Selasa, 19 Maret 2013

Seuntai Puisi Tentang Ngarai: Cunca Wulang

Apakah bebatuan memiliki nama? Pepohonan membisu menyambut natal. Aku menghirup udara segarMu dalam rasa syukur. Aku berdoa untuk cinta. Hutan basah ini menggeliat dalam pijakanku. Yang kudengar hanyalah suara alam. Apakah ini yang Adam dan Hawa dengar dulu? Mereka terpisah di belahan bumi yang lain dan cinta mempertemukan mereka kembali. Hanya cinta. Dan oleh karenanya kita akan dipertemukan kembali.
Aku mendengar suara sungai dari kejauhan. Kami sudah dekat! Dentum jantungku tak sabaran. Aroma hutan yang segar memenuhi dadaku. Peri-peri cinta bersembunyi di balik dedaunan mengintipku. Aku petualang seperti Adam dan akan kuarungi bumi untuk menemukan seruas rusukku yang hilang. Apa sudah dekat? Aku bertanya-tanya. Sebentar lagi, ucapku. Sebentar lagi, yakinku. Aku akan menemukan tempatmu berada. Jangan beranjak dan tunggu.
Kami menuju suara sungai dalam sunyi. Hanya cericit burung dan suara belalang. Hembusan angin yang menyentuh ranting-ranting menggetarkan hatiku yang merindu. Dalam naungan alam yang telanjang ini aku berserah. Tuhan yang akan menuntunku padamu. Jangan beranjak dan tunggu.
Ketika ngarai terbentang di hadapan kami aku membisu. Jika Tuhan berkenan mengukir bebatuan tanpa nama ini semoga Tuhan juga berkenan mengukir namaku di hatimu. Kemudian aku akan terjun di dalamnya, sejatuh-jatuhnya, menyelami hatimu yang nyaman dan luas untuk menemukan cinta. 





 ***

Rasa penasaranku bangkit setelah melihat sebuah ngarai menakjubkan dalam lembar Merpati inflight magazine dalam suatu penerbangan ke Kupang. Aku mencari informasinya di internet dan menemukannya sebagai Cunca Wulang Canyon. Aku dan seorang teman mencapainya dengan motor untuk menghabiskan liburan Natal kami. Semoga kami bertemu Santa Klaus di sana dan mendapatkan hadiah. Kami bermalam di Labuan Bajo dan pagi-pagi menuju daerah Cunca Wulang itu. Tak ada papan penunjuk lokasi. Belokan sebelah kanan setelah sekitar empat puluh lima menit dari Bajo ke arah Ruteng. Ada warung kecil di belokan itu sehingga kami bisa bertanya. Perjalanan masih tiga puluh menitan lagi menuju letak desanya dengan jalan yang di beberapa titik rusak berat. Sesampainya di desa sudah ada pemandu yang biasa mengantar turis untuk menembus hutan selama satu jam agar sampai ke ngarai itu. Kami seharusnya menghindari musim hujan karena membuat hutan menjadi licin dan bila hujan benar-benar turun ngarai itu lebih akan menjadi bencana karena volume air sungainya naik. Di sana kami berenang dan menaiki tebing untuk sampai ke air terjun. Seharusnya kita bisa juga meloncat dari beberapa ketinggian ke sungai dengan kedalaman sepuluh meter lebih namun sayangnya aku hanya bisa menyesal karena tidak memiliki cukup keberanian. Seharusnya juga kita bisa berlanjut ke sebuah gua namun pada akhirnya kami hanya bisa menyesal karena hujan turun tak lama kemudian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar