Rabu, 08 Agustus 2012

Aku Hanya Akan Tersenyum

Ramadhan bergulir lagi seperti butiran hujan di balik kaca jendela. Aku hanya menatapnya dengan hampa seolah sepenggal musim datang lagi dan fenomena alam atau cuaca-nya mengikuti. Ibu menelepon mengingatkanku untuk lebih rajin beribadah. Walaupun bukan negara islam, acara televisi  dan masyarakat mengambil tema yang sama: puasa. Aku mengenang dua Ramadhan silam di saat aku mulai menulis posting dan mulai menghidupkan blog ini. Aku membayangkan diriku ketika itu sebagai pemuda ringkih dengan wajah melankolis yang mencoba menghibur dirinya sendiri dalam dingin Agustus yang menggigil. Dan fakta bahwa sudah sejauh ini aku menulis membuatku masih memeluk erat mimpiku menjadi seorang penulis. Hidup dengan mengenggam mimpi seperti seorang bocah yang menggenggam tali balonnya erat-erat karena takut terbang.

Dalam Ramadhan ini aku lebih sering memikirkan Tuhan walaupun aku belum terlalu teratur dengan ritual. Aku cukup relijius karena begitulah cara aku dibesarkan. Di kota asing yang perlahan-lahan seperti rumah sendiri bernafas dan berdoa menjadi dua hal yang begitu pribadi dan sakral. Rutinitas makan sahur dengan nasi dingin yang dibungkus pada malam harinya, puasa seharian di kantor dengan bibir kering dan bau mulut, memburu sajian berbuka keliling kota, dan solat tarawih yang bolong-bolong menjadi semacam perjuangan kecil sehari-hari. Aku akan bertahan seribu tahun lagi, dengan iman dan rasa sepi aku akan menaklukan dunia ini.

Tuhan ada di kota yang dingin ini. Cinta bersemayam dalam hati yang dingin ini. Lebaran menjelang aku akan pulang kampung dan melihat kedua orang tuaku yang menua yang aku bersyukur masih ada dan keponakan yang semakin besar. Berkunjung ke beberapa rumah saudara dan menghadiri beberapa reuni. Pertanyaan besarnya akan disodorkan kepadaku--tentang jodoh--dan aku hanya akan tersenyum.

Ruteng Ramadhan ini begitu dingin. Tidur singkat sehabis sahur begitu nikmat. Aku harus membahasahi bibirku terus-menerus karena takut kering. Mungkin hari ini imanku akan menguat atau melemah, begitu pula cintaku, namun aku akan terus melanjutkan hidupku yang satu-satunya ini. Aku berusaha membaca perasaanku sendiri dan meyakinkan diriku untuk melalui Ramadhan sekali lagi, bernafas dan berdoa: Tuhan, hidup ini begitu absurd dan dingin, kuatkanlah aku, yakinkanlah............