuk angin. Pesawat ke Labuan Bajo dibatalkan, kami para penumpang yang asing satu sama lain diinapkan di penginapan dekat Bandara Ngurah Rai dan merasa disatukan oleh keluhan yang sama. Aku dan seorang teman menyewa sepeda motor, menyusuri Kuta dan Legian di malam hari, berpose dengan kikuk di depan Hard Rock Cafe karena aku mulai kehilangan kenarsisan--mulai merasa konyol untuk mengupload foto di jejaring sosial, kemudian menonton TV kabel semalaman di kamar hotel. Rencana pagi harinya melihat matahari terbit di Sanur namun aku bangun kesiangan dan paginya hujan rintik-rintik. Walaupun begitu kami tetap melihat gulungan ombak Sanur di bawah rintik hujan hanya karena merasa sayang sudah menyewa sepeda motor dan dengan kikuk berpose untuk difoto lagi. Siangnya pesawat kami meluncur dan baru pada malam harinya aku sampai di Ruteng.

Aku mengingatkan diriku sendiri untuk menulis sesampainya di Ruteng namun selalu saja terbuai dalam pemainan saling mengolok di kontrakan. Pernah aku berfikir bahwa aku mulai kecanduan dengan permainan itu; diolok hingga merasa tak berharga namun membela diri dengan asumsi bahwa aku baik-baik saja dengan anggapan orang dan mengeluarkan sepasang tanduk setan dari kepala dan dari lidah ularku keluarlah kata-kata sarkastik hanya untuk memuaskan egoku. Aku akan hidup dengan semua itu.

Kemudian tadi siang aku mengalami kecelakaan. Dalam sepersekian detik aku memikirkan sosok kematian yang termasyhur itu. Aku tidak apa-apa. Belum saat itu ajalku. Ketika aku di kamar sendirian dan memikirkan mengapa aku ditimpa kemalangan semacam itu aku tahu apa yang harus kulakukan dan yang seharusnya aku lakukan dari dulu: menulis. Aku memikirkan jalan takdir yang berliku dan bagaimana lemahnya aku menerimanya. Aku merasa melihat lubang di dadaku membesar yang membuatku seperti sesosok sundul bolong yang ganteng. Aku kehilangan selera humor untuk permainan saling mengolok. Aku akan beribadah lebih kusyuk namun takut menjadi munafik.

Aku tahu aku akan baik-baik saja, walaupun dengan luka kecil di tangan dan kakiku, bahkan dengan lubang yang menganga di dadaku yang membuatku seperti sesosok sundul bolong yang ganteng, aku akan terus meyakinkan diriku. Ini hidupku yang kujalani setelah aku bangun dari sebuah tidur. Aku akan terbangun lagi dan lagi dan lagi hanya untuk menjalani hidupku hingga ajal menjemput. Aku tahu bahwa secara perlahan namun pasti aku sedang menuju ke situ. Sebuah tempat dan momen aku akan mati. Setiap kejadian, sekecil apapun objek yang bersinggungan denganku, rasa takut yang kucoba sembunyikan akan mengantarku pada maut. Aku membicarakan maut, aku ketakutan, bukan hanya karena sosoknya yang begitu meyakinkan dan misterius lebih karena betapa beraninya aku, betapa lancangnya aku membicarakannya, seolah-olah menggambarkan keimanku yang lemah. Aku sedang diolok-olok Tuhan dan aku tak mau ikut dalam permainan itu.