Minggu, 13 Juli 2014

Tersesat Tanpamu

Terbangun dari sebuah mimpi yang menyedihkan aku melanjutkan hidupku yang seorang diri, tanpamu, tersenyum pahit sambil memandang ke luar jendela pada bukit-bukit merah, pada terik yang membakar di atasnya. Mengharapkan simpati dari penumpang sebelah, aku bertanya, “Udaipur masih jauh?”  Lelaki berpenutup sorban itu tampak bingung, yang semula kupikir hanya karena tidak berbahasa Inggris, dia mencari bantuan penumpang lain yang mengungkapkan rasa simpatinya bahwa aku seharusnya turun pagi buta tadi ketika bis itu berhenti untuk istirahat makan. Sekarang matahari mulai meninggi dan bis ini terus melaju melewati kota-kota asing menuju sebuah kota asing. Aku hampir bersedia dibawa ke mana saja hingga bis ini berhenti, berharap menemukanmu di sana, namun aku hanya punya sedikit waktu dan lebih banyak mimpi tentangmu. Memikul backpack-ku aku berjalan ke arah sopir untuk diturunkan di sebuah persimpangan jalan yang berdebu dan sepi kemudian naik bis ke arah sebaliknya.

Sesampainya di kota ini aku langsung menuju stasiun kereta untuk memesan tiket ke Delhi  malam nanti, namun aku terlalu naïf menemukan bahwa tiketnya habis, masih asing dengan sistem pembelian tiketnya. Pada akhirnya aku harus bermalam di kota ini (lagi pula aku belum mandi dua hari karena selalu dalam perjalanan), menyusuri gang-gang sempit di sekitar danau yang bau, dan menghampiri sopir riksaw yang membawaku ke istana di puncak bukit dimana aku bisa melihat seluruh kota dari atas sana. Pada malam harinya aku mengunjungi mall di bagian modern dari kota ini. Memesan burger di sebuah waralaba karena bosan dengan rempah-rempah negeri ini yang terlalu kuat namun sia-sia karena semua hal telah dibumbui kuat-kuat seolah pernikahan yang dipaksakan dan aku hanya bisa beradaptasi. Aku melanjutkan menonton film dalam bahasa hindi yang secara mengejutkan tidak terdapat adegan menari dan menyanyi namun aku jatuh tertidur karena tidak mampu mengikuti jalan ceritanya.




Keesokan hari aku berjalan di sekitar penginapan dan membawaku  pada gerbang sebuah istana yang juga merupakan sebuah museum yang memamerkan kacamata yang dipakai pemeran Mahatma Gandhi dalam film Gandhi, aku sendiri tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat kaca mata bulat itu. Namun itulah yang seorang pelancong lakukan, menyusuri museum suatu kota tanpa berusaha untuk terlalu serius karena hidup sudah cukup serius kemudian melupakan kenangan-kenangan itu seperti melupakan masa lalu. Bersyukur dari museum yang sama juga aku dapat membeli tiket untuk mengelilingi danau,  mengagumi istana putih yang berdiri  anggun diantara air danau yang berkilauan, meratapi bagian kota yang kotor dan tua, dan menatap perbukitan di kejauhan bertanya-tanya di sebelah mana istana yang kukunjungi kemarin berada.






Seperti pengelana yang putus asa, akan cinta, akan hidup yang dingin, aku sudah berada di peron stasiun kereta sorenya, menunggu dengan bingung kereta yang akan membawaku ke Delhi. Aku membeli tiket dari biro perjalanan di dekat penginapan sebelum membeli dua helai sari dari sebuah toko yang dipenuhi wanita lokal berbalut sari hingga aku bisa melihat perut mereka, besar atau kecil, hanya karena dua kata yang terpampang di depan toko: fixed price. Di kereta aku bercakap-cakap dengan seorang mahasiswa arsitektur yang tampak antusias melihat orang asing, kecewa mendapati dia tidak pernah mendengar tentang Pulau Bali atau komodo dragon, dan terkejut mengetahui bahwa mata uang India disebut juga rupiah. Dia turun di kota yang cukup dekat kemudian digantikan oleh penumpang perjalanan malam sepertiku. Tiketku sleeper class, aku membayangkan akan bisa tidur selonjoran namun kenyataannya hanya duduk berjejer dan berhadapan, dengan satu  pasangan suami-istri yang berumur yang hanya tersenyum melihatku dan satu pasang lagi yang lebih muda dan berbahasa Inggris. Yang muda adalah pasangan yang rupawan, sama-sama berhidung mancung dan berkulit cokelat yang tidak terlalu gelap. Diam-diam aku menyimpan rasa kagum yang bercampur iri pada mereka. Di saat makan malam pasangan muda itu makan dari satu bungkus yang sama dengan tangan telanjang, menawariku dengan sopan, kemudian saling berbicara tentang kehidupan mereka yang intim. Aku melihat romantisme itu seolah-olah mereka berciuman di hadapanku. Sementara  di saat jam tidur sang suami pasangan tua mengungkapkan apa arti sleeper class kepadaku dengan cekatan dia menaikkan sandaran tempat duduk kami sehingga menjadi tempat tidur kedua di antara tempat tidur atas dan bawah, kemudian menyiapkan tempat tidur tersebut untuk sang isteri dimana dia membantunya naik ke atasnya. Aku melihatnya seolah-olah mereka bercinta di hadapanku.  Sementara aku meringkuk di tempat tidur paling bawah, dengan hati yang seorang diri, berusaha memejamkan mata dan membayangkan bagaimana rupa wajah cantikmu dan lekuk senyum manismu, merasakan getaran kereta yang menembus malam yang dingin dan panjang, tak menyadari bahwa kota yang akan dituju begitu besar dan aku akan berkerumun bersama jutaan orang lain, merasa begitu kecil dan tak berarti, dan merasa sungguh-sungguh tersesat  tanpamu.


Rabu, 02 Juli 2014

3 Warna, 17 Pulau, dan 1 Cinta

Aku tak pernah mengerti bagaimana hidup sampai membawaku pada tempat ini. Aku hanya bisa terkesima dan bersyukur dan berharap hidup juga pada akhirnya akan membawaku pada tempatmu berada. Kemiskinan adalah realitas di tanah Flores namun tanah ini juga menyerupai  tanah antah berantah dalam sebuah dongeng. Dengan danau warna-warninya, pantai-pantai ajaibnya, atau pulau-pulau kecilnya yang indah. Mei itu untuk ketiga kalinya aku menjelma menjadi seorang pangeran kesepian yang bermimpi  tentang putri pujaannya sambil menatap cahaya matahari yang merekah di langit di atas danau tiga warna. Dalam dingin udara pagi aku berselimut rasa sepi yang sudah menjadi teman karibku cukup lama. Ketika melewati taman di bagian bawah Kelimutu bahkan kicauan burung-burung yang genit tidak mampu mengusik hatiku yang beku. Aku bersyukur salah satu danaunya berubah warna dari setahun sebelumnya.

Foto oleh Praindra Putra

Foto oleh Praindra Putra

Kami melanjutkan perjalanan ke Riung, melewati kota Ende, menyusuri pantainya yang panjang, dan menatap ombak yang memecah ke pantai dalam diam. Jalanan dari Ende ke Kabupaten Nagekeo masih dalam perbaikan dan sepanjang perjalanan hanya debu-debu berterbangan. Kami seperti sedang menuju sebuah kota di ujung dunia. Ketika sampai di Nagekeo  kami terperangah akan kerapian kotanya yang tergolong masih baru ketika itu seperti melihat mimpi akan masa depan dan merasakan rasa cemas yang perlahan mencengkeram jantung kami. Ini kota masa depan tempat para warganya menyandarkan mimpi. Segera setelah meninggalkan kota dan meninggalkan mimpi kami di sana kami disambut jalanan sunyi di tengah belukar seolah-olah kami rombongan kesatria yang  berangkat untuk membunuh naga. Dan pemandangan perbukitan di sekitarnya  sungguh luar biasa seolah-olah tempat hidup para naga. Dalam sengatan matahari siang itu bahkan cinta dalam hati kami pun ikut mengering dan aku jatuh tertidur, dengan putus asa berusaha menghidupkan mimpi tentangmu.

Foto oleh Praindra Putra

Dalam mimpi samar-samar aku melihat lautan di kejauhan. Kami  sampai juga di Riung…

Kecamatan ini dihidupkan oleh generator yang terdengar berisik dari kejauhan. Ada satu ATM dan itu membuat kami merasa lega. Tempat ini begitu sunyi seolah-olah  sebuah tempat yang pemalu. Di malam hari kami menyusuri jalanannya dalam gelap melewati pasarnya yang sudah kosong. Kami bergegas tidur dan bermimpi berenang di  pantai di bawah sinar matahari.

Foto oleh Praindra Putra

Riung menawarkan wisata bahari, melompat dari satu pulau kecil ke yang lain. Dalam papan reklame disebutkan ada 17 pulau, namun siapa yang sempat menghitung jika mengitung sebuah hari yang berlalu dimana aku belum juga menemukanmu adalah sebuah penyesalan. Setiap hari aku menyesal belum mengenalmu. Namun bersyukur akomodasi di tempat ini tergolong murah. Kami menyewa perahu motor kecil dan perlengkapan snorkeling. Melewati sebuah pulau dan mencoba membangunkan kelelawar-kelelawar yang sedang tidur. Merapat di atas pasir putih sebuah pantai dan menyelami airnya yang jernih, mencari-cari terumbu, dan terpesona pada warna-warni ikan. Harga sudah termasuk dengan ikan-ikan yang dibakar di pulau dengan nasi yang sudah dibawa sebelumnya.

Foto oleh Praindra Putra

Di bawah sinar matahari yang berkilauan di atas air aku menyelami pantai-pantai untuk menemukanmu. Ketika sampai di atas sebuah bukit dimana aku harus menerobos belukar dan mendaki tajam aku ingin meneriakkan namamu sekuat tenaga, namun hanya lautan luas yang membisu dan pulau-pulau dikejauhan yang tak bergeming menjawabku. Aku menatap langitnya yang luas dan bertanya-tanya di bagian mana dari bumi ini kamu berada. Perlu berapa kali lagi tiga warna danau Kelimutu harus berubah agar aku bisa berhenti menghitung, 17 pulau atau 17.000 tahun, aku belum juga menemukanmu. Setiap hari aku menyesal belum mengenalmu.

Foto oleh Praindra Putra