Minggu, 24 April 2011

Sebuah Rumah Kayu Bercat Putih di Pinggir Pantai

Berdirilah sebuah rumah kayu bercat putih di pinggiran suatu pantai dengan ombak yang bergulung putih. Pasirnya juga putih. Langitnya. 

Rumah itu terlukis dalam selembar foto hitam-putih yang dibingkai mimpi yang diletakkan dalam suatu sudut samar dalam benakku. Dimana kita berdua menatap mata satu sama lain, menggenggam tangan satu sama lain, dan tersenyum sambil berjalan perlahan, telanjang kaki, menuju rumah itu. Agar lebih terlihat serasi, ijinkan kami berdua memakai pakaian yang juga berwarna putih. Gemetar membuka kunci pintunya, dan dengan bimbang mencoba melangkah masuk. Rumah itu masih kosong. Rumah masa depan tempat kami berdua melewati detik demi detik hidup kami dan bertambah tua. Mungkin dengan beberapa anak nanti, kenapa tidak?

Kamu berkeliling kesana-kemari seperti anak gadis yang menari. Membuka daun jendela kemudian menatap ombak yang dengan sedih bergulung itu. Kamu berteriak memanggilku, seperti anak kecil, membuatku tertawa, menunjukkanku warna jingga langit sore yang memesona. Merasa beruntung, seolah-olah Tuhan dengan sengaja memulas warna itu khusus untuk hadiah cinta kita. Setelah cahaya itu meredup aku mengingatkan kita belum sholat Maghrib, dan setengah bercanda dengan bernafsu aku menyarankan agar diteruskan dengan sholat sunnah dua rekaat sebelum bercinta seperti yang kulihat dalam film Ayat-Ayat Cinta. Kamu tersenyum mencoba-coba menggores hatiku dengan senyummu itu. Dan berhasil. Aku hanya bersyukur. Menjadi imam dalam sholat lima rekaat itu membuatku merasa menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Suara debur ombak dan burung-burung mengusik sholatku. Terbersit walaupun sekejab bayangan percintaan denganmu, namun berusaha kuenyahkan cepat-cepat, memusatkan pikiranku mencoba menghidupkan sosok Tuhan seolah-olah  nyata di hadapan kami berdua, bersyukur secara mendalam atas cinta yang dianugerahkan kepada kami berdua. Setelah sholat kamu mencium tanganku dan kita berdoa untuk kehidupan pernikahan yang bahagia.

Aku memutar sepotong lagu dangdut paling romantis dari hp-ku, berulang-ulang. Menarik tanganmu dan mengajakmu berjoget dengan gaya paling norak, setelah itu kita bercinta di salah satu sudut dalam rumah itu yang berdebu. Dengan gairah dan rasa takut. Rasa takut akan tsunami yang secara tiba-tiba menerjang dan memisahkan kita bedua seperti dalam film Titanic. Kita lalu mati dalam cinta........

Bercinta seolah-olah cinta hanya permainan saling memiliki satu sama lain, bukannya permainan kehilangan. Sambil bercakap-cakap tentang perabotan apa yang akan kita beli. Mau diletakkan di mana. Antusiasmemu membuatku semakin bernafsu.

Terbangun di dini hari yang dingin, aku mandi wajib, kemudian membangunkanmu. Sempat tergoda untuk menyuruhmu membuatkanku secangkir kopi dengan air dalam termos yang kita bawa sebelumnya, mencoba menghayati peran suami yang berkuasa, namun kuurungkan niatku karena kali ini aku ingin membuatnya sendiri, juga membuatkan secangkir untukmu. Dengan sedikit gula, lebih banyak cinta. Kemudian sholat isya' berjamaah. Ketika sholat, hawa dingin membuatku berfikir sampai kapan kita akan melalui ini semua berdua, bagaimana nanti di saat imanku melemah, atau di saat cintaku padamu memudar? Aku berusaha lagi untuk mengeyahkan pemikiran itu cepat-cepat. Kemudian sebuah pemikiran lain melesat: di hari pembalasan nanti di akhirat kita pun harus menempuh jalan masing-masing, menanggung dosa-dosa sendiri, menikmati kebajikan kita sendiri....

Di saat fajar menjelang kami berdua keluar rumah menuju pantai untuk duduk berdampingan menunggu cahaya pertama merekah. Udaranya dingin jadi kami merapat. Kamu sandarkan kepalamu di bahuku sehingga aku bisa mencium aroma shampomu ditambah angin meniup rambutmu yang panjang. Suara debur ombak yang seperti menangis dan pada akhirnya cahaya merah yang tergelar dihadapan kami malahan membuatku ingin menangis memikirkan apakah kebahagiaan itu abadi. Apakah cinta itu abadi, seperti halnya iman. Aku merasa tak berdaya, tak sabar menunggu waktu subuh masuk, sehingga kami bisa masuk ke rumah lagi, sholat bersama lagi, kemudian melanjutkan lagi rutinitas hidup kita seolah-olah itu kenyataan paling nyata dalam hidup kita berdua..............

4 komentar:

  1. terlalu berkhalal ttg hidup berpasangan,

    sehingga begitu takut untuk menjalani di kehidupan nyata

    BalasHapus
  2. anggap aza ini cuman cerita dengan sudut pandang orang pertama, he...he...(ngeles, doain aza khak ane kawin sezepatnya. Amin)

    BalasHapus
  3. Adegan bercintanya kurang vivid nih kakaaak :D
    we want moreeeeeeeee....

    BalasHapus
  4. jiaaah khak, amvun ane bersimpuh soal adegan bercintaan, vasti kalah telak ama situ (loh)
    Avalagi cow doi akronimnya tu BF loh...(ghejhe)

    BalasHapus