Minus tiga derajat, begitu informasi suhu yang disampaikan sebelum mendarat. Ruteng cukup dingin, aku akan mampu bertahan, kenapa tidak, hatiku adalah himalaya, dingin abadi yang merindu hangatnya cinta. Lewat tengah malam ketika itu, waktu yang tepat untuk bermimpi tentang cinta, dan aku tidur di kursi tunggu bandara menunggu esok hari yang tak pasti, seperti hidup itu sendiri. Semua orang berbahasa asing. Semua tulisan adalah simbol.
Esoknya aku memesan sarapan di KFC dan berkenalan dengan kesalahpahaman untuk pertama kali; sang pelayan memberiku dua porsi, hari berikut aku malahan membuka jaket padahal hanya disuruh berbalik badan, kemudian hari-hari berikutnya kesalahpahaman yang lain. Aku tersesat dalam bahasa, namun aku menikmatinya, seperti aku menikmati masih tersesat mencarimu dalam permainan petak umpet yang dinamakan cinta. Dari bandara aku naik metro menuju stasiun terdekat dengan penginapan yang sudah kupesan online hingga pada akhirnya aku berkeliaran seorang diri di jalanan Beijing merasakan dingin bulan Februari yang menusuk. Tahun baru cina sebentar lagi. Tanganku membeku tanpa sarung tangan. Seperti seekor beruang kutub, hatiku menemukan habitatnya.
Sorenya aku berniat menuju lapangan Tiananmen untuk ikut tur yang ditawarkan di sana namun aku berakhir di bagian kota terlarang dimana terpampang lukisan Mao Zedong di pintu gerbangnya, sosok yang kemudian kutemukan juga di kota-kota lain. Sepertinya beliau adalah Soeharto-nya Cina, semacam bapak pembangunan. Kota terlarang cukup luas, aku hanya berjalan lurus ke depan melewati gerbang demi gerbang, menyeberangi halamannya yang luas, dan terpukau pada masa lalu. Di tempat itu aku mencoba selfie dengan tongkat narsis untuk pertama kalinya. Keluar dari kota terlarang aku mengunjungi taman di seberang jalan untuk menaiki sebuah bukit menuju pavilion di puncaknya yang dari sana aku dapat melihat penjuru Beijing yang terlihat sendu dalam musim dingin. Keluar dari taman itu tiba-tiba aku memasuki istana musim dingin dengan stupa besar di puncak bukit. Aku membeli jus buah yang baru aku lihat pertama kali dan duduk di salah satu bangku taman memandangi danau yang setengah membeku dan matahari sore yang oranye yang berkilauan di atas sebuah jembatan yang dihiasi lampion warna merah. Perahu-perahu terabaikan di salah satu sudut sementara burung-burung berjalan di bagian danau yang membeku. Aku jadi memikirkan hatiku yang terabaikan dan beku. Pada malam harinya aku tersesat dan berjalan cukup lama hingga merasakan nyeri di sendi kakiku. Lusanya pada akhirrnya aku bisa mengunjungi lapangan Tiananmen yang ketika itu berkabut, entah karena musim dingin atau polusi. Aku terkejut mendapati sedikitnya orang di dalamnya. Aku menyesal belum bisa melihat stadion sarang burungnya yang super keren yang dipakai ketika Olimpiade 2008, kuil langitnya yang indah yang bahkan tidak terlalu jauh dari Tiananmen tempatku berdiri ketika itu, atau tempat-tempat lain yang sering kulihat di film-film kungfu karena aku harus mengejar kereta peluru super cepat menuju Taiyuan untuk kemudian menuju Xian tempat dimana museum prajurit terakota berada. Ketika itu menjelang tahun baru cina dan semua tiket kereta telah habis. Di depan loket tiket kereta berbahasa dan bertuliskan cina aku hanya mengangguk bingung ketika penjaganya menyebutkan beberapa kata. Kereta apa saja. Kapan saja. Asal ada cinta yang menggerakan gerbong-gerbongnya yang dingin dan sunyi seperti hatiku yang terasa berat di dalam rongga dada ini.
Satu hari sebelum meninggalkan Beijing aku menuju stasiun utara dan memesan tiket menuju Badaling. Stasiunnya besar dengan para penjaga dalam seragam jubah musim dingin yang menambah kesan menyeramkan dari mereka. Setelah pintu antrian dibuka kami berhamburan menuju gerbong kereta untuk mendapatkan kursi di samping jendela kacanya yang lebar namun aku malahan jatuh tertidur setelah mendapatkannya. Setelah terbangun, dengan bingung aku mengikuti kerumunan menuju tembok besar cina. Ketika mengantri tiket masuk sepasang kekasih yang berdiri tepat di depanku saling bercanda hingga menempelkan hidung mereka satu sama lain, tak perduli pada perasaanku, seolah-olah ingin mengolok-olok kesendirianku. Tentunya temboknya besar sekali namun yang paling mengesankan adalah panjangnya yang membuat kita bertanya-tanya bagaimana mereka membangun tembok sepanjang itu di masa lalu. Bagian utara tembok itu cukup ramai dengan kereta gantung yang terlalu jauh dari tempatku masuk atau kereta luncur di samping tembok yang mengarah entah kemana. Aku tidak ingin berjalan terlalu jauh, mengingat pengalaman hari sebelumnya, aku lebih banyak duduk menatap kabut yang menutupi bukit, merasa sendu sendiri. Aku tahu tembok raksasa tempat aku berdiri ketika itu telah berdiri ratusan tahun namun hal itu malah membuatku memikirkan diriku sendiri yang semakin tua dan bertambah gendut yang untuk kesekian kalinya masih gagal dalam percintaan. Aku hanya ingin kamu merobohkan tembok hatiku yang keras kepala seperti yang orang-orang Jerman lakukan pada tembok Berlin di akhir 1989. Aku hanya ingin menjadi hancur lebur di hadapanmu dalam cinta. Aku memutuskan untuk menelusuri bagian selatan tembok itu yang relatif sepi dan menemukan di suatu sudut sepasang kekasih yang berciuman. Rasa dingin menyelimuti hatiku lebih kuat. Aku duduk di salah satu anak tangga tembok cina, terengah-engah, menatap nanar pada untaian tembok itu hingga ke bukit terjauh, memikirkan cinta yang jauh dan tiba-tiba rasa dingin menyelimuti hatiku lebih kuat. Lebih erat.