Senin, 22 April 2013

Sepotong Cinta Dalam Piring Makan Malam

Pada suatu malam perutku diserang oleh rasa lapar seperti hati yang diserang rasa rindu. Sendirian aku menyusuri jalan Adi Sucipto dalam sorot lampu sepeda motorku yang redup, seharusnya aku mengganti aki-nya dari dulu. Aku mengitari patung Yesus yang memegang dunia, takjub pada jalanan yang sepi seolah-olah para penduduknya telah meninggalkan kota karena serangan wabah penyakit. Aku sempat terkejut melihat patung Yesus yang menarik Salib raksasa--hiasan paskah yang belum diambil. Ada bagian dalam hatiku yang tersayat melihatnya.

Baru pukul setengah sepuluh malam kurasa. Dalam naungan langit kelam aku merasa seorang diri di dunia ini, kesepian memikirkanmu. Beberapa warung sudah tutup. Ruteng di malam hari seolah-olah kota hantu yang dingin. Dan bayanganmu bergentayangan dalam benakku. Beruntung masih ada cahaya dalam sebuah warung tenda di jalan Yos Sudarso. Warung itu menjual makanan laut. Aku memutuskan memesan cumi-cumi dan terkejut mendapati betapa sedikitnya porsi cumi-cumi yang kudapat. Oleh karenanya aku berinisiatif juga memesan tempe. Aku satu-satunya pembeli ketika itu dan menyantap makananku ditemani bangku-bangku kosong namun pikiranku tak pernah kosong darimu. Memikirkanmu dalam dingin malam dalam sebuah tenda bercahaya redup di suatu sudut kota mati ini adalah seperti mendengar sepotong lagu sendu dari sebuah stasiun radio di suatu kota asing. Aku merasa terasing seperti seorang tahanan politik yang diasingkan di sebuah daerah terpencil.

Aku bertanya-tanya sebesar apa cinta yang bisa kuberikan padamu. Aku ketakutan bahwa cintaku tak lebih besar dari porsi cumi-cumi yang kudapatkan malam itu. Mungkin di matamu aku adalah sesosok cumi-cumi paling jelek sedunia atau sepotong tempe paling busuk yang pernah kamu makan atau aku hanyalah seekor ikan buruk rupa yang dengan menyedihkan terombang-ambing dalam cinta. Akan aku arungi luas samudera, takkan pernah berhenti, untuk sampai ke tempatmu berada.