Selasa, 20 Maret 2012

Melancholyholic

Dalam kubik kerja-ku aku mulai menulis posting ini. Sendirian. Kelengangan ruangan kantor selepas jam kerja terasa menenangkan seperti sebutir obat tidur. Aku mengenang hujan yang berderai siang tadi ketika dalam perjalanan menuju tempat makan siang aku melihat anak-anak sekolah kehujanan dan dorongan romantisme-ku membuatku tersenyum mengenang rasa hujan di masa kanak-kanak dan bermimpi tentang berciuman denganmu dalam suatu hujan yang basah. Mendadak aku teringat mimpi buruk semalam dimana dalam suatu peristiwa pembunuhan berantai aku dituduh sebagai pelakunya. Teman-teman satu kontrakanku tewas satu per satu dan aku berusaha membela diri bahwa aku bukan pembunuh mereka. Rasa sakit hati karena dituduh masih kurasakan setelah aku terbangun di pagi harinya, sementara angin kencang bertiup di luar, aku merasakan awal hari yang suram. Tanpa sempat mandi aku pergi ke kantor, gosok gigi dan cuci muka, dengan baju bekas minggu lalu yang belum sempat kucuci aku merasa hatiku berhamburan di suatu peristiwa tragis dalam sepotong mimpiku semalam. Aku mencoba menafsirkan mimpi tersebut seperti Sigmund Freud; aku keseringan menonton serial pembunuh berantai, namun inti dari mimpi itu adalah rasa sakit hati dan ketakberdayaanku untuk membela diri. Aku jarang mengingat mimpiku, jika memang ada penjelasan psikologis tentangnya, penyangkalanku akan menolak penafsiran semacam itu--aku tak mau dihakimi. Namun satu hal yang aku tahu persis adalah diriku sendirilah yang menghakimi paling kejam.

Awal yang suram bukan berarti akan merusak keseluruhan hari. Mungkin dalam posting-postingku dan keyakinanku bahwa aku pecandu melankolisme menunjukkan bagaimana aku menganalisis perasaanku sendiri. Walaupun analisisku terlihat kurang cerdas dan mungkin juga kurang akurat, aku benar-benar menikmati secercah cakrawala pengetahuanku itu. Seperti semburat surya di garis horizon. Aku merasa memeluk diriku sendiri di tengah badai sekalipun. Kesadaranku berkilauan dalam pikiran dangkalku seolah-olah aku sedang memikirkanmu dan pikiran-tentang-kamu itulah satu-satunya realitas bagiku. Dalam beberapa hari ini rasa percaya diri akan kemampuan menulisku sedang berada di titik-titik rendah. Aku tak meyakini kata-kataku. Meragukan makna yang bisa kubuat dari kata-kata itu. Aku dijejali kehampaan dan hampir tercekik. Namun sepotong mimpi buruk telah mengubah hari-hari datarku jadi agak menyeramkan dan derai hujan membangkitkan romantisme-ku yang telah lama lesu. Aku jadi agak bersemangat dan dalam suatu senja yang hangat dan lembut aku mulai menulis posting ini, memuaskan kecanduanku pada melankolisme. Aku tersenyum kecil sekarang dan agak sakau.


Sabtu, 03 Maret 2012

Aku Versi Jompo

Lagi-lagi aku membicarakan diri sendiri. Mengambil langkah aman. Tak ada yang keberatan dengan topik ini, kecuali diriku sendiri. Dalam beberapa respon yang aku terima ada yang menyayangkan sudut pandangku dalam memandang hidup maupun diri sendiri. Suram. Mengasihi diri. Kadang-kadang aku ingin membela diri namun di suatu titik dalam hidupku dengan pengalaman yang aku alami dan pengetahuan yang aku serap aku merasa wajar saja. Walaupun dengan keterbukaan seperti dalam tulisan-tulisanku ini kelelakianku perlu dipertanyakan, ada pertanyaan yang lebih besar yang mengusikku; bagaimana sebenarnya gaya kepenulisanku? Hemingway sangat maskulin, menggambarkan perang, pesta, atau perburuan dengan kalimat yang lugas. Ketika aku menulis kalimat puitis aku merasa hanya pamer bahwa aku juga bisa romantis. Orhan Pamuk yang kupuja karena kesenduannya tidak secengeng aku menulis hidupku. Terkadang membaca karya pengarang-pengarang besar hanya melumpuhkan keberaniamu untuk menulis karena kamu tidak akan pernah cukup bagus. Aku tidak akan pernah bisa menulis novel seperti mereka, seindah mereka, secerdas mereka. Aku dengan kaca mata culunku hanya akan berakhir sebagai salah satu pengagum mereka yang membaca ulang frasa-frasa dalam novel mereka hanya untuk merasakan kepuasan. Dan itu cukup.

Aku hanya sedang bosan. Menonton banyak acara TV kabel, menonton film-film yang diunduh secara ilegal, maen PES, ataupun berolahraga aku merasa membiarkan diriku sendiri tidak berkembang. Larut dalam pekerjaan kantor yang tidak akan pernah habis. Apakah aku hanya sedang menyia-nyiakan hidup? Aku memang tidak tahu banyak tentang hidup. Aku merasa tidak memiliki prioritas. Aku seperti menaiki tangga tanpa ujung. Suatu hari aku ingin menjadi orang yang sangat kaya, suatu hari aku hanya ingin memiliki sebuah keluarga dan hidup bahagia, suatu hari aku hanya ingin menjadi seorang penulis. Dan hari-hari terus bergulir dan ribuan mimpiku hanyalah seperti bintang-bintang di langit; indah namun jauh. Aku tahu aku tidak sendirian dalam masalah ini. Hanya beberapa dari kita yang berhasil. Aku merindukan buku-buku filsafat yang kubaca semasa kuliah yang selalu mendorongku untuk berani menjalani hidup dengan jalan pikiran tertentu. Namun aku menua, dan dengan kecemasan dan kegelapan realitas aku hanya menjadi seonggok daging itu yang berjalan di muka bumi ini dan makan dan minum dan tidur dan takut mati. Beribadah hanya karena takut neraka. Aku tahu ada sisi suram dalam tulisanku ini. Kita ambil saja kesimpulan bahwa gaya kepenulisanku bergaya gothic dengan begitu pertanyaan besarku terjawab, jangan terlalu dianggap serius. Aku bahkan ragu apakah ada artinya tulisanku ini, kalaupun ada harus seteguh apa membelanya. Aku menua dan aku tak ingin lagi banyak bertanya atau membela diri. Aku hanya berusaha bertahan hidup sampai aku mati.