Selasa, 16 Juli 2013

Requiem Untuk Boli Lasan Karolus

Lewat tulisan ini aku mengenangnya. Malam-malam dingin seorang diri dalam ruang kecil ditemani radio yang menyiarkan berita luar negeri. Beberapa kali aku mengunjungi kamarnya dan mendapati senyumnya, leluconnya yang super garing, sikap tubuh yang tegap dan bahasa tubuh yang khas dimana dia sering menyatukan kedua telapak tangannya ketika berbicara. Pada usianya yang hampir setengah abad, seperti kebanyakan orang pada usia itu dia menjadi seorang filsuf, mengembangkan cara hidup tertentu dan berpegang teguh pada hal itu. Kepalanya botak, rambut yang tersisa, brewok, dan kumisnya berwarna putih seolah-olah dia menelan pil yang mempercepat usia. Kami terhubung karena pekerjaan, dia atasanku, dan aku beberapa kali meminjam buku-buku rohaninya.

Dia bercerita bahwa masa lalunya kelam; minum dan makan sesukanya, dan itu membuatnya sakit. Dalam beberapa tahun terakhir dia menjalani hidup yang lebih positif dan sehat. Entah karena cinta sejati, alasan religius, atau kombinasi keduanya dia memutuskan tidak akan menikah lagi. Salah satu buku yang kupinjam darinya membahas filosofi hidup selibat dalam ajaran katholik. Aku sendiri larut dalam buku itu karena ingin tahu bagaimana seseorang bisa hidup tanpa menikah sementara sebagai seorang pemuda aku merasa berpikiran kotor terus-menerus. Hingga akhirnya dia dipindahtugaskan ke Maumere sejak saat itu aku tidak lagi mendengar kabarnya, kecuali ucapan selamat lewat pesan singkat darinya yang secara rutin dia kirimkan ketika aku merayakan hari besar islam.

Pada akhir Oktober 2012 aku berkesempatan ke Maumere untuk menghadiri undangan pernikahan seorang teman. Dia menawariku kamar untuk menginap. Aku menghabiskan tiga malam di rumahnya. Dia hidup dengan kakak perempuannya dan seorang keponakan dan dia tampak lebih sehat dan bahagia. Dia bercerita bahwa dia lebih sering mengunjungi kampung halamannya, Adonara, sebuah pulau kecil di sebelah timur Flores, karena jarak yang lebih dekat. Dia terus menerus meminta maaf atas begitu sederhananya makanan yang dia hidangkan seolah-olah aku seorang kritikus makanan. Hingga suatu pagi dia pergi ke pasar untuk membeli cumi-cumi untuk jamuan makan malam. Aku mengenang jamuan itu dengan keterkejutan bahwa cumi-cumi bisa jadi begitu alot dan menjijikkan tapi tentu saja aku melahapnya sampai habis.

Beberapa bulan yang lalu aku mendapati kabar bahwa dia meninggal. Untuk pertama kalinya aku berduka di tanah perantauan untuk seseorang yang baru kukenal. Lewat tulisan ini aku mengenangnya. Malam-malam dingin seorang diri dalam ruang kecil ditemani radio yang menyiarkan berita luar negeri. Beberapa kali aku mengunjungi kamarnya dan terheran-heran mendapati bagaimana seseorang bisa begitu garing dalam melucu dan bertekad untuk hidup selibat. Aku bersyukur sempat menghabiskan tiga malam di rumahnya dan menemaninya menelusuri bukit Nilo untuk mengagumi patung Bunda Maria Segala Bangsa yang megah sementara banyak peziarah berdoa di bawahnya, berdiri di pinggiran tebing di sekitarnya untuk melihat kota Maumere dari suatu ketinggian yang membuatku gentar, dan terpesona pada garis pantai utara Flores dengan buih-buih warna putih serta awan-awan yang melayang di langit sorenya yang indah. Kami juga mengunjungi salah satu resort di pantai Waiara dimana kami berenang dalam kolam renang berbentuk hati sambil memandang lautan. Aku akan menyimpan kenangan-kenangan itu dalam benakku bagaimana sepenggal hidupnya berbenturan dengan hidupku yang hampa dalam percikan takdir seolah-olah percikan kembang api tahun baru yang warna-warni. Ingin sekali aku mengunjungi tanah kelahirannya Adonara, jika ada waktu dan kesempatan, dan mengunjungi Lembata untuk melihat bagaimana penangkapan ikan paus seperti yang dulu pernah diceritakannya padaku dalam sepenggal hidupnya yang telah berlalu...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar