Senin, 09 Maret 2015

Monumen Cinta

Sebuah perjalanan kereta yang singkat, aku bisa merasakan antisipasi yang menggelitik dadaku. Hampir 3 jam. Setelah kereta berhenti tiba-tiba seorang wanita tiga-puluhan tahun yang berada satu kursi di depanku bertanya, "dari Indonesia ya?"

Aku terkesan pada inisiatifnya. Wajahku memang melayu dan aku suka musik melayu. "Iya."

"Tinggal dimana?"

"Flores," jawabku. Dia tinggal di Bali dan sedang berlibur dengan kekasihnya. Kami saling melempar senyum seperti bertemu kerabat jauh kemudian berpisah di gerbong itu juga.

Aku tersesat dalam perjalanan Delhi menuju Agra. Aku ingin tersesat dalam sebuah kereta menuju kota-kota asing di belahan bumi lain. Terantuk-antuk di kursinya dan bermimpi tentang cinta. Tersesat seperti aku masih tersesat dalam cinta. Tersesat seperti aku tersesat dalam labirin hidup maharumit dan mahaluas. 

Mengikuti saran sebuah situs perjalanan aku menuju pusat informasi turis di stasiun itu untuk memesan tiket tur. Aku berakhir di dalam sebuah bis yang terlalu besar untuk kami bertujuh; tiga turis lokal, dua turis Inggris, satu Dubai, dan aku. Pemandunya orang Agra asli dan seorang muslim, memandu baik dalam bahasa Inggris maupun Hindi. Dia berbicara sambil menggelengkan kepalanya seolah-olah tidak setuju dengan apa yang diutarakannya sendiri.

Pertama, kami mengunjungi Fatehpur Sikri, sebuah kota di luar Agra yang dibangun oleh raja Akbar di abad 15 dimana kami bisa melihat arsitektur kerajan Mughal yang masih terpelihara. Mengagumi gerbang-gerbangnya yang tinggi, halamannya yang luas, warna merah pada temboknya, masjid Jama, dan sebuah makam warna putih yang berdiri mencolok di halamannya. Aku sendiri tidak terlalu mendengarkan sejarah yang disampaikan sang pemandu, mungkin aku sempat mendengarkan namun dengan cepat juga melupakannya seperti melihat wajah ribuan wanita dan bukan kamu.






Kedua, kami mengunjungi benteng Agra. Melihat kemegahan bangunan itu mengingatkanku pada fantasi tentang negeri dongeng dengan putri cantik dan hidup bahagia untuk selama-lamanya. Apa itu sesuatu yang mungkin? Mendekapmu selama-lamanya, mencoba menjadi benteng bagimu untuk melindungimu dari dingin kehidupan?




Sebelum mengunjungi Taj Mahal kami makan siang dan aku kehabisan uang. Aku memilih menu yang kurasa cukup dengan jumlah uang yang tersisa di dompet dan tidak pernah berfikir menambahkan pajak ke dalam hitungan. Setelah menerima tagihan aku tahu aku dalam masalah besar, kemudian terus saja memeriksa setiap celah di dompet lebih teliti walaupun aku tahu itu sia-sia. Pada akhirnya aku meminjam pada salah seorang rekan perjalanan dari negara maju, dengan rasa malu tentunya. Mereka membicarakan skydiving atau kota-kota di Eropa dan Amerika yang belum pernah kukunjungi atau mungkin takkan pernah kukunjungi sementara aku memikirkan bagaimana akan melalui sisa hari itu tanpa sepeserpun uang. Pada hari itu semua ATM menolak kartuku seperti para perempuan keji menolak cintaku. Di akhir tur itu dimana dengan kumis tersimpul senyum pemandu kami mengatakan bahwa tur telah usai dan waktunya kami, para turis, memberikan uang tip, sedikit atau banyak, sesuai keikhlasan hati. Aku terdiam malu, seperti kalah dalam olimpiade atau kontes putri sejagad. Maafkan aku, Indonesia.




Tentu saja Taj Mahal menghibur hatiku yang pilu hari itu. Dingin lantai atau tembok marmernya atau warna putihnya yang berkilauan diterpa sinar matahari siang mengingatkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Aku menatap kubahnya yang besar, menara-menaranya yang menjulang tinggi, dan langit diatasnya yang terang benderang. Aku iri pada Shah Jahan yang membangun makam luar biasa yang berdiri di hadapanku ini untuk istri ketiganya, Mumtaz Mahal. Bukan karena kekayaan atau kekuasaannya, yang sama sekali tidak kumiliki hari itu, namun karena keberdukaannya yang mendalam, dibutuhkan cinta sebesar apa untuk mendirikan bangunan seindah dan semegah ini hanya untuk mengenang seseorang, sementara aku mudah melupakan. Aku hanya ingin mencintai dalam-dalam dan dicintai dalam-dalam. Siang itu aku hanya bisa berdiri termenung, dibakar matahari habis-habisan, menatap sebuah perahu yang dikayuh perlahan menyibak sungai Yamuna yang mengalir dengan tenang di sisi monumen yang dipersembahkan untuk cinta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar