Dalam kubik kerja-ku aku mulai menulis posting ini. Sendirian. Kelengangan ruangan kantor selepas jam kerja terasa menenangkan seperti sebutir obat tidur. Aku mengenang hujan yang berderai siang tadi ketika dalam perjalanan menuju tempat makan siang aku melihat anak-anak sekolah kehujanan dan dorongan romantisme-ku membuatku tersenyum mengenang rasa hujan di masa kanak-kanak dan bermimpi tentang berciuman denganmu dalam suatu hujan yang basah. Mendadak aku teringat mimpi buruk semalam dimana dalam suatu peristiwa pembunuhan berantai aku dituduh sebagai pelakunya. Teman-teman satu kontrakanku tewas satu per satu dan aku berusaha membela diri bahwa aku bukan pembunuh mereka. Rasa sakit hati karena dituduh masih kurasakan setelah aku terbangun di pagi harinya, sementara angin kencang bertiup di luar, aku merasakan awal hari yang suram. Tanpa sempat mandi aku pergi ke kantor, gosok gigi dan cuci muka, dengan baju bekas minggu lalu yang belum sempat kucuci aku merasa hatiku berhamburan di suatu peristiwa tragis dalam sepotong mimpiku semalam. Aku mencoba menafsirkan mimpi tersebut seperti Sigmund Freud; aku keseringan menonton serial pembunuh berantai, namun inti dari mimpi itu adalah rasa sakit hati dan ketakberdayaanku untuk membela diri. Aku jarang mengingat mimpiku, jika memang ada penjelasan psikologis tentangnya, penyangkalanku akan menolak penafsiran semacam itu--aku tak mau dihakimi. Namun satu hal yang aku tahu persis adalah diriku sendirilah yang menghakimi paling kejam.
Awal yang suram bukan berarti akan merusak keseluruhan hari. Mungkin dalam posting-postingku dan keyakinanku bahwa aku pecandu melankolisme menunjukkan bagaimana aku menganalisis perasaanku sendiri. Walaupun analisisku terlihat kurang cerdas dan mungkin juga kurang akurat, aku benar-benar menikmati secercah cakrawala pengetahuanku itu. Seperti semburat surya di garis horizon. Aku merasa memeluk diriku sendiri di tengah badai sekalipun. Kesadaranku berkilauan dalam pikiran dangkalku seolah-olah aku sedang memikirkanmu dan pikiran-tentang-kamu itulah satu-satunya realitas bagiku. Dalam beberapa hari ini rasa percaya diri akan kemampuan menulisku sedang berada di titik-titik rendah. Aku tak meyakini kata-kataku. Meragukan makna yang bisa kubuat dari kata-kata itu. Aku dijejali kehampaan dan hampir tercekik. Namun sepotong mimpi buruk telah mengubah hari-hari datarku jadi agak menyeramkan dan derai hujan membangkitkan romantisme-ku yang telah lama lesu. Aku jadi agak bersemangat dan dalam suatu senja yang hangat dan lembut aku mulai menulis posting ini, memuaskan kecanduanku pada melankolisme. Aku tersenyum kecil sekarang dan agak sakau.