Senin, 14 Maret 2011

Yang Sendu, Yang Hampa

Kehampaan. Aku mulai terobsesi kata itu semenjak duduk di bangku SMA. Sementara teman perempuanku menyukai jenis musik keras ala System of Down, aku malahan terpesona pada sosok gadis bermata cokelat yang menyusuri pantai seorang diri di kala fajar menyenandungkan lagu sendu. Menyukai frase dari lagunya, "I feel as empty as a drum" seolah-olah semacam kata-kata bijak. Kemudian di waktu senggang membaca buku-buku Hemingway, Camus, atau buku-buku filsafat tanpa tuhan. Aku melakukannya mungkin karena tidak terlalu berhasil dalam pelajaran maupun olahraga. Atau entahlah, manusia macam apa yang masih saja terobsesi hal-hal semacam itu di jaman dimana filsafat telah mati dan televisi dan internet dan uang telah membanjiri ruang-ruang dalam hati kita. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk kehampaan.

Apakah dengan memikirkan sesuatu secara mendalam membuatku merasa lebih bijak, seperti merasa beruntung terbangun di suatu hari dan menatap matahari? Seperti seorang remaja, aku tak pernah berhenti meyakinkan diri bahwa tidak terlalu banyak yang kusesali dari hidupku sejauh ini. Bahwa aku cukup percaya diri dengan definisi kebahagiaanku. Walaupun aku masih terusik dengan pendapat orang lain, kikuk, dan labil, kehampaan membuatku merasa lebih baik; masih ada saat-saat dimana aku mengambil jarak dari kehidupan, berhenti merasa untuk sejenak, untuk mencerna, dan kemudian dengan menyedihkan berpura-pura optimis seperti pemeluk agama paling fanatik yang memimpikan surga. Aku menulis dengan gaya seorang kafir dan aku sendiri ketakutan dengan kenyataan dalam persepsiku itu. Di setiap sholat dengan kerapuhanku aku selalu meyakinkan diri bahwa aku cukup beriman, bahwa aku masih diselimuti ketakutan ketika melakukan hal-hal menyimpang, kemudian sehabis sholat aku akan selalu memohon ampun.

Aku masih sedang menulis dengan nada kesenduan, sesuatu yang muncul belakangan setelah kehampaan itu. Seperti melayang di luar angkasa yang luas dan gelap, melihat bintang-bintang malahan jadi sedih dan kesepian. Kupikir Pamuk yang membuatku melankolis seperti ini, memandang kehidupan dengan kaca mata kesenduan untuk melihat sisi keindahannya, seperti selembar foto hitam putih yang usang. Ketika aku sarapan seorang diri di rumah makan padang di perempatan dekat kantor, menelpon keluarga karena takut kesepian, sambil memandang pegunungan yang anggun dan dingin perlahan kehampangan menyelimutiku seperti awan mendung membuat pikiranku melayang menuju pulau-pulau jauh yang terpencil; bagaimana nanti jika aku pacaran, apa aku akan menatap kekasihku dengan kehampaan, membicarakan suatu topik dengan perasaan enggan, menikah dan bercinta dengan rasa bersalah, beranak dan kemudian menasehati anak-anakku dengan keraguan? Aku jadi ngeri sendiri. Kemudian pikiranku akan beralih pada pertanyaan kebahagiaan, bahwa aku hanya terobsesi pada kebahagiaan orang lain kemudian aku berfilsafat hanya untuk meredam rasa iri.

Menyedihkan.

Kemudian aku akan bersembunyi dalam kehampaan.

Namun sehabis sholat aku akan selalu berdoa semoga Tuhan mengampuni aku yang sendu, yang hampa. Bahwa semoga dalam hati kecilku masih terdapat secercah cahaya. Amin.




9 komentar:

  1. sabar
    segalanya jadi bernilai sesuai dengan apa yang kita pikirkan

    BalasHapus
  2. terlalu cemas dengan masa depan sur gak baik. nikmati aja yang ada.
    we can build new tomorrow today (speak in tangues-placebo)

    BalasHapus
  3. kak anonim: iya kak, doain aza
    cyclodita: siaaaaaaaaap, bu

    BalasHapus
  4. "qt ga akan tahu apa yang akan terjadi di esok hari kalau qt menyerah di hari ini"

    intinya sih dibawa santai aja boy
    ;)

    BalasHapus
  5. kak ana: iyaaaaaaaaa kak, aku kan cuba....

    BalasHapus
  6. @aryo: iya khak, makasih supprotnya

    BalasHapus
  7. semoga antum senantiasa melucu...
    selalu menghibur orang lain...

    BalasHapus
  8. @dikjoko: amin...ane selalu terinspirasi lelucon anda yg cerdas.
    Semoga Allah senantiasa memberikan ane hati yg lapang n pikiran yg jernih biar bisa melucu terus. Amin

    BalasHapus