Rabu, 01 Juli 2015

Tanah yang Terberkati Ini

Sebuah perjalanan panjang dan pada akhirnya malam turun menyelimuti kota asing yang terasa familiar ini. Sopir travel menurunkanku di sebuah persimpangan jalan, mengeluh mengapa tidak dari tadi aku menyebutkan tujuanku karena dari tempatku sekarang kami harus memutar jauh. Dia menunjukkan papan reklame sebuah merk bir yang diterangi lampu temaram; East Timor Backpackers, sebuah penginapan murah yang populer di Dili. Aku lega sang pemilik bisa berbahasa indonesia. Aku lega bahasa bukanlah kendala besar di negara baru ini. Aku hanya takut persepsi orang-orang Timor-Timur tentang orang Indonesia. Aku mencoba membaca mata mereka yang menangkap bayanganku, berpakaian turis dengan celana surfing warna-warni, duduk di bangku angkotnya yang terlalu tinggi. Dari sebuah situs perjalanan disebutkan untuk menghindari pertanyaan tentang terpisahnya negara ini dari negaraku karena akan membangkitkan luka lama. Aku sendiri kurang tertarik pada politik. Aku masih ingat dari buku pelajaran SD-ku di tahun 1990-an bahwa negara ini masih merupakan sebuah provinsi dari Indonesia, provinsi ke-27, provinsi terakhir ketika itu, yang berhasil direbut dari Portugis pada 1975.



Ketakutanku berasal dari cerpen-cerpen dalam kumpulan Saksi Mata yang kubaca ketika masih SMA dan masih terobsesi dengan penulisnya, Seno Gumira Ajidarma, atau film Balibo yang aku tonton bertahun-tahun kemudian yang menceritakan tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Indonesia di masa orde baru. Aku tahu ada beberapa gerakan separatis di negaraku seperti di Maluku atau Papua, ataupun di negara-negara lain. Hampir enam tahun aku tinggal di Flores dan ikut merasakan lambatnya pembangunan atau ketimpangan. Aku bisa merasakan rasa nasionalisme-ku perlahan luruh, apalagi jika akses pendidikan, kesehatan, atau makanan buruk.




Keesokan harinya aku berjalan di sepanjang Almirante Americo Tomas, merasakan hawa panas daerah pantai yang  gerah. Aku berniat menyewa motor namun bahkan sampai di Timor Plaza aku tidak menemukan satu pun rental. Aku memutuskan naik angkot menyeberangi jembatan comoro sampai ke patung di depan gapura bandara. Baru setelah kembali menyeberangi comoro aku menemukan sebuah rental motor di bawahnya namun sudah tutup. Aku menghabiskan malam di Timor Plaza dengan makan dan nonton film. Baru esoknya aku menyewa motor dan mengelilingi kota Dili yang kecil. Aku terkejut betapa dekatnya pantai dari tempatku menginap. Aku menyusuri jalan di tepi pantainya yang panjang, berhenti ketika melihat sebuah mercusuar, kemudian duduk menatap ombak di kejauhan. Aku terkejut pada pantainya yang luar biasa tenang. Melewati istana presiden, taman dengan tempat duduk yang menghadap laut, resto-resto yang mulai berjejer, aku terus menuju ujung teluk tempat dimana patung Yesus yang tinggi menjulang. Tepat di bawah patung itu terhampar sepasang  pantai  yang cantik. Ariea Branca, pantai yang lebih ramai adalah pintu masuk untuk menaiki bukit menuju patung Yesus. Aku menyusuri anak tangga demi anak tangganya yang tidak sedikit namun rimbunanya pepohonan di sekitar membuat pendakian tersebut lebih terkesan diberkati, apalagi ketika sudah sampai di halaman luas satu lantai di bawah patung Yesus. Kebetulan hari itu hari Minggu banyak peziarah berkumpul di beberapa sudut mendengarkan khotbah. Khotbah di atas bukit tepat di bawah patung Yesus. Sempurna, sementara aku berbaring di salah satu bangkunya memandangi kilauan cahaya matahari siang yang menerobos dedaunan sebatang pohon tanpa nama hingga jatuh tertidur dan bermimpi tentang sekuntum cinta tanpa nama.








Ternyata masih ada anak tangga yang bisa didaki untuk mencapai patung Yesus itu. Dari puncak bukit aku bisa melihat ujung teluknya dan lautan mahaluas. Aku juga bisa melihat dua pantai yang berbeda sisi itu sekaligus. Patungnya sungguh-sungguh megah dan tinggi dan aku merasa terberkati berdiri di bawahnya, di tanah asing yang dulu adalah tanah yang sama. Aku jadi memikirkan kemungkinan berpisahnya provinsi-provinsi lain di Indonesia yang merasa dikecewakan. Aku mungkin takkan terlalu perduli dan akan melakukan perjalanan yang sama, ke negara Maluku, Nusa Tenggara Timur, atau Papua, sepanjang stempel di buku pasporku bertambah.




Matahari perlahan turun dan aku turun menuju cape fatucama, pantai yang lebih sepi. Ketika itu terdapat kerumunan yang berkumpul sambil membakar ikan. Pasirnya putih. Tak tahan pada jernih airnya aku berenang di dalamnya, bersama kesendirian yang telah menjadi sahabat karibku cukup lama. Aku terengah-engah, kelelahan sendiri, berendam di sebuah pantai asing yang hangat sambil menatap barisan bukit yang memesona, di bawah langit yang sama, matahari yang sama, tak henti-hentinya merasa terberkati memandangi patung Yesus di ujung teluk. Aku hanya bisa tersenyum, setengah sedih karena belum menemukanmu juga, setengah bahagia karena hingga aku bosan dengan kesendirian ini aku akan merayakan hidup berdua denganmu nanti, akan kuceritakan tempat-tempat asing yang membuatku memikirkanmu terus-menerus ini hingga kamu jatuh bosan dan mengajakku mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah kutuju.