Selasa, 17 Maret 2015

Tembok Hati

Minus tiga derajat, begitu informasi suhu yang disampaikan sebelum mendarat. Ruteng cukup dingin, aku akan mampu bertahan, kenapa tidak, hatiku adalah himalaya, dingin abadi yang merindu hangatnya cinta. Lewat tengah malam ketika itu, waktu yang tepat untuk bermimpi tentang cinta, dan aku tidur di kursi tunggu bandara menunggu esok hari yang tak pasti, seperti hidup itu sendiri. Semua orang berbahasa asing. Semua tulisan adalah simbol. 

Esoknya aku memesan sarapan di KFC dan berkenalan dengan kesalahpahaman untuk pertama kali; sang pelayan memberiku dua porsi, hari berikut aku malahan membuka jaket padahal hanya disuruh berbalik badan, kemudian hari-hari berikutnya kesalahpahaman yang lain. Aku tersesat dalam bahasa, namun aku menikmatinya, seperti aku menikmati masih tersesat mencarimu dalam permainan petak umpet yang dinamakan cinta. Dari bandara aku naik metro menuju stasiun terdekat dengan penginapan yang sudah kupesan online hingga pada akhirnya aku berkeliaran seorang diri di jalanan Beijing merasakan dingin bulan Februari yang menusuk. Tahun baru cina sebentar lagi. Tanganku membeku tanpa sarung tangan. Seperti seekor beruang kutub, hatiku menemukan habitatnya.




Sorenya aku berniat menuju lapangan Tiananmen untuk ikut tur yang ditawarkan di sana namun aku berakhir di bagian kota terlarang dimana terpampang lukisan Mao Zedong di pintu gerbangnya, sosok yang kemudian kutemukan juga di kota-kota lain. Sepertinya beliau adalah Soeharto-nya Cina, semacam bapak pembangunan. Kota terlarang cukup luas, aku hanya berjalan lurus ke depan melewati gerbang demi gerbang, menyeberangi halamannya yang luas, dan terpukau pada masa lalu. Di tempat itu aku mencoba selfie dengan tongkat narsis untuk pertama kalinya. Keluar dari kota terlarang aku mengunjungi taman di seberang jalan untuk menaiki sebuah bukit menuju pavilion di puncaknya yang dari sana aku dapat melihat penjuru Beijing yang terlihat sendu dalam musim dingin. Keluar dari taman itu tiba-tiba aku memasuki istana musim dingin dengan stupa besar di puncak bukit. Aku membeli jus buah yang baru aku lihat pertama kali dan duduk di salah satu bangku taman memandangi danau yang setengah membeku dan matahari sore yang oranye yang berkilauan di atas sebuah jembatan yang dihiasi lampion warna merah. Perahu-perahu terabaikan di salah satu sudut sementara burung-burung berjalan di bagian danau yang membeku. Aku jadi memikirkan hatiku yang terabaikan dan beku. Pada malam harinya aku tersesat dan berjalan cukup lama hingga merasakan nyeri di sendi kakiku. Lusanya pada akhirrnya aku bisa mengunjungi lapangan Tiananmen yang ketika itu berkabut, entah karena musim dingin atau polusi. Aku terkejut mendapati sedikitnya orang di dalamnya. Aku menyesal belum bisa melihat stadion sarang burungnya yang super keren yang dipakai ketika Olimpiade 2008, kuil langitnya yang indah yang bahkan tidak terlalu jauh dari Tiananmen tempatku berdiri ketika itu, atau tempat-tempat lain yang sering kulihat di film-film kungfu karena aku harus mengejar kereta peluru super cepat menuju Taiyuan untuk kemudian menuju Xian tempat dimana museum prajurit terakota berada. Ketika itu menjelang tahun baru cina dan semua tiket kereta telah habis. Di depan loket tiket kereta berbahasa dan bertuliskan cina aku hanya mengangguk bingung ketika penjaganya menyebutkan beberapa kata. Kereta apa saja. Kapan saja. Asal ada cinta yang menggerakan gerbong-gerbongnya yang dingin dan sunyi seperti hatiku yang terasa berat di dalam rongga dada ini.











Satu hari sebelum meninggalkan Beijing aku menuju stasiun utara dan memesan tiket menuju Badaling. Stasiunnya besar dengan para penjaga dalam seragam jubah musim dingin yang menambah kesan menyeramkan dari mereka. Setelah pintu antrian dibuka kami berhamburan menuju gerbong kereta untuk mendapatkan kursi di samping jendela kacanya yang lebar namun aku malahan jatuh tertidur setelah mendapatkannya. Setelah terbangun, dengan bingung aku mengikuti kerumunan menuju tembok besar cina. Ketika mengantri tiket masuk sepasang kekasih yang berdiri tepat di depanku saling bercanda hingga menempelkan hidung mereka satu sama lain, tak perduli pada perasaanku, seolah-olah ingin mengolok-olok kesendirianku. Tentunya temboknya besar sekali namun yang paling mengesankan adalah panjangnya yang membuat kita bertanya-tanya bagaimana mereka membangun tembok sepanjang itu di masa lalu. Bagian utara tembok itu cukup ramai dengan kereta gantung yang terlalu jauh dari tempatku masuk atau kereta luncur di samping tembok yang mengarah entah kemana. Aku tidak ingin berjalan terlalu jauh, mengingat pengalaman hari sebelumnya, aku lebih banyak duduk menatap kabut yang menutupi bukit, merasa sendu sendiri. Aku tahu tembok raksasa tempat aku berdiri ketika itu telah berdiri ratusan tahun namun hal itu malah membuatku memikirkan diriku sendiri yang semakin tua dan bertambah gendut yang untuk kesekian kalinya masih gagal dalam percintaan. Aku hanya ingin kamu merobohkan tembok hatiku yang keras kepala seperti yang orang-orang Jerman lakukan pada tembok Berlin di akhir 1989. Aku hanya ingin menjadi hancur lebur di hadapanmu dalam cinta. Aku memutuskan untuk menelusuri bagian selatan tembok itu yang relatif sepi dan menemukan di suatu sudut sepasang kekasih yang berciuman. Rasa dingin menyelimuti hatiku lebih kuat. Aku duduk di salah satu anak tangga tembok cina, terengah-engah, menatap nanar pada untaian tembok itu hingga ke bukit terjauh, memikirkan cinta yang jauh dan tiba-tiba rasa dingin menyelimuti hatiku lebih kuat. Lebih erat.






Senin, 09 Maret 2015

Monumen Cinta

Sebuah perjalanan kereta yang singkat, aku bisa merasakan antisipasi yang menggelitik dadaku. Hampir 3 jam. Setelah kereta berhenti tiba-tiba seorang wanita tiga-puluhan tahun yang berada satu kursi di depanku bertanya, "dari Indonesia ya?"

Aku terkesan pada inisiatifnya. Wajahku memang melayu dan aku suka musik melayu. "Iya."

"Tinggal dimana?"

"Flores," jawabku. Dia tinggal di Bali dan sedang berlibur dengan kekasihnya. Kami saling melempar senyum seperti bertemu kerabat jauh kemudian berpisah di gerbong itu juga.

Aku tersesat dalam perjalanan Delhi menuju Agra. Aku ingin tersesat dalam sebuah kereta menuju kota-kota asing di belahan bumi lain. Terantuk-antuk di kursinya dan bermimpi tentang cinta. Tersesat seperti aku masih tersesat dalam cinta. Tersesat seperti aku tersesat dalam labirin hidup maharumit dan mahaluas. 

Mengikuti saran sebuah situs perjalanan aku menuju pusat informasi turis di stasiun itu untuk memesan tiket tur. Aku berakhir di dalam sebuah bis yang terlalu besar untuk kami bertujuh; tiga turis lokal, dua turis Inggris, satu Dubai, dan aku. Pemandunya orang Agra asli dan seorang muslim, memandu baik dalam bahasa Inggris maupun Hindi. Dia berbicara sambil menggelengkan kepalanya seolah-olah tidak setuju dengan apa yang diutarakannya sendiri.

Pertama, kami mengunjungi Fatehpur Sikri, sebuah kota di luar Agra yang dibangun oleh raja Akbar di abad 15 dimana kami bisa melihat arsitektur kerajan Mughal yang masih terpelihara. Mengagumi gerbang-gerbangnya yang tinggi, halamannya yang luas, warna merah pada temboknya, masjid Jama, dan sebuah makam warna putih yang berdiri mencolok di halamannya. Aku sendiri tidak terlalu mendengarkan sejarah yang disampaikan sang pemandu, mungkin aku sempat mendengarkan namun dengan cepat juga melupakannya seperti melihat wajah ribuan wanita dan bukan kamu.






Kedua, kami mengunjungi benteng Agra. Melihat kemegahan bangunan itu mengingatkanku pada fantasi tentang negeri dongeng dengan putri cantik dan hidup bahagia untuk selama-lamanya. Apa itu sesuatu yang mungkin? Mendekapmu selama-lamanya, mencoba menjadi benteng bagimu untuk melindungimu dari dingin kehidupan?




Sebelum mengunjungi Taj Mahal kami makan siang dan aku kehabisan uang. Aku memilih menu yang kurasa cukup dengan jumlah uang yang tersisa di dompet dan tidak pernah berfikir menambahkan pajak ke dalam hitungan. Setelah menerima tagihan aku tahu aku dalam masalah besar, kemudian terus saja memeriksa setiap celah di dompet lebih teliti walaupun aku tahu itu sia-sia. Pada akhirnya aku meminjam pada salah seorang rekan perjalanan dari negara maju, dengan rasa malu tentunya. Mereka membicarakan skydiving atau kota-kota di Eropa dan Amerika yang belum pernah kukunjungi atau mungkin takkan pernah kukunjungi sementara aku memikirkan bagaimana akan melalui sisa hari itu tanpa sepeserpun uang. Pada hari itu semua ATM menolak kartuku seperti para perempuan keji menolak cintaku. Di akhir tur itu dimana dengan kumis tersimpul senyum pemandu kami mengatakan bahwa tur telah usai dan waktunya kami, para turis, memberikan uang tip, sedikit atau banyak, sesuai keikhlasan hati. Aku terdiam malu, seperti kalah dalam olimpiade atau kontes putri sejagad. Maafkan aku, Indonesia.




Tentu saja Taj Mahal menghibur hatiku yang pilu hari itu. Dingin lantai atau tembok marmernya atau warna putihnya yang berkilauan diterpa sinar matahari siang mengingatkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Aku menatap kubahnya yang besar, menara-menaranya yang menjulang tinggi, dan langit diatasnya yang terang benderang. Aku iri pada Shah Jahan yang membangun makam luar biasa yang berdiri di hadapanku ini untuk istri ketiganya, Mumtaz Mahal. Bukan karena kekayaan atau kekuasaannya, yang sama sekali tidak kumiliki hari itu, namun karena keberdukaannya yang mendalam, dibutuhkan cinta sebesar apa untuk mendirikan bangunan seindah dan semegah ini hanya untuk mengenang seseorang, sementara aku mudah melupakan. Aku hanya ingin mencintai dalam-dalam dan dicintai dalam-dalam. Siang itu aku hanya bisa berdiri termenung, dibakar matahari habis-habisan, menatap sebuah perahu yang dikayuh perlahan menyibak sungai Yamuna yang mengalir dengan tenang di sisi monumen yang dipersembahkan untuk cinta.