Senin, 18 Maret 2013

Lagu Sendu untuk Kegagalan dan Cinta

Tahun ini aku gagal ujian melanjutkan pendidikan untuk yang kedua kali. Untuk menghibur diri aku mengambil cuti untuk mudik dan menonton konser salah satu penyanyi favorit yang kebetulan berlangsung pada waktu yang berdekatan. Dia akan menyanyi untuk menghiburku. Pada waktu itu aku terserang flu berat dan batuk karena tiga malam berturut-turut aku main tenis meja di kantor walaupun teman-temanku beranalisa itu karena aku terlalu bersedih atas kegagalanku dan mereka menasehatiku agar aku bangkit.
Sebelum mudik ada acara kantor di Lombok dimana aku harus duduk seharian selama dua hari untuk mendengarkan suatu presentasi yang mengingatkanku pada kuliah-kuliah yang membosankan. Di hotel aku berenang malam-malam dalam rintik hujan ringan, tak terlalu memikirkan virus flu-ku akan menggenang di kolam itu dan akan menyerang seluruh penghuni hotel keesokan hari. Semoga kolam itu memiliki sirkulasi air yang bagus. Atasanku mengajakku karaoke dan aku menyanyikan lagu-lagu One Direction beranggapan atasanku itu dari segi umur tidak mengenal siapa lima pemuda cantik itu sehingga tidak ada alasan dia akan mengejek pilihan laguku.
Aku turun di Jogja dan mencoba untuk pertama kali kereta listrik ke Solo. Sudah lama juga aku tidak naik kereta. Setibanya di rumah, ayah dan ibu sudah menyiapkan buah-buahan karena di Ruteng hanya ada pisang. Pisang dimana-mana. Pada malam minggunya aku ke Jogja untuk nonton dengan cewek yang aku sedang dekat. Karena sholat Maghrib dulu kami telat ke bioskopnya dan entah mengapa embak penjual tiket menolak menjual tiketnya karena kami sudah telat setengah jam lebih. Akhirnya kami hanya duduk-duduk dan ngobrol di ruang tunggu bioskop untuk menghabiskan waktu.
Pada malam harinya aku tidur di rumah bibi di Klaten dan secara mengejutkan dia bilang kepadaku kalau ibu mencemaskan hubunganku itu dan bertanya-tanya mengapa aku pacaran. Aku tahu selama ini ibu dan keluarga besarnya cukup religius namun aku tak menyangka mereka sekonservatif itu. Mungkin mereka menganggapku cukup religius untuk tidak akan pacaran. Entahlah, yang pasti ketika itu ada rasa geli bercampur marah dalam dadaku. Aku tahu aku tak perlu menanggapi hal itu terlalu berlebihan karena ibu hanya menunjukkan perhatiannya yang manis dan aku yakin pada akhirnya kami akan saling mengerti.
Aku menutup liburanku dengan ke Singapura pada akhirnya. Untuk pertama kalinya aku pergi ke luar negeri dan itupun seorang diri. Sebagai seorang pemula aku cemas akan urusan imigrasi dan lebih lagi membayangkan bagaimana di Singapura nanti namun aku mengingatkan diriku bahwa yang aku butuhkan sekarang adalah sedikit petualangan walaupun tentu saja setelah pulang dari negeri itu menjadi terlalu naif untuk berfikir tentang petualangan karena semuanya serba tertib dan mudah.
Gerimis menyambutku di Singapura dan aku harus berterima kasih kepada ibu karena memaksaku untuk membawa payung warna merah muda miliknya. Pada malam pertama aku ke Bugis dan menimbang-nimbang akan membeli oleh-oleh atau tidak. Aku memutuskan menyusuri Victoria Street menuju Kallang. Melihat kubah menjulang aku begegas ke arah Masjid Sultan untuk sholat Magrib dan Isya namun masjidnya tutup kemudian aku makan nasi biryani dan teh tarik di rumah makan arab di depannya. Keesokan harinya aku mengelilingi Singapore River, melihat pantung merlion dari jauh, mengagumi gedung Explanade yang beratap durian, dan berpose mengangkat bagian atas Marina Bay Sands karena disuruh oleh turis yang kumintai tolong untuk mengambil foto. Aku menyesal memasuki museum hanya karena penasaran dengan arsitektur atapnya yang berbentuk unik seperti tangan yang menengadah. Dari halte bus di sekitar situ aku menaiki tur bis kota dimana dengan headset yang dicolokkan di sisi bus yang beratap terbuka itu aku bisa memilih panduan tur dalam bahasa Indonesia. Pemandu itu menginformasikan bangunan apa saja yang ada di sebelah kanan atau kiri kita. Yang mengejutkanku dia juga menginformasikan kisaran harga fantastis apartemen-apartemen yang kami lewati seolah-olah ingin pamer. Sebagai penduduk kota kecil Ruteng dengan pegunungan dan hutannya aku tak bisa membayangkan bahwa hampir semua warga Singapura hidup dalam apartemen-apartemen tinggi semacam itu.


Pada malam harinya aku menyaksikan konser Norah Jones. Aku sempat tertidur karena kecapekan berjalan seharian dan terbius oleh suara Norah Jones yang lembut. Aku jatuh cinta kepadanya dari SMA dan dia jadi wanita idamanku ketika itu seperti One Direction bagi para gadis remaja jaman sekarang. Walaupun semakin beranjak tua mengidolakan seseorang menjadi terlihat konyol aku masih tersentuh ketika dia melantunkan lagu-lagu sendu dari album pertamanya.  Lagu-lagu romantis bernada sendu yang entah bagaimana mengingatkanku untuk bersedih atas kegagalan-kegagalanku dan atas cinta yang harus selalu diperjuangkan karena dengan begitu kita akan tahu bagaimana caranya bahagia.

4 komentar:

  1. boleh sedih masbro,,cuma jangan berlarut2..

    selalu percayailah bahwa Tuhan punya rencana yg jauh lebih baik dari manusia..

    belum bisa kuliah di JKT bukan berarti nasib buruk,,justru ini kesempatan yg baik untuk lebih sering berkunjung ke rumah camer di Ruteng..

    SELAMAT masbro,,statusnya kini ga "single" lagi..

    semoga hubungannya dengan makhluk cantik peranakan Jawa-Manggarai dapat terus berlanjut sampai akhir..

    dan mudah2an bisa jadi salah satu anggota IKJM: Ikatan Keluarga Jawa Manggarai..

    ^_^

    BalasHapus
  2. karena di Ruteng hanya ada pisang. Pisang dimana-mana, wa ka ka ka ka ka, gunung pisang

    BalasHapus