Kamis, 24 Mei 2012

Pulau Antah Berantah, Danau Tiga Warna, dan Sahabat Lama

Liburan kemarin aku mendapati diriku berada dalam perjalanan 12 jam menuju Maumere, kota di bagian timur pulau Flores. Ditemani kesepian aku memikirkan motivasi yang menggerakkan diriku menuju kota itu; kehampaan seorang pemuda di usia hampir seperempat abad berpadu dengan mimpi tentang sebuah petualangan. Aku sampai di Maumere malam-malam dan dengan samar-samar meraba wajah kota itu. Disambut salah seorang teman dari teman kuliahku aku berusaha menjadi terbuka, diajak ke sebuah perjamuan makan dan bercakap-cakap dengan kikuk. Aku bukanlah tipe lelaki yang mudah bergaul. Pada keesokan harinya aku ikut berdesakan dalam sebuah perahu motor yang disewa murah dari salah seorang nelayan di pesisir timur laut Maumere menuju pulau Pangabatan. Snorkling dengan pelampung di suatu titik yang tidak terlalu dalam sebelum menelusuri pasir pantai pulau Pangabatan yang putih. Kebetulan hari itu Jumat jadi kami menunaikan sholat Jumat di pulau itu. Ketika sholat di dalam masjidnya yang kecil dengan ketenangan pulaunya yang hampir sempurna kecuali dengung sound sistem masjid itu aku diliputi kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya dan membuatku merasa masih menjadi orang baik. Setelahnya kami makan nasi bungkus yang sudah dibeli sebelumnya, menelusuri pantainya yang indah hingga ke ujung pulau sebelum celanaku basah dalam upaya kembali menuju perahu. Dalam perjalanan pulang aku terombang-ambing ombak kemudian setengah tertidur berharap bermimpi tentang cinta.




Dari perjalanan yang membuat kulitku terbakar aku meninggalkan teman-teman baru-ku di Maumere menuju Moni; menginap satu malam untuk mengejar fajar di puncak Kelimutu. Sayang sekali keesokan harinya hujan yang belum reda juga dari semalam meluruhkan rencanaku. Sehabis reda, dengan ojek aku menuju Kelimutu diselimuti ketakutan akan kabut. Menelusuri jalan setapak menuju danau dengan vegetasi luar biasa di sekitar membuatku merasa menjadi salah seorang petualang dalam acara televisi yang suka menantang bahaya; mencari-cari ular atau buaya. Di puncaknya langit begitu cerah. Walaupun agak kecewa melewatkan fajar, melihat dengan mata kepala sendiri danau tiga warna yang terkenal itu--walaupun tidak sepenuhnya tepat sebutan 'tiga warna' ketika itu karena dua diantaranya berwarna sama biru pastel dan satu lagi gelap--sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Dengan bantuan turis lain aku berhasil mengambil gambarku sendiri di situ. Di tugu di puncaknya aku duduk cukup lama menatap danau-danau itu tak bergeming, menyaksikan kabut yang sempat menutupi permukaannya, dan berfikir tentang cinta yang tak kunjung datang dan tentang iman yang harus selalu diperjuangkan. Sebelum berangkat ke Ende aku mandi di pemandian air panas di suatu kampung di hadapan ibu-ibu yang mencuci, menyaksikan sebuah air terjun tanpa nama seorang diri, dan menyantap pancake yang disediakan penginapan dengan rasa hambar.





Di Ende aku menemui seorang sahabat lama. Kami saling bertukar kabar dan seulas senyuman penuh kenangan. Aku diajak berkeliling kota, berhenti di depan rumah tempat pengasingan presiden Soekarno di masa penjajahan yang gerbangnya terkunci, dan menuju pantai untuk berbicara panjang lebar sambil melihat keramaian dermaga. Pasirnya hitam, walaupun tidak terlalu menarik, sepotong senja yang berwarna akan selalu menarik. Juga serangkaian pembicaraan ringan dengan seorang sahabat lama. Dan melihat anak-anak yang bermain bola atau berenang. Pada malam harinya aku menginap di kos temanku itu dan pulang ke Ruteng keesokan hari. Meninggalkan kota Ende dalam perjalanan pulang berarti menyusuri garis pantai yang panjang dengan buih-buih ombaknya. Dari jendela travel aku melihat seseorang berjalan di pantai seorang diri dan meninggalkan jejak di belakangnya. Aku teringat tepat di hari itu di Salatiga salah seorang temanku sedang melangsungkan ijab-qobul dan tiba-tiba aku diselimuti bayang-bayang pernikahan. Aku pemuda kesepian yang akan berjalan lebih jauh lagi untuk menemukan cinta, kalau perlu sampai ke ujung dunia. Paling tidak, dengan begitu aku bisa menuliskan kisah perjalananku itu; baik di suatu pulau antah berantah, danau seribu warna, ataupun kota-kota asing--kisah perjalananku yang panjang dan berliku untuk mencapai tempat dimana kamu berada sekarang.