Rabu, 18 September 2013

Hidupku Sama Sekali Tak Masuk Akal Tanpamu

Butuh komitmen untuk bangun pagi untuk mengejar sebuah pesawat, seperti dipaksa menikah. Jalanan Kuala Lumpur pukul empat pagi adalah gambaran kehampaan sebuah kota besar, di kursi belakang sebuah taksi aku merasa seperti seorang pegawai magang yang baru saja dipecat oleh Tony Fernandez dalam acara The Apprentice Asia. Aku menghela nafas untuk hujan yang mengguyur kota dua hari ini yang mulai membuatku merasa tak enak badan dan hanya ditemani kesepian, terkadang, aku merasa perjalanan ini sama sekali tak masuk akal, sama seperti hidupku yang sama sekali tak masuk akal tanpamu.

Di bandara penerbangan murah di Selangor aku melihat cahaya pertama di langit ketika bergegas menuju pesawat. Selama penerbangan aku melanjutkan tidurku yang terpotong dan berharap bermimpi lagi tentangmu. Tiba di bandara internasional Siem Riep aku berdoa keadaanku akan membaik seolah-olah aku memasuki wilayah suci yang menyembuhkan. Aku berusaha untuk membangkitkan semangat dalam diriku seperti membangkitkan kerinduan dalam hatiku atasmu.

Aku naik ojek ke kota dan di tengah jalan tukang ojeknya menawariku tuk-tuk untuk mengelilingi angkor. Aku setuju. Aku mengira akan dioper ke orang lain yang merupakan jaringannya namun malahan disuruh turun di depan sebuah rumah kemudian dia menarik sebuah kereta untuk disambungkan ke sepeda motor tadi. Sejarah tuk-tuk sedang didemonstrasikan di hadapanku dan aku hanya bisa terkejut. Pada awal perjalanan aku diliputi rasa was-was bahwa kereta itu akan terlepas dari sepeda motornya namun setelah memasuki kawasan angkor perhatianku segera teralihkan pada bebatuan kuno yang berdiri megah di hadapanku.


Aku pernah bercita-cita menjadi arkeolog namun candi bukanlah tempat favoritku. Aku juga tak perlu berpura-pura menyukai sesuatu seperti aku tak bisa berpura-pura tidak menyukaimu. Aku tak berharap akan begitu terkesan pada kawasan candi ini atau pada relief-relief di dindingnya, apalagi ditambah flu yang sedang menyerangku tanpa ampun. Aku hanya mendorong diriku untuk terus berjalan mengelilingi candi-candi itu hingga selesai seperti aku terus menjalani hidupku yang hampa ini untuk pada akhirnya menemukanmu. Namun Angkor Wat terlalu besar bahkan bagi seseorang yang paling apatis pun untuk tidak tergugah, meskipun hanya sedikit, seperti hatiku yang begitu dingin dan sunyi yang tergugah ketika melihat senyummu. Aku tersesat pada bebatuan kuno itu berpikir apakah cintaku akan bertahan oleh waktu.


Sampai di penginapan sore harinya aku hanya ingin tidur dan bermimpi kamu memelukku. Aku tidak sedang mendramatisir keadaan namun jatuh sakit di tempat asing di tengah orang-orang yang tak kukenal membuatku merasa perjalanan ini sungguh konyol. Aku tidur semalaman dan berharap satu hari tanpamu akan cepat berlalu dan aku akan menjadi sedikit optimis. Pagi-pagi sekali aku sudah dijemput oleh agen bis yang sudah kupesan sebelumnya yang akan mengantarku ke Poipet, kota perbatasan untuk menuju Thailand. Aku menyeberang ke Aranyaprathet di Thailand untuk mencapai Bangkok dengan bis. Aku tahu perjalananku itu tidaklah luar biasa dan aku bukanlah orang pertama yang melakukannya namun ketika seorang petugas berseragam militer dan memegang senjata api masuk ke dalam bis untuk memeriksa dokumen imigrasi, dalam rasa takut aku hanya berfikir aku belum menikahimu dan tahun-tahun yang selama ini berlalu membuatku tersadar bahwa hidupku sama sekali tak masuk akal tanpamu.

Jumat, 13 September 2013

Bersamamu, Aku Akan Tahu Bagaimana Surga Itu

Aku mengingatmu ketika menyelami pantai Wae Cicu yang jernih dalam kilasan sinar matahari pagi yang menembus hingga ke dasar. Seandainya sejelas itu kamu dapat melihat dasar hatiku. Pantainya begitu tenang, hampir tanpa ombak karena berada dalam suatu lengkungan pulau Flores. Agak egois aku bersyukur letak pantai ini cukup terpencil sehingga cukup sepi. Entah kapan aku mulai jatuh cinta pada sebuah pantai sama seperti aku jatuh cinta padamu, mungkin karena kelembutan pasirnya, suara debur ombaknya yang mengusik hatiku yang sepi, atau langitnya yang begitu luas yang mengingatkanku akan kehampaaan hidup tanpa cinta.

Foto oleh Praindra Putra
Pada siang harinya kami berlayar menuju pulau Seraya Kecil. Agak mengejutkan mataharinya tidak terlalu panas. Bagaimana aku harus menghadapi lautan luas yang bergelombang tanpa merasa gelisah memikirkanmu. Menatap hampa pulau-pulau kecil yang berserakan di sebelah barat pulau Flores seperti menyusuri negeri dongeng. Hangat matahari tropis dan sedikit angin dengan aroma laut agak menghibur hatiku bahwa dengan cinta aku akan baik-baik saja. Aku akan mampu mengarungi hidup ini hingga aku mati, aku tidak akan menyesali apapun.

Foto oleh Praindra Putra
Seraya Kecil tidak terlalu jauh dari Labuan Bajo, sekitar satu jam perjalanan. Kapal kami terlalu besar untuk merapat ke tepiannya karena tidak ada dermaga. Ketika itu gelombang sedang tinggi, dalam ketakutan kami berpindah ke kapal yang lebih kecil yang dimiliki oleh pihak penginapan di pulau. Kami disambut hamparan pasir putih dan barisan bukit yang hijau. Meletakkan bawaan kami di kamar, kami bergegas berenang di pantai. Ketika itu hari mulai sore dan pantainya bergelombang. Pantainya bukanlah bagian yang terbaik karena kotor dan gelap oleh rumput laut yang terhampar di dalamnya. Namun ketika kami mulai menyusuri bukit-bukit hijaunya yang berkilauan di bawah sinar matahari sore, aku merasa berada dalam sepotong mimpi indah dimana aku berharap kamu ada di dalamnya dimana kita saling berkejaran seperti anak-anak kemudian saling berpelukan untuk berguling-guling di atas rerumputannya yang berwarna keemasan menuruni bukit hingga sampai di pinggir pantai di bawahnya untuk bercinta. Pada salah satu puncak bukitnya aku bisa melihat ke seluruh penjuru pulau dan lautan luas. Berdiri di sana dan diterpa angin menatap ke sekeliling menunggu matahari yang berwarna jingga itu perlahan-lahan bersembunyi di balik gumpalan awan adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata hanya sedikit rasa sesal bahwa kamu tidak berada di situ bersamaku dan tersenyum maka aku akan tahu bagaimana surga itu.

Foto oleh Dinar Firmanda
Pada pagi harinya pantainya jadi begitu tenang, menatap langit yang tiba-tiba jadi merah ketika matahari terbit, aku harus mengatur nafasku setelah lelah berenang. Dengan dua bule wanita asal Inggris yang masih muda dan sering berjemur dalam setelan bikini mereka dan berteman dengan seorang gadis kecil campuran indonesia-jerman yang suka mengumpulkan kepiting aku bisa simpulkan liburan kami kali ini tidaklah terlalu buruk. Ditutup dengan mengunjungi pulau Bidadari dalam perjalanan pulang untuk mengagumi kehidupan bawah laut di sekitarnya, aku merasakan rasa lelah yang pada akhirnya akan mendera bukanlah sesuatu yang perlu dikeluhkan, mungkin hanya akan ada satu keluhan; kamu tidak berada di sampingku ketika itu. Bersamamu, aku akan tahu bagaimana surga itu.

Foto oleh Bori A W
Foto oleh Praindra Putra
Foto oleh Praindra Putra

Selasa, 16 Juli 2013

Requiem Untuk Boli Lasan Karolus

Lewat tulisan ini aku mengenangnya. Malam-malam dingin seorang diri dalam ruang kecil ditemani radio yang menyiarkan berita luar negeri. Beberapa kali aku mengunjungi kamarnya dan mendapati senyumnya, leluconnya yang super garing, sikap tubuh yang tegap dan bahasa tubuh yang khas dimana dia sering menyatukan kedua telapak tangannya ketika berbicara. Pada usianya yang hampir setengah abad, seperti kebanyakan orang pada usia itu dia menjadi seorang filsuf, mengembangkan cara hidup tertentu dan berpegang teguh pada hal itu. Kepalanya botak, rambut yang tersisa, brewok, dan kumisnya berwarna putih seolah-olah dia menelan pil yang mempercepat usia. Kami terhubung karena pekerjaan, dia atasanku, dan aku beberapa kali meminjam buku-buku rohaninya.

Dia bercerita bahwa masa lalunya kelam; minum dan makan sesukanya, dan itu membuatnya sakit. Dalam beberapa tahun terakhir dia menjalani hidup yang lebih positif dan sehat. Entah karena cinta sejati, alasan religius, atau kombinasi keduanya dia memutuskan tidak akan menikah lagi. Salah satu buku yang kupinjam darinya membahas filosofi hidup selibat dalam ajaran katholik. Aku sendiri larut dalam buku itu karena ingin tahu bagaimana seseorang bisa hidup tanpa menikah sementara sebagai seorang pemuda aku merasa berpikiran kotor terus-menerus. Hingga akhirnya dia dipindahtugaskan ke Maumere sejak saat itu aku tidak lagi mendengar kabarnya, kecuali ucapan selamat lewat pesan singkat darinya yang secara rutin dia kirimkan ketika aku merayakan hari besar islam.

Pada akhir Oktober 2012 aku berkesempatan ke Maumere untuk menghadiri undangan pernikahan seorang teman. Dia menawariku kamar untuk menginap. Aku menghabiskan tiga malam di rumahnya. Dia hidup dengan kakak perempuannya dan seorang keponakan dan dia tampak lebih sehat dan bahagia. Dia bercerita bahwa dia lebih sering mengunjungi kampung halamannya, Adonara, sebuah pulau kecil di sebelah timur Flores, karena jarak yang lebih dekat. Dia terus menerus meminta maaf atas begitu sederhananya makanan yang dia hidangkan seolah-olah aku seorang kritikus makanan. Hingga suatu pagi dia pergi ke pasar untuk membeli cumi-cumi untuk jamuan makan malam. Aku mengenang jamuan itu dengan keterkejutan bahwa cumi-cumi bisa jadi begitu alot dan menjijikkan tapi tentu saja aku melahapnya sampai habis.

Beberapa bulan yang lalu aku mendapati kabar bahwa dia meninggal. Untuk pertama kalinya aku berduka di tanah perantauan untuk seseorang yang baru kukenal. Lewat tulisan ini aku mengenangnya. Malam-malam dingin seorang diri dalam ruang kecil ditemani radio yang menyiarkan berita luar negeri. Beberapa kali aku mengunjungi kamarnya dan terheran-heran mendapati bagaimana seseorang bisa begitu garing dalam melucu dan bertekad untuk hidup selibat. Aku bersyukur sempat menghabiskan tiga malam di rumahnya dan menemaninya menelusuri bukit Nilo untuk mengagumi patung Bunda Maria Segala Bangsa yang megah sementara banyak peziarah berdoa di bawahnya, berdiri di pinggiran tebing di sekitarnya untuk melihat kota Maumere dari suatu ketinggian yang membuatku gentar, dan terpesona pada garis pantai utara Flores dengan buih-buih warna putih serta awan-awan yang melayang di langit sorenya yang indah. Kami juga mengunjungi salah satu resort di pantai Waiara dimana kami berenang dalam kolam renang berbentuk hati sambil memandang lautan. Aku akan menyimpan kenangan-kenangan itu dalam benakku bagaimana sepenggal hidupnya berbenturan dengan hidupku yang hampa dalam percikan takdir seolah-olah percikan kembang api tahun baru yang warna-warni. Ingin sekali aku mengunjungi tanah kelahirannya Adonara, jika ada waktu dan kesempatan, dan mengunjungi Lembata untuk melihat bagaimana penangkapan ikan paus seperti yang dulu pernah diceritakannya padaku dalam sepenggal hidupnya yang telah berlalu...




Senin, 01 Juli 2013

Gua Purba dan Derai-Derai Rindu

Kami meninggalkan kota dalam hangatnya matahari bulan April menyusuri jalanan sepi ke arah Liang Bua, sesepi hatiku. Aku terkejut mendapati hamparan sawah yang menghijau menuruni bukit, tak mengira ada bagian Ruteng yang seperti itu. Semakin jauh semakin sunyi seperti menyusuri hatiku sendiri. Kami sempat bingung menghadapi beberapa jalan yang bercabang namun penduduk sekitar selalu ramah membantu hingga pada akhirnya kurang dari satu jam kami mendapati gapura selamat datang di Liang Bua. Kami menuju gua yang terkunci seolah-olah sebuah rumah mewah. Tak lama kemudian penjaga gua datang membukakan gerendel.


Gua Liang Bua bukanlah gua yang luar biasa. Stalaktit ataupun stalaknitnya tidaklah spesial. Kami sudah menurunkan ekspektasi setelah mendengar beberapa cerita teman-teman yang sudah berkunjung sebelumnya. Bukan merupakan gua ekplorasi dimana dalam gelap kita bisa menyusuri bumi jauh ke dalam, bertemu sungai atau ular. Hanya merupakan cekungan besar yang monoton mirip sebuah mulut monster raksasa yang menganga. Kami mengambil beberapa foto yang tak terlalu bagus karena masalah cahaya. Namun dalam perutnya tersimpan harta karun yang luar biasa.


Para arkeolog menemukan fosil Homo Floresiensis, manusia mini dari Flores yang hidup ribuan tahun lalu, di dalam gua itu. Fakta sejarah itu yang membuat kami takjub walaupun saat kami mengunjungi museum yang berada tak jauh dari gua kami tidak menemukan fosil itu dipamerkan, hanya foto-foto, sejarah, dan fakta-fakta mengenai manusia purba dan penggaliannya itu. Malahan agak kesal dengan harga tiket masuknya yang terlalu mahal dan penjaga museumnya meminta dengan nada setengah memohon dan setengah meminta maaf. Ketika meninggalkan Liang Bua aku membayangkan hobit-hobit yang hidup bahagia ribuan tahun lalu dengan taman-taman dan pematang sawahnya.



Kami meneruskan perjalanan lebih jauh, meninggalkan Ruteng di belakang kita menuju Rahong Utara untuk mengagumi derai air terjun Cunca Lega. Hampir dua jam perjalanan, menyusuri jalanan yang cukup buruk, daerah-daerah asing, hutan, dan sawah-sawah yang mempesona. Sempat berhenti di suatu persimpangan jalan, tersesat, tanpa papan petunjuk hanya pepohonan sunyi dan suara belalang. Hampir putus asa akan perjalanan pada akhirnya kami melihat dari kejauhan sebuah air terjun dua tingkat. Memarkir sepeda motor kami di pekarangan rumah seorang penduduk, kami mulai berjalan kaki dipandu anak-anak lokal menyusuri bebatuan dan pematang sawah. Anehnya semakin lama kami menuju air terjun itu semakin terasa jauh jaraknya seperti cinta. Kami didera kelelahan, kehabisan air minum--sesuatu yang tak kami antisipasi sebelumnya bahwa kami harus berjalan kaki cukup jauh. Kami harus meniti jalan setapak di samping jurang. Aku ketakutan setengah mati. Ketika menyusuri sebuah jembatan yang cukup tinggi aku merangkak ketakutan. Aku malu sendiri menyadari bahwa aku terlalu pengecut menjadi seorang lelaki. Bagaimana aku akan melindungimu dari bahaya? Menjadi sandaran di saat kamu membutuhkannya?



Suara air terjunnya berderai sampai ke hati. Kami hanya berada pada tingkat dasar air terjun karena untuk mencapai yang kedua harus memanjat tebing terjal. Kami melompat pada bebatuan tanpa nama yang terserak dan indah, berenang di airnya yang keruh, dan berfoto. Dalam sinar matahari siang itu aku berbaring pada sebuah batu memejamkan kedua mataku, sementara kedua telingaku mendengar deru air terjun yang perlahan-lahan membangkitkan rasa rindu, tanpa ampun sengatan mataharinya menusuk-nusuk hatiku yang diam dan begitu kesepian memikirkanmu.


Rabu, 19 Juni 2013

Sudah Lama Aku Tidak Menulis

Kukatakan pada diriku aku harus mulai menulis. Sudah lama aku tidak menulis. Beberapa kali aku mencoba menulis tentang beberapa perjalananku terakhir; Riung, Maumere, bagian kedua perjalananku ke Rote, sebuah air terjun di sekitar Ruteng atau beberapa negara asia tenggara namun setiap kali baru selesai menyelesaikan sebuah kalimat aku langsung buru-buru menghapusnya. Hatiku menghalangiku. Dia seolah-olah batu karang yang keras. Dia begitu kesepian namun juga cukup keras kepala. Mungkin hatiku lupa akan bagaimana rasanya cinta, dia kedinginan dalam malam-malam Ruteng yang gelap.

Aku membayangkan kembali langkah-langkah sendiriku di tanah-tanah asing menyusuri absurditas hidup dan memikirkan cinta seolah-olah sebuah teka-teki. Aku mendengar derap kuda putihku yang berambut panjang menuju sebuah kastil untuk menyelamatkan seorang putri cantik yang menungguku dengan sabar. Namun sebuah tembok menghalangi langkahnya dan dia terhenti dan bimbang dan diserang ketakutan. Dia tersesat dan diliputi keraguan. Aku pangeran yang menunggang di atasnya yang beimajinasi sesuka hatinya. Dan hatiku adalah tembok tingginya. Mungkin aku hanya seorang pengelana biasa yang terseok-seok dalam lorong sempit dan gelap yang bernama cinta. Bagaimana seekor kuda bisa dengan yakin menyusuri sebuah padang rumput atau jalan berbatu?

Apakah sebuah perjalanan bisa merubah sepenggal hidup? menjinakkan sepotong hati? Atau aku hanya berusaha menghabiskan sisa umurku untuk mengukur dunia hanya untuk menunda mengukur dalamnya hati? Secara munafik aku menertawakan cinta dalam pengajian agama setiap minggu yang aku ikuti, pertanyaan-pertanyaan basa-basi tentang calon istri, atau lelucon-lelucon tentang pernikahan dan Tuhan tahu semua itu. Dan perjalanan, pencarian, kota-kota asing, orang-orang baru yang kutemui, tempat tidur-tempat tidur yang membingungkanku di pagi hari, atau makanan-makanan yang perlu waktu untuk meninggalkan jejak di lidahku hanyalah pengingat bahwa aku ingin selalu sedang kembali menuju rumah. Dan rumah itu ada di hatimu yang hangat dan nyaman. Hanya di hatimu.

Aku tahu aku bukanlah satu-satunya yang tersesat dan terkadang-kadang merasa lelah. Mungkin aku terlalu mendramatisir keadaan dan memanfaatkan melankolisme dan cinta untuk sepotong karya seni picisan. Mungkin aku hanya ingin menulis. Sudah lama aku tidak menulis.

Senin, 22 April 2013

Sepotong Cinta Dalam Piring Makan Malam

Pada suatu malam perutku diserang oleh rasa lapar seperti hati yang diserang rasa rindu. Sendirian aku menyusuri jalan Adi Sucipto dalam sorot lampu sepeda motorku yang redup, seharusnya aku mengganti aki-nya dari dulu. Aku mengitari patung Yesus yang memegang dunia, takjub pada jalanan yang sepi seolah-olah para penduduknya telah meninggalkan kota karena serangan wabah penyakit. Aku sempat terkejut melihat patung Yesus yang menarik Salib raksasa--hiasan paskah yang belum diambil. Ada bagian dalam hatiku yang tersayat melihatnya.

Baru pukul setengah sepuluh malam kurasa. Dalam naungan langit kelam aku merasa seorang diri di dunia ini, kesepian memikirkanmu. Beberapa warung sudah tutup. Ruteng di malam hari seolah-olah kota hantu yang dingin. Dan bayanganmu bergentayangan dalam benakku. Beruntung masih ada cahaya dalam sebuah warung tenda di jalan Yos Sudarso. Warung itu menjual makanan laut. Aku memutuskan memesan cumi-cumi dan terkejut mendapati betapa sedikitnya porsi cumi-cumi yang kudapat. Oleh karenanya aku berinisiatif juga memesan tempe. Aku satu-satunya pembeli ketika itu dan menyantap makananku ditemani bangku-bangku kosong namun pikiranku tak pernah kosong darimu. Memikirkanmu dalam dingin malam dalam sebuah tenda bercahaya redup di suatu sudut kota mati ini adalah seperti mendengar sepotong lagu sendu dari sebuah stasiun radio di suatu kota asing. Aku merasa terasing seperti seorang tahanan politik yang diasingkan di sebuah daerah terpencil.

Aku bertanya-tanya sebesar apa cinta yang bisa kuberikan padamu. Aku ketakutan bahwa cintaku tak lebih besar dari porsi cumi-cumi yang kudapatkan malam itu. Mungkin di matamu aku adalah sesosok cumi-cumi paling jelek sedunia atau sepotong tempe paling busuk yang pernah kamu makan atau aku hanyalah seekor ikan buruk rupa yang dengan menyedihkan terombang-ambing dalam cinta. Akan aku arungi luas samudera, takkan pernah berhenti, untuk sampai ke tempatmu berada.   

Selasa, 19 Maret 2013

Seuntai Puisi Tentang Ngarai: Cunca Wulang

Apakah bebatuan memiliki nama? Pepohonan membisu menyambut natal. Aku menghirup udara segarMu dalam rasa syukur. Aku berdoa untuk cinta. Hutan basah ini menggeliat dalam pijakanku. Yang kudengar hanyalah suara alam. Apakah ini yang Adam dan Hawa dengar dulu? Mereka terpisah di belahan bumi yang lain dan cinta mempertemukan mereka kembali. Hanya cinta. Dan oleh karenanya kita akan dipertemukan kembali.
Aku mendengar suara sungai dari kejauhan. Kami sudah dekat! Dentum jantungku tak sabaran. Aroma hutan yang segar memenuhi dadaku. Peri-peri cinta bersembunyi di balik dedaunan mengintipku. Aku petualang seperti Adam dan akan kuarungi bumi untuk menemukan seruas rusukku yang hilang. Apa sudah dekat? Aku bertanya-tanya. Sebentar lagi, ucapku. Sebentar lagi, yakinku. Aku akan menemukan tempatmu berada. Jangan beranjak dan tunggu.
Kami menuju suara sungai dalam sunyi. Hanya cericit burung dan suara belalang. Hembusan angin yang menyentuh ranting-ranting menggetarkan hatiku yang merindu. Dalam naungan alam yang telanjang ini aku berserah. Tuhan yang akan menuntunku padamu. Jangan beranjak dan tunggu.
Ketika ngarai terbentang di hadapan kami aku membisu. Jika Tuhan berkenan mengukir bebatuan tanpa nama ini semoga Tuhan juga berkenan mengukir namaku di hatimu. Kemudian aku akan terjun di dalamnya, sejatuh-jatuhnya, menyelami hatimu yang nyaman dan luas untuk menemukan cinta. 





 ***

Rasa penasaranku bangkit setelah melihat sebuah ngarai menakjubkan dalam lembar Merpati inflight magazine dalam suatu penerbangan ke Kupang. Aku mencari informasinya di internet dan menemukannya sebagai Cunca Wulang Canyon. Aku dan seorang teman mencapainya dengan motor untuk menghabiskan liburan Natal kami. Semoga kami bertemu Santa Klaus di sana dan mendapatkan hadiah. Kami bermalam di Labuan Bajo dan pagi-pagi menuju daerah Cunca Wulang itu. Tak ada papan penunjuk lokasi. Belokan sebelah kanan setelah sekitar empat puluh lima menit dari Bajo ke arah Ruteng. Ada warung kecil di belokan itu sehingga kami bisa bertanya. Perjalanan masih tiga puluh menitan lagi menuju letak desanya dengan jalan yang di beberapa titik rusak berat. Sesampainya di desa sudah ada pemandu yang biasa mengantar turis untuk menembus hutan selama satu jam agar sampai ke ngarai itu. Kami seharusnya menghindari musim hujan karena membuat hutan menjadi licin dan bila hujan benar-benar turun ngarai itu lebih akan menjadi bencana karena volume air sungainya naik. Di sana kami berenang dan menaiki tebing untuk sampai ke air terjun. Seharusnya kita bisa juga meloncat dari beberapa ketinggian ke sungai dengan kedalaman sepuluh meter lebih namun sayangnya aku hanya bisa menyesal karena tidak memiliki cukup keberanian. Seharusnya juga kita bisa berlanjut ke sebuah gua namun pada akhirnya kami hanya bisa menyesal karena hujan turun tak lama kemudian.



Senin, 18 Maret 2013

Lagu Sendu untuk Kegagalan dan Cinta

Tahun ini aku gagal ujian melanjutkan pendidikan untuk yang kedua kali. Untuk menghibur diri aku mengambil cuti untuk mudik dan menonton konser salah satu penyanyi favorit yang kebetulan berlangsung pada waktu yang berdekatan. Dia akan menyanyi untuk menghiburku. Pada waktu itu aku terserang flu berat dan batuk karena tiga malam berturut-turut aku main tenis meja di kantor walaupun teman-temanku beranalisa itu karena aku terlalu bersedih atas kegagalanku dan mereka menasehatiku agar aku bangkit.
Sebelum mudik ada acara kantor di Lombok dimana aku harus duduk seharian selama dua hari untuk mendengarkan suatu presentasi yang mengingatkanku pada kuliah-kuliah yang membosankan. Di hotel aku berenang malam-malam dalam rintik hujan ringan, tak terlalu memikirkan virus flu-ku akan menggenang di kolam itu dan akan menyerang seluruh penghuni hotel keesokan hari. Semoga kolam itu memiliki sirkulasi air yang bagus. Atasanku mengajakku karaoke dan aku menyanyikan lagu-lagu One Direction beranggapan atasanku itu dari segi umur tidak mengenal siapa lima pemuda cantik itu sehingga tidak ada alasan dia akan mengejek pilihan laguku.
Aku turun di Jogja dan mencoba untuk pertama kali kereta listrik ke Solo. Sudah lama juga aku tidak naik kereta. Setibanya di rumah, ayah dan ibu sudah menyiapkan buah-buahan karena di Ruteng hanya ada pisang. Pisang dimana-mana. Pada malam minggunya aku ke Jogja untuk nonton dengan cewek yang aku sedang dekat. Karena sholat Maghrib dulu kami telat ke bioskopnya dan entah mengapa embak penjual tiket menolak menjual tiketnya karena kami sudah telat setengah jam lebih. Akhirnya kami hanya duduk-duduk dan ngobrol di ruang tunggu bioskop untuk menghabiskan waktu.
Pada malam harinya aku tidur di rumah bibi di Klaten dan secara mengejutkan dia bilang kepadaku kalau ibu mencemaskan hubunganku itu dan bertanya-tanya mengapa aku pacaran. Aku tahu selama ini ibu dan keluarga besarnya cukup religius namun aku tak menyangka mereka sekonservatif itu. Mungkin mereka menganggapku cukup religius untuk tidak akan pacaran. Entahlah, yang pasti ketika itu ada rasa geli bercampur marah dalam dadaku. Aku tahu aku tak perlu menanggapi hal itu terlalu berlebihan karena ibu hanya menunjukkan perhatiannya yang manis dan aku yakin pada akhirnya kami akan saling mengerti.
Aku menutup liburanku dengan ke Singapura pada akhirnya. Untuk pertama kalinya aku pergi ke luar negeri dan itupun seorang diri. Sebagai seorang pemula aku cemas akan urusan imigrasi dan lebih lagi membayangkan bagaimana di Singapura nanti namun aku mengingatkan diriku bahwa yang aku butuhkan sekarang adalah sedikit petualangan walaupun tentu saja setelah pulang dari negeri itu menjadi terlalu naif untuk berfikir tentang petualangan karena semuanya serba tertib dan mudah.
Gerimis menyambutku di Singapura dan aku harus berterima kasih kepada ibu karena memaksaku untuk membawa payung warna merah muda miliknya. Pada malam pertama aku ke Bugis dan menimbang-nimbang akan membeli oleh-oleh atau tidak. Aku memutuskan menyusuri Victoria Street menuju Kallang. Melihat kubah menjulang aku begegas ke arah Masjid Sultan untuk sholat Magrib dan Isya namun masjidnya tutup kemudian aku makan nasi biryani dan teh tarik di rumah makan arab di depannya. Keesokan harinya aku mengelilingi Singapore River, melihat pantung merlion dari jauh, mengagumi gedung Explanade yang beratap durian, dan berpose mengangkat bagian atas Marina Bay Sands karena disuruh oleh turis yang kumintai tolong untuk mengambil foto. Aku menyesal memasuki museum hanya karena penasaran dengan arsitektur atapnya yang berbentuk unik seperti tangan yang menengadah. Dari halte bus di sekitar situ aku menaiki tur bis kota dimana dengan headset yang dicolokkan di sisi bus yang beratap terbuka itu aku bisa memilih panduan tur dalam bahasa Indonesia. Pemandu itu menginformasikan bangunan apa saja yang ada di sebelah kanan atau kiri kita. Yang mengejutkanku dia juga menginformasikan kisaran harga fantastis apartemen-apartemen yang kami lewati seolah-olah ingin pamer. Sebagai penduduk kota kecil Ruteng dengan pegunungan dan hutannya aku tak bisa membayangkan bahwa hampir semua warga Singapura hidup dalam apartemen-apartemen tinggi semacam itu.


Pada malam harinya aku menyaksikan konser Norah Jones. Aku sempat tertidur karena kecapekan berjalan seharian dan terbius oleh suara Norah Jones yang lembut. Aku jatuh cinta kepadanya dari SMA dan dia jadi wanita idamanku ketika itu seperti One Direction bagi para gadis remaja jaman sekarang. Walaupun semakin beranjak tua mengidolakan seseorang menjadi terlihat konyol aku masih tersentuh ketika dia melantunkan lagu-lagu sendu dari album pertamanya.  Lagu-lagu romantis bernada sendu yang entah bagaimana mengingatkanku untuk bersedih atas kegagalan-kegagalanku dan atas cinta yang harus selalu diperjuangkan karena dengan begitu kita akan tahu bagaimana caranya bahagia.

Rabu, 13 Februari 2013

Tersenyum Sendiri

Aku ingin meringkuk di dalam sinar matamu yang benderang, diselimuti cintamu yang hangat, terlelap dengan mimpi menciummu dalam hujan yang basah. Hujan di bulan Februari terus saja berderai dan membangkitkan rasa rindu. Aku agak meriang, lebih karena rasa rindu ketimbang hujan. Ijinkan aku memikirkanmu dalam hujan di bulan Februari hingga demam, mengingat caramu tersenyum hingga aku tersenyum sendiri, lewat hujan Tuhan menurunkan keresahan yang meresap dalam hati yang menggelitikku hingga aku tersenyum sendiri. Pada bulan Februari aku agak gila karena sering tersenyum sendiri memikirkan bahwa kamu ada di tempatmu, menungguku untuk membentuk sebuah keluarga dan menghabiskan sisa hidup kita berdua.

Aku ingin berlari menembus hutan Flores yang lebat, menyeberangi semua selat, mengarungi samudera Hindia, untuk sampai di tempatmu dan berteriak dari dasar hatiku bahwa cinta itu nyata dan indah. Aku ingin kamu menggenggam hatiku untuk melihat ruang di dalamnya begitu hampa dan gelap. Aku ingin kamu mengisinya dan meneranginya dengan senyummu yang manis. Aku ingin terbangun di pagi hariku untuk melihat sinar matamu yang sebenderang cahaya pagi yang memotivasiku untuk menjalani hari demi hariku yang dingin. Kamu adalah alasan, seberkas cahaya, lagu yang membuatku menari dalam hujan di bulan Februari.

Dalam hujan di bulan Februari, dalam meriang dan demamku, dalam rindu yang menggelitik hatiku, aku ingin menari dalam cinta. Ketika aku memejamkan kedua mataku aku membayangkan sinar matamu dan senyummu yang menghangatkan hidupku yang dingin. Kamu adalah secangkir kopi pagiku, lampu di dalam kamarku, dan acara komedi favoritku yang hangat, benderang, dan membuatku tersenyum sendiri.