Jumat, 10 Maret 2017

Semata-mata Pendapat Pribadi

Lama sekali tidak menulis, rasanya kikuk, semakin tua realitas jadi kurang menarik, atau ini hanyalah pesimisme yang dikandung usia, kegetiran atau amarah. Penulisan posting ini dilatarbelakangi oleh upaya meyalakan api semangat untuk menulis dalam masa-masa penggarapan skripsi dan nostalgia pada cita-cita menjadi penulis yang mana membuat saya tersenyum sendiri menyadari begitu cepatnya waktu berlalu, begitu cepatnya diri seseorang berubah, begitu drastis. Sementara di Jakarta hujan mulai rajin berkunjung, Februari kemarin saya mengunjungi Teheran dan terkejut pada hawa dinginnya yang menusuk, banyaknya polisi yang berjaga di seputaran kota, dan penutupan beberapa jalan utama. Saya mencari stasiun metro karena biasanya metro merupakan moda transportasi yang paling ramah turis, sementara semua tanda dan tulisan dalam bahasa Persia. Saya menuju stasiun Teater Kota dan mendapati rangkaian manusia keluar dari pintunya, menghambur ke sepanjang jalan di depannya, dan bergabung dengan barisan demonstran anti Israel-Amerika. Sepertinya Jumat itu hari spesial warga Iran dimana hampir semua kota melakukan demonstrasi yang sama. Saya sendiri kurang mengikuti politik negara itu namun saya tahu tentang isu nuklir dan adanya sanksi Amerika, sedangkan Israel tentu saja menjadi musuh besar umat islam terkait isu Palestina. Islam syiah merupakan mayoritas keyakinan warga Iran namun merupakan minoritas dalam lingkup umat muslim dunia, dan setahu saya di Indonesia banyak mendapat pertentangan dari kalangan konservatif Sunni. Tentu saja saya tidak ikut berjamaah dalam sholat mereka karena ada perbedaan yang cukup signifikan namun saya tetap melakukan sholat di dalam masjid-masjid mereka yang indah dan mereka menerima saya dengan tangan terbuka. Terlepas dari kehidupan syiah mereka yang unik, Iran memiliki situs-situs kuno yang secara mengejutkan menarik seperti Imam Square di Isfahan atau Persepolis di Shiraz.

Imam Square

Imam Mosque

Persepolis


Dari Iran saya melanjutkan perjalanan ke Turki yang berbatasan darat. Pada mulanya saya berencana untuk mencapai Turki lewat jalur darat namun adanya konflik Kurdistan dan konflik Suriah membuat saya mengurungkan niat tersebut. Saya terbang ke Ankara dan terpesona pada arsitektur sebuah masjid yang berdiri megah tak jauh dari bandara yang mana setelah mengunjungi beberapa kota di Turki baru kemudian menyadari bahwa hampir semua masjidnya memiliki arsitektur serupa. Saya mengunjungi museum Mevlana di Konya yang merupakan makam dari Rumi, seorang tokoh Sufi terkemuka, melayang dengan balon udara meratapi salju dan bebatuan aneh di Cappadocia, mengelilingi reruntuhan peradaban romawi di Pamukkale, dan tentu saja mengenang kejayaan Islam pada masa kesultanan Ottoman di Istana Topkapi. Saya mengenal Istambul dari karya-karya Orhan Pamuk, dan mencoba merasakan huzun dari kota cantik itu, apa yang Pamuk gambarkan sebagai kesenduan, ditemani dingin angin bulan Februari menyeberangi Bosporus menyaksikan kapal-kapal yang berlayar dan warga lokal yang sedang memancing di atas jembatan. Berjamaah di masjid-masjid Turki yang cantik, saya menyadari beberapa perbedaan detail gerakan sholat yang tidak terlalu signifikan, dikarenakan perbedaan mahzab dalam islam sunni.

konya

Cappadocia

Pamukkale

Istambul


Negara terakhir yang saya kunjungi adalah Mesir. Kudeta pada 2013 masih menunjukkan luka pada masyarakatnya dengan keadaan ekonomi yang belum membaik. Di Kairo beberapa pihak mencoba memanfaatkan turis dengan penipuan, penggelembungan harga yang keterlaluan, atau permintaan tip untuk jasa yang tidak dibutuhkan. Keadaan tersebut menjadi bagian dari “pengalaman Mesir” yang sudah sering diperingatkan dalam situs-situs perjalanan, walaupun di kota-kota lain yang lebih kecil hal semacam itu relatif lebih jarang terjadi. Kairo sendiri dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan sastra arab dan pengkajian islam sunni dengan universitas Al-Azhar-nya yang merupakan salah satu universitas tertua di dunia. Banyak pelajar Indonesia yang berkuliah di universitas tersebut dan beberapa alumninya menjadi baik ulama atau tokoh politik islam di Indonesia.


Cairo

Mengunjungi negara-negara islam tersebut tentu saja menambah wawasan saya tentang sejarah islam, walaupun tak banyak. Hal yang paling membuat nyaman adalah mudahnya menemukan masjid, sama seperti di Indonesia, sehingga saya tidak mengalami kesulitan jika mau melakukan sholat, selain ikatan agama yang membuat saya merasa di tengah saudara. Terlepas dari syiah maupun sunni ketiga negara tersebut memiliki satu persamaan--sama-sama pernah mengalami gejolak antara pihak konservatif dengan pihak moderat; revolusi islam Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeni pada tahun 1979, kepemimpinan presiden Erdogan yang merupakan pahlawan dari kalangan konservatif, dan kudeta presiden terpilih Mesir Mohamed Morsi yang berasal dari partai konservatif. Kritik pada agama yang dianggap menjadi sumber konflik pada dasarnya adalah kritik terhadap peradaban atau manusia itu sendiri. Tanpa agamapun, dengan komunisme atau ultranasionalisme misalnya, perang dapat diletuskan. Ketika kembali ke Jakarta dan saya masih mendapati kasus Ahok yang belum mereda, saya menemukan kesamaan karakteristik perseteruan tersebut walaupun dalam skala yang berbeda pastinya; gejolak antara pihak konservatif dan moderat.

Tentu saja mengunjungi tiga negara islam tidak serta merta membuat saya memahami sejarah islam yang panjang dan rumit sementara saya sendiri masih harus menunggu belasan tahun untuk melakukan ibadah haji dikarenakan antrean, mengunjungi Arab Saudi yang menjadi rujukan dari pelaksanaan islam konservatif. Tentu saja tulisan ini hanya merupakan pendapat pribadi dan tidak bermaksud menyinggung siapapun. Penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok yang diamini oleh Majelis Ulama Indonesia memiliki dimensi yang lebih luas karena kebetulan Ahok seorang non muslim dan beretnis cina. Dibantu oleh media sosial konflik ini menjangkau lebih banyak orang, lebih jauh. Dapat dikatakan secara umum konflik ini membagi bangsa menjadi dua kubu, sama seperti di Amerika paska pemilu yang dimenangkan oleh Donald Trump. Pertanyaan besarnya adalah apakah islam memperbolehkan pemimpin pemerintahan dari kalangan non muslim dan pertanyaan tersebut mengarahkan saya pada gejolak antara pihak islam konservatif dan moderat. Islam konservatif memiliki cara penafsiran ayat-ayat Al Quran yang berhati-hati dan cenderung secara harfiah sementara yang moderat agak fleksibel dengan mempertimbangkan konteks dan jaman.

Sisi baik dari konflik ini adalah saya pribadi jadi ingin lebih mendalami Al Quran dan isu pluralisme paling tidak mulai dibicarakan secara luas. Saya sendiri memahami dan menghormati niat suci dari kaum konservatif yang berusaha menjaga kemurnian agama dengan meminimalisasi pemikiran pribadi, dan dengan alasan tersebut juga saya menjaga jarak dengan konservatisme karena tidak memberikan ruang untuk kritik dan spiritualitas pribadi dikarenakan kebenaran yang bersifat mutlak walaupun pada akhirnya masing-masing pribadi yang akan mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan. Terlepas dari pendapat pribadi saya tersebut yang cenderung moderat atau bahkan liberal, dalam sistem demokrasi pada akhirnya mayoritas yang akan menang dan islam konservatif yang mulai mendapat banyak dukungan akan memberikan warna baru dalam politik Indonesia ke depan yang selama ini didominasi oleh kaum nasionalis. Saya tidak akan heran jika Ahok atau Ahok-Ahok berikutnya tidak akan pernah memenangkan pemilihan umum selama isu agama dikemukakan, bahkan Amerika sendiri sebagai guru demokrasi dunia di akhir tahun 2016 menafikan kemungkinan memiliki presiden perempuan pertamanya dan malahan merayakan kampanye kebencian terhadap kaum minoritas. Niscayakah sebuah rekonsilisasi antara kaum moderat dan konservatif? Ide semacam itu lebih terdengar surgawi sementara kaum konservatif hanya percaya bahwa rekonsiliasi hanya bisa terjadi dalam surga mereka sendiri.

Pada dasarnya isu ini bukan masalah besar bagi saya pribadi, dikarenakan ada dua masalah besar yang sedang saya hadapi saat ini yaitu: penulisan skripsi dan menjawab pertanyaan “kapan nikah?”