Sabtu, 03 Maret 2012

Aku Versi Jompo

Lagi-lagi aku membicarakan diri sendiri. Mengambil langkah aman. Tak ada yang keberatan dengan topik ini, kecuali diriku sendiri. Dalam beberapa respon yang aku terima ada yang menyayangkan sudut pandangku dalam memandang hidup maupun diri sendiri. Suram. Mengasihi diri. Kadang-kadang aku ingin membela diri namun di suatu titik dalam hidupku dengan pengalaman yang aku alami dan pengetahuan yang aku serap aku merasa wajar saja. Walaupun dengan keterbukaan seperti dalam tulisan-tulisanku ini kelelakianku perlu dipertanyakan, ada pertanyaan yang lebih besar yang mengusikku; bagaimana sebenarnya gaya kepenulisanku? Hemingway sangat maskulin, menggambarkan perang, pesta, atau perburuan dengan kalimat yang lugas. Ketika aku menulis kalimat puitis aku merasa hanya pamer bahwa aku juga bisa romantis. Orhan Pamuk yang kupuja karena kesenduannya tidak secengeng aku menulis hidupku. Terkadang membaca karya pengarang-pengarang besar hanya melumpuhkan keberaniamu untuk menulis karena kamu tidak akan pernah cukup bagus. Aku tidak akan pernah bisa menulis novel seperti mereka, seindah mereka, secerdas mereka. Aku dengan kaca mata culunku hanya akan berakhir sebagai salah satu pengagum mereka yang membaca ulang frasa-frasa dalam novel mereka hanya untuk merasakan kepuasan. Dan itu cukup.

Aku hanya sedang bosan. Menonton banyak acara TV kabel, menonton film-film yang diunduh secara ilegal, maen PES, ataupun berolahraga aku merasa membiarkan diriku sendiri tidak berkembang. Larut dalam pekerjaan kantor yang tidak akan pernah habis. Apakah aku hanya sedang menyia-nyiakan hidup? Aku memang tidak tahu banyak tentang hidup. Aku merasa tidak memiliki prioritas. Aku seperti menaiki tangga tanpa ujung. Suatu hari aku ingin menjadi orang yang sangat kaya, suatu hari aku hanya ingin memiliki sebuah keluarga dan hidup bahagia, suatu hari aku hanya ingin menjadi seorang penulis. Dan hari-hari terus bergulir dan ribuan mimpiku hanyalah seperti bintang-bintang di langit; indah namun jauh. Aku tahu aku tidak sendirian dalam masalah ini. Hanya beberapa dari kita yang berhasil. Aku merindukan buku-buku filsafat yang kubaca semasa kuliah yang selalu mendorongku untuk berani menjalani hidup dengan jalan pikiran tertentu. Namun aku menua, dan dengan kecemasan dan kegelapan realitas aku hanya menjadi seonggok daging itu yang berjalan di muka bumi ini dan makan dan minum dan tidur dan takut mati. Beribadah hanya karena takut neraka. Aku tahu ada sisi suram dalam tulisanku ini. Kita ambil saja kesimpulan bahwa gaya kepenulisanku bergaya gothic dengan begitu pertanyaan besarku terjawab, jangan terlalu dianggap serius. Aku bahkan ragu apakah ada artinya tulisanku ini, kalaupun ada harus seteguh apa membelanya. Aku menua dan aku tak ingin lagi banyak bertanya atau membela diri. Aku hanya berusaha bertahan hidup sampai aku mati.

4 komentar:

  1. Mungkin bukan prioritas yang tidak kamu punyai, tapi mungkin mimpi... mimpi untuk menjadi sesuatu... sangat jauh berbeda dengan orang yang kukenal sewindhu lalu, semangat Sur. Kamu lebih dari yang kau bayangkan kok

    BalasHapus
  2. Kakak Zurzach... yang sabar ya... kalau kakak sedih, ane juga ikutan tak gembira.. everything's gonna be okay...
    *tepuk pundak

    BalasHapus
  3. malas itu adalah awal dari kenikmatan dan penyesalan "quoting post from vixion"

    BalasHapus
  4. @dita: thanx berat supprotnya bu

    BalasHapus