Senin, 27 Oktober 2014

Ziarah Cinta

Aku terkejut pada hawa dinginnya yang mengingatkanku pada rasa sepi, Ruteng kalah dingin. Di sepanjang koridor bandaranya terpampang kata-kata mutiara yang setelah membacanya membuat kesan kota ini penuh kebijaksanaan seperti reputasi Budha.  Aku memasuki sebuah bilik kecil dan dipersilahkan duduk oleh seorang perempuan muda yang manis. Aku tersenyum kikuk pada kamera dan berharap hasil fotonya bagus, bertanya-tanya dalam hati apa wajahku cukup menarik di mata perempuan itu. Aku bergegas menukarkan uangku ke dalam rupee dan ikut dalam barisan untuk memperoleh visa kedatangan. Memandangi langit di luar yang berwarna kelabu aku langsung merasa terhubung oleh kesan melankolisnya. Menghindar dari tawaran para sopir taksi aku tergesa menuju jalan utama seolah-olah aku mengenal kota ini cukup lama dan terpana mendapati kerumunan manusia yang mamadati jalananya yang berdebu. Apa mereka mau menggulingkan pemerintahan? Ketika itu sepertinya bukan waktu yang tepat untuk mencari kebijaksanaan.


Setelah memasuki kota aku terpesona pada warna-warninya seperti kota dalam sebuah dongeng. Kami terus menyusuri jalanan sempit, menyibak kerumunan manusia, dan masuk ke jalan yang lebih sempit lagi. Di sebuah persimpangan jalan sopir taksinya menyuruhku turun dan mengatakan di situlah jalan yang kucari. Dengan ragu aku keluar dari taksi, ditinggalkan seorang diri bersama keterasingan. Aku mondar-mandir cukup lama hingga berhasil menemukan penginapan yang sudah kupesan sebelumnya. Penginapan itu memiliki lima lantai seperti kebayakan penginapan di kota itu yang menjulang tinggi sehingga kita bisa melihat Kathmandu dari lantai paling atas namun bukan Himalaya, pegunungan itu terlalu jauh.

Dinding kamarnya begitu dingin. Lantainya. Kasurnya. Air krannya. Hatiku.

Tidak ada alasan untuk mandi. 

Kemudian listrik padam, memaksaku untuk berkeliaran di jalan-jalan sempit seputaran Thamel sebelum gelap.

Pertama, memasuki sebuah kedai dengan wifi gratis, memesan secangkir teh dan menu apa saja yang ada. Beberapa menit kemudian baru menyadari bahwa listrik mati, begitu pula wifinya. Pemilik kedainya berpakaian rapi dengan rompi, mengenakan topi pelukis, ramah, dan bahasa inggrisnya bagus. Dia mengucapkan selamat datang ke Nepal, menceritakan bahwa pemadaman listrik di kota itu merupakan hal rutin dan mengomentari wajahku seperti orang Nepal dari ras Mongol dan hal itu merupakan sebuah keuntungan, kemungkinan aku bisa lolos memasuki Durbar Square atau landmark-landmark lain secara gratis, yang harus kulakukan hanyalah diam. Dengan sebuah peta dia menunjukkan beberapa tempat yang wajib kukunjungi.

Kedua, membeli penutup kepala berbentuk tikus dan masker untuk melindungi dari debu.

Ketiga, menyewa scooter untuk mengelilingi kota esok hari.

Esoknya aku menjelajahi Kathmandu dan tersesat oleh jalan-jalan satu arahnya. Aku mengikuti kerumunan warga lokal memasuki Durbar Square dan tercengang mendapati waktu yang berhenti di kawasan yang berusia seribu tahun lebih itu. Di salah satu halamannya aku bersyukur bertemu tiga pelancong dari Indonesia yang mengajakku ke Pokhara, sebuah kawasan di Himalaya, namun aku berencana ke India. Mengunjungi Nepal tanpa melihat Himalaya mungkin sebuah kebodohan seperti mengelilingi dunia dan belum juga menemukanmu.  Aku  tahu. Setelah itu aku memasuki sebuah kerajaan di tengah kota yang kini menjadi museum untuk melihat titik-titik tempat raja dan keluarganya dibunuh. Cukup mengerikan namun kesan paling mendalam dari tempat itu hanyalah dua hal; antrian manusia dan bau badan. Aku keluar dari Kathmandu menyusuri jalanan antarkota yang besar dan berdebu. Semakin lama semakin mendaki, semakin dingin. Aku bertanya pada beberapa orang di jalanan dimana letak Bhaktapur karena aku merasa sudah melaju terlalu jauh. Aku harus berbalik arah kata mereka, namun sebuah patung Siwa raksasa yang berdiri di puncak sebuah bukit menarik perhatianku. Jadi aku terus menuju arah patung itu namun malahan terlihat semakin jauh. Seperti dirimu.








Aku merasa di sepenggal mimpi masa lalu, menyusuri lorong-lorong sempit Bhaktapur dan mencermati candi-candinya.  Sinar matahari meruapkan aroma apak dari tempat itu. Aku tersesat, tanpa mencintai dan dicintai. Bergentayangan bersama hantu-hantu tempat itu yang kesepian. Yang harus kulalukan hanyalah duduk diam memandangi orang-orang lalu lalang yang tak perduli pada perasaanku. Adakah kamu di antara kerumunan itu? Tersenyumlah, lambaikan tanganmu, atau paling tidak berikan sebuah pertanda, sekecil apapun itu, biar aku tidak terlalu berputus asa akan dirimu.






Hari terakhir di Kathmandu hujan turun sementara aku makan gumpalan tepung yang berisi sayuran yang terasa panas di mulut di sebuah kedai india, terlalu lapar untuk merasa jijik. Aku memikirkan kesendirian yang lambat laun akan membunuhku. Aku menyesal tidak bisa mengunjungi tempat-tempat yang sudah kurencanakan sebelumnya. Walaupun begitu, ketika menuju bandara melewati jalanan yang dua hari lalu dipadati oleh manusia yang ternyata karena sebuah festival hindu, aku memutuskan untuk mengunjungi Boudhanath. Dalam rintik hujan, seperti peziarah budha aku mengelilingi stupa raksasa itu. Dengan iman serapuh kertas yang basah aku merasa berdosa belum mengunjungi Mekah, namun tetap saja aku berdoa agar segera menemukanmu. Di tempat asing itu dalam basah hujan bulan Februari, sama sekali tidak merasa konyol mengelilingi stupa budha dengan tas punggung yang mulai menyakiti pundak, aku terus berdoa, terus saja, seolah-olah  aku orang paling religius sedunia, semoga dengan tiba-tiba kamu muncul dari kerumunan manusia, memancarkan cinta yang menyilaukan mataku, hingga membuat mataku pedih dan menangis, menangisi takdir yang sengaja mempermaihkan kita berdua, sebegitu lamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar