Minggu, 17 Juni 2012

Musim Mangga

Musim kemarau datang dan suhu di Ruteng menjadi lebih dingin. Aku bangun tidur dengan hidung mampet dan menghindari mandi pagi. Terkadang hidung bisa mampet seharian dan agak merusak hari. Aku ingin mengeluh namun hal semacam itu tak ada gunanya. Diam-diam aku menyukai hawa dingin tersebut karena mengingatkanku pada rasa sendu atau cinta yang tak kunjung ketemu. Pada siang harinya mataharinya begitu benderang namun hawa dingin masih saja menyergap hatiku dan membuat hatiku kedinginan dan merindukan sebuah sentuhan. Aku berfikir apa di usiaku sekarang aku masih berhak merasa galau dan menuliskannya dengan bahasa yang dilebih-lebihkan. Namun betapa dinginnya Ruteng hari-hari belakang ini bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan lagi.

Aku habiskan banyak waktu dalam hidupku dengan bercanda akhir-akhir ini dan aku takut mulai kehilangan rasa sepi atau sendu dalam tulisanku. Aku membuat semua hal jadi lelucon dan menertawakannya sendiri seperti orang gila. Pekerjaan. Cita-cita. Cinta. Aku tahu ada sejenis melankolisme dalam lelucon-lelucon itu yang masih membuatku merasa menjadi diri sendiri. 

Masih tenggelam dalam rutinitas, menjadi robot sepertinya satu-satunya keahlianku. Rutinitas membuatku berfikir bahwa masih ada hal-hal yang harus kulakukan dalam hidup walaupun ada satu rutinitas yang mulai perlahan-lahan kutinggalkan: mandi--aku menyalahkan suhu udara. Satu rutinitas lain yang mulai kutambahkan dalam daftar rutinitasku setiap hari Minggu adalah ikut sebuah pengajian kecil sebelum Dhuhur tentang bagaimana menjalani kehidupan islami itu. Aku tumbuh besar dalam didikan keluarga yang konservatif mengenai agama dan kajian semacam itu mengingatkanku pada kampung halaman atau bagaimana aku tidak sereligius dulu. Namun mendengarkan kajian semacam itu di usia-ku sekarang dimana aku berusaha lebih terbuka kepada hidup, samar-samar aku merasakan keniscayaan hidup islami: menolak minum, menikah tanpa pacaran dulu, berjenggot, atau membentengi diri dari budaya luar yang menyimpang. Apakah aku menua atau ini hanya caraku menjadi terbuka. Rasa-rasanya aku bisa hidup semembosankan itu dan mati bahagia, atau aku hanyalah manusia random yang hampa yang untuk mengisi hidupnya selain rutinitas adalah dengan iman.

Masih ada absurditas dalam pikiran dangkalku: suhu yang bertambah dingin, lelucon yang masih membuatku merasa sendu, rutinitas datar, dan iman yang bangkit. Bagaimana hal-hal yang terpisah itu saling berhubungan dan membentuk logika dalam pemahamanku aku sendiri bertanya-tanya. Satu hal yang pasti aku merindukan rutinitas menelusuri pasar tradisional di Ruteng ini untuk sekedar membeli bahan makanan untuk dimasak--sudah ribuan tahun aku tidak memasak--atau sekedar membeli mangga. Aku jadi bertanya-tanya apakah di sini sedang musim mangga sekarang.