Setelah membaca ulang suratku yang pertama aku merasa kepuitisanku terlalu berlebihan sehingga kehilangan makna. Aku mungkin tidak cukup jatuh cinta. Aku terlalu menyedihkan untuk jatuh cinta. Kali ini aku hanya ingin berhenti berpura-pura, dengan surat ini, kurasa aku hanya terobsesi menjadi puitis. Aku merasa terintimidasi dengan novel-novel yang kubaca atau lagu-lagu yang aku dengar. Bertanya-tanya bagaimana mereka bisa begitu sangat puitis sehingga membuatku hampir menangis. Membuat hal-hal sederhana di sekitar jadi begitu berarti, seperti menambah massa suatu benda, sedangkan di sini aku begitu kurus dan terlalu klise dengan gaya bahasa.
Aku harus meminta maaf kepadamu untuk ketidakpuitisanku. Aku teringat pelajaran bahasa indonesia yang membosankan di SMA, seharusnya aku lebih memusatkan perhatianku ketika pelajaran itu. Mungkin sekarang aku akan sudah menulis seribu puisi untukmu. Di bawah sejuta bintang-bintang di malam kelam. Dalam hembusan angin musim kemarau di bawah segumpal awan. Dalam sorotan matahari sore yang dipenuhi peri-peri. Dan kamu berpendar di mataku seperti mimpi. Kamu di depan pintu kontrakanku malam ini, seperti kunang-kunang kamu menerangi gelapku. Mengajakku menari di sepanjang jalan Adi Sucipto dan tanpa suatu alasan menciumku di suatu sudut kota yang dingin ini. Aku gemetaran, lebih karena nafsu ketimbang karena dingin malam.
Aku lembur malam ini yang mengingatkanku pada mengerjakan PR di masa SD namun tanpa antusiasme. Seperti malam-malam sebelumnya aku ping-pong di kantor dan kalah. Sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang dan aku akan mengisinya dengan menulis sebuah surat untukmu. Mencoba terlalu keras untuk menjadi puitis di hadapanmu. Apa ini tidak menyedihkan? Namun baca dengan cermat suratku ini, apakah kamu bisa merasakan detak jantungku yang bernafsu? Mendengar gaung suara hatiku yang sedang menyanyikan lagu favoritku untukmu? Melihat ketulusanku yang bodoh dari kalimat-kalimat bodoh yang kutulis? Bertanya-tanya apa aku pernah terlintas dalam pikiranmu?
Kamu boleh sebut aku puitis obsesif kompulsif atau apalah itu. Pada kenyataannya aku menjadi seperti ini karenamu, membaca banyak novel cinta atau mengulang-ulang mendengar lagu-lagu cinta di malam-malamku. Ketika menulis surat pada bagian penutup ini hampir tengah malam dan aku bisa mendengar suara air dari keran di bak cuci, suara samar televisi di ruang tengah, bahkan percakapan telepon salah seorang teman dengan pacar. Aku tidak kesepian malam ini karena sedang menulis sebuah surat cinta. Aku membayangkan pada saat ini di suatu hari nanti aku akan sedang bercinta denganmu. Aku tahu untuk tidak berharap terlalu banyak namun lewat kalimat terakhir suratku ini aku hanya berharap aku pernah terlintas dalam pikiranmu, walaupun untuk sepersekian detik dan aku berdoa kepada Tuhan agar dalam sepersekian detik itu Dia meyakinkanmu tentang aku.