Rabu, 11 Juli 2012

Tragedi Mahasedih

Di saat aku mulai menulis tulisan ini dalam buaian sepenggal waktu yang beku dan malam larut aku berusaha membebaskan diriku menuju padang rumput dengan sinar matahari dan bunga-bunga liar. Aku berusaha menemukan lagi motivasi, hasrat menggebu yang bergejolak di dada para pemuda idealis yang memimpikan surga di atas bumi ini. Aku merasakan tepat di perutku bukan lagi rasa lapar yang membuat terjaga namun timbunan lemak yang menjemukan. Aku sudah merasa nyaman dengan hidupku yang datar dan enggan merasakan kesenduan yang menghinggapi jiwa-jiwa galau para pemuda yang bermimpi tentang pemerintah bebas korup dan cinta yang menggairahkan. Tema apalagi yang akan aku tulis, tema dangkal yang hanya mengobati rasa bosan akan pekerjaan dan mimpi kehidupan mapan. Aku mulai malas terusik dengan politik, cinta yang tak kunjung datang, atau bahkan pengumuman random yang terdengar. Tidak lagi memuja matahari, angin sepoi-sepoi, atau musik favorit. Bertambah tua dan sering mengeluh. Diam saja menyalakan televisi untuk melihat kemolekan tubuh pemain-pemain sinetron remaja yang bercelana super pendek. Ada bagian dari tubuhku yang tak bergeming melihat kehidupan berlalu. Matahari terbenam kemudian malam datang dan perasaan miris yang terkadang menghampiri hanyalah sekedar nyanyian sendu murahan di acara musik televisi pagi hari. Aku akan menonton acara komedi untuk tertawa, sekedar membaca semua timeline di twitter atau status-status facebook random dari orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Dunia jadi begitu melenakan sekaligus begitu asing, seolah-olah aku pergi ke lokalisasi dan dengan uang aku bisa bersenang-senang dan hidupku akan terasa penuh. Mungkin aku hanyalah insan yang tak pernah berhenti bersyukur kepada Tuhan, tak pernah menyesali masa lalu dan persetan dengan masa depan. Atau hanyalah seorang pemuda hampa yang memuakkan yang menulis tentang kehampaan yang menyesakkan seolah-olah sebuah tragedi mahasedih. Di sini aku sekarang, dalam ruang sempit idealisme aku bernafas satu-satu, di antara himpitan rasa malas dan rasa nyaman. Dengan semua lemak yang menjemukan dan pembelaan diri ini aku berjalan di muka bumi seperti seorang pelancong dengan topi dan sandal jepitnya melihat kehidupan sebagai tempat wisata yang indah. Sementara mimpi-mimpi telah pergi seperti balon-balon yang terlepas ke langit dan cinta hanyalah menjadi lagu-lagu pengiring di tempat perbelanjaan. Aku menyusut dan merasa tak memiliki arti, seperti sehelai daun kering yang diterbangkan angin, berpindah dari satu ranting ke ranting lain, yang hanya dengan satu sentuhan kecil sekalipun akan hancur berkeping-keping. Atau, sekali lagi, hanyalah seorang pemuda hampa yang memuakkan yang menulis tentang kehampaan yang menyesakkan seolah-olah sebuah tragedi mahasedih.