Lama sekali tidak menulis,
rasanya kikuk, semakin tua realitas jadi kurang menarik, atau ini hanyalah
pesimisme yang dikandung usia, kegetiran atau amarah. Penulisan posting ini
dilatarbelakangi oleh upaya meyalakan api semangat untuk menulis dalam masa-masa
penggarapan skripsi dan nostalgia pada cita-cita menjadi penulis yang mana
membuat saya tersenyum sendiri menyadari begitu cepatnya waktu berlalu, begitu
cepatnya diri seseorang berubah, begitu drastis. Sementara di Jakarta hujan
mulai rajin berkunjung, Februari kemarin saya mengunjungi Teheran dan terkejut
pada hawa dinginnya yang menusuk, banyaknya polisi yang berjaga di seputaran
kota, dan penutupan beberapa jalan utama. Saya mencari stasiun metro karena
biasanya metro merupakan moda transportasi yang paling ramah turis, sementara
semua tanda dan tulisan dalam bahasa Persia. Saya menuju stasiun Teater Kota
dan mendapati rangkaian manusia keluar dari pintunya, menghambur ke sepanjang
jalan di depannya, dan bergabung dengan barisan demonstran anti Israel-Amerika.
Sepertinya Jumat itu hari spesial warga Iran dimana hampir semua kota melakukan
demonstrasi yang sama. Saya sendiri kurang mengikuti politik negara itu namun
saya tahu tentang isu nuklir dan adanya sanksi Amerika, sedangkan Israel tentu
saja menjadi musuh besar umat islam terkait isu Palestina. Islam syiah
merupakan mayoritas keyakinan warga Iran namun merupakan minoritas dalam
lingkup umat muslim dunia, dan setahu saya di Indonesia banyak mendapat
pertentangan dari kalangan konservatif Sunni. Tentu saja saya tidak ikut
berjamaah dalam sholat mereka karena ada perbedaan yang cukup signifikan namun
saya tetap melakukan sholat di dalam masjid-masjid mereka yang indah dan mereka
menerima saya dengan tangan terbuka. Terlepas dari kehidupan syiah mereka yang
unik, Iran memiliki situs-situs kuno yang secara mengejutkan menarik seperti
Imam Square di Isfahan atau Persepolis di Shiraz.
Negara terakhir yang saya
kunjungi adalah Mesir. Kudeta pada 2013 masih menunjukkan luka pada
masyarakatnya dengan keadaan ekonomi yang belum membaik. Di Kairo beberapa
pihak mencoba memanfaatkan turis dengan penipuan, penggelembungan harga yang
keterlaluan, atau permintaan tip untuk jasa yang tidak dibutuhkan. Keadaan
tersebut menjadi bagian dari “pengalaman Mesir” yang sudah sering diperingatkan
dalam situs-situs perjalanan, walaupun di kota-kota lain yang lebih kecil hal
semacam itu relatif lebih jarang terjadi. Kairo sendiri dikenal sebagai salah
satu pusat pendidikan sastra arab dan pengkajian islam sunni dengan universitas
Al-Azhar-nya yang merupakan salah satu universitas tertua di dunia. Banyak
pelajar Indonesia yang berkuliah di universitas tersebut dan beberapa alumninya
menjadi baik ulama atau tokoh politik islam di Indonesia.
|
Cairo |
Mengunjungi negara-negara islam
tersebut tentu saja menambah wawasan saya tentang sejarah islam, walaupun tak
banyak. Hal yang paling membuat nyaman adalah mudahnya menemukan masjid, sama
seperti di Indonesia, sehingga saya tidak mengalami kesulitan jika mau melakukan
sholat, selain ikatan agama yang membuat saya merasa di tengah saudara. Terlepas dari syiah
maupun sunni ketiga negara tersebut memiliki satu persamaan--sama-sama pernah mengalami gejolak antara pihak konservatif dengan pihak moderat; revolusi islam
Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeni pada tahun 1979, kepemimpinan
presiden Erdogan yang merupakan pahlawan dari kalangan konservatif, dan kudeta
presiden terpilih Mesir Mohamed Morsi yang berasal dari partai konservatif.
Kritik pada agama yang dianggap menjadi sumber konflik pada dasarnya adalah kritik
terhadap peradaban atau manusia itu sendiri. Tanpa agamapun, dengan komunisme
atau ultranasionalisme misalnya, perang dapat diletuskan. Ketika kembali ke
Jakarta dan saya masih mendapati kasus Ahok yang belum mereda, saya menemukan
kesamaan karakteristik perseteruan tersebut walaupun dalam skala yang berbeda
pastinya; gejolak antara pihak konservatif dan moderat.
Tentu saja mengunjungi tiga
negara islam tidak serta merta membuat saya memahami sejarah islam yang panjang
dan rumit sementara saya sendiri masih harus menunggu belasan tahun untuk
melakukan ibadah haji dikarenakan antrean, mengunjungi Arab Saudi yang menjadi
rujukan dari pelaksanaan islam konservatif. Tentu saja tulisan ini hanya
merupakan pendapat pribadi dan tidak bermaksud menyinggung siapapun. Penistaan agama
yang diduga dilakukan Ahok yang diamini oleh Majelis Ulama Indonesia memiliki
dimensi yang lebih luas karena kebetulan Ahok seorang non muslim dan beretnis
cina. Dibantu oleh media sosial konflik ini menjangkau lebih banyak orang, lebih
jauh. Dapat dikatakan secara umum konflik ini membagi bangsa menjadi dua kubu, sama
seperti di Amerika paska pemilu yang dimenangkan oleh Donald Trump. Pertanyaan besarnya adalah apakah islam memperbolehkan
pemimpin pemerintahan dari kalangan non muslim dan pertanyaan tersebut
mengarahkan saya pada gejolak antara pihak islam konservatif dan moderat. Islam
konservatif memiliki cara penafsiran ayat-ayat Al Quran yang berhati-hati dan
cenderung secara harfiah sementara yang moderat agak fleksibel dengan
mempertimbangkan konteks dan jaman.
Sisi baik dari konflik ini adalah
saya pribadi jadi ingin lebih mendalami Al Quran dan isu pluralisme paling
tidak mulai dibicarakan secara luas. Saya sendiri memahami dan menghormati niat suci dari kaum konservatif
yang berusaha menjaga kemurnian agama dengan meminimalisasi pemikiran pribadi,
dan dengan alasan tersebut juga saya menjaga jarak dengan konservatisme karena tidak
memberikan ruang untuk kritik dan spiritualitas pribadi dikarenakan kebenaran
yang bersifat mutlak walaupun pada akhirnya masing-masing pribadi yang akan
mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan. Terlepas dari pendapat pribadi
saya tersebut yang cenderung moderat atau bahkan liberal, dalam sistem
demokrasi pada akhirnya mayoritas yang akan menang dan islam konservatif yang
mulai mendapat banyak dukungan akan memberikan warna baru dalam politik
Indonesia ke depan yang selama ini didominasi oleh kaum nasionalis. Saya tidak
akan heran jika Ahok atau Ahok-Ahok berikutnya tidak akan pernah memenangkan
pemilihan umum selama isu agama dikemukakan, bahkan Amerika sendiri sebagai
guru demokrasi dunia di akhir tahun 2016 menafikan kemungkinan memiliki
presiden perempuan pertamanya dan malahan merayakan kampanye kebencian terhadap
kaum minoritas. Niscayakah sebuah rekonsilisasi antara kaum moderat dan
konservatif? Ide semacam itu lebih terdengar surgawi sementara kaum konservatif
hanya percaya bahwa rekonsiliasi hanya bisa terjadi dalam surga mereka sendiri.
Pada dasarnya isu ini bukan
masalah besar bagi saya pribadi, dikarenakan ada dua masalah besar yang sedang
saya hadapi saat ini yaitu: penulisan skripsi dan menjawab pertanyaan “kapan
nikah?”