Sabtu, 28 Agustus 2010

Dari Aroma Laut Sampai ke Bau Kentut






Dimulai di sini. Di hadapan langit luas ini. Langit yang sama yang kamu lihat hari itu. Dengan aroma air lautnya yang bebas. Debur ombak dan suara percakapan yang samar. Kemudian kehampaan.
Namun sebaiknya kita kembali ke dalam mobil, berjalan mundur melewati jalan sempit dimana monyet-monyet bergelantungan di pepohonan di kanan-kiri kita. Aku sendiri sudah menganggap binatang itu membosankan, seperti wajah pacar kita, kuno dan tak menarik. Maafkan aku, monyet, bukan maksudku menyinggung kalian. Aku hanya ingin kembali menyusuri jalanan yang tadi kita lewati, yang berliku. Menembus satu buah gunung dengan kabut putihnya. Dua buah lubang jalan yang tadi telah dihafal sebelumnya. Ayam-ayam hutan. Dan sebuah pohon dengan diameter yang membuat kita semua tercengang. Sampai di kota kita tercinta, Ruteng, dengan katedralnya yang eksotis. Menuju kontrakan. Lalu kamarku, untuk membuka selimut di atas kasurnya dimana separo hatiku telah kusimpan di dalamnya .Dengan kebaikannya. Rasa irinya. Ketidakpuasannya.
Aku melakukan hal itu karena kamu tidak tahu aku pergi bersama siapa hari itu.
***
Dapatkah kamu membayangkan bagaimana seorang cowok mellow seperti aku ini menghabiskan akhir minggunya duduk di jok paling belakang sebuah mobil hanya untuk menemani dua orang asing yang jauh lebih tua dan terhuyung-huyung karena sebuah perjalanan? Aku tidak ingin terdengar berlebihan. Aku bukannya tipe anak durhaka yang pernah kamu dengar dalam sebuah cerita itu. Aku hanya pemuda kikuk--jenis anak SMA payah yang tidak akan menjawab pertanyaan sebelum disuruh. Aku hanya merasa tak nyaman membangun percakapan dengan orang yang lebih tua. Aku tidak akan pernah mengerti lelucon mereka. Berpura-pura pun bukan keahlianku. Sejenis orang yang merasa akan muda selamanya sehingga berhak untuk bertingkah konyol kapan saja. Aku tidak bisa lebih mellow lagi dari hari itu.
Sebenarnya dua orang itu bukannya asing sama sekali. Salah satunya adalah kepala kantorku. Satunya lagi seorang kepala seksi.
Aku bersyukur ditemani seorang teman satu seksiku. Dia lebih muda beberapa bulan dariku namun jauh lebih dewasa. Dia yang mendengarkan dengan seksama percakapan kedua orang itu, menertawai lelucon mereka seolah-olah itu sangat lucu. Dia juga yang bercerita tentang ayam-ayam hutan atau rusa-rusa yang dipelihara ayahnya di Bima sementara aku jatuh tertidur. Ketika aku dipaksa menyembelih seekor ayam karena aku seorang muslim, dia juga yang menggantikan posisiku. Dengan kebijaksanaannya dia menghiburku di tengah perjalanan dengan mengatakan bahwa ini semua tidaklah terlalu buruk. Aku berhutang banyak padanya hari itu .
Ketika mata terbuka kulihat selembar gambaran mimpi yang lain. Dua buah rumah dengan kebun sayur mayur di halaman depan, sepetak kandang di halaman belakang yang dipenuhi babi-babi gendut dan kotor, sisanya hanyalah hamparan ladang jagung yang keemasan oleh sinar matahari. Ayam-ayam berlarian di antara anak-anak yang bermain. Kita sampai juga di rumah salah satu kepala seksi yang lain itu, disuguhi jagung rebus dengan secangkir kopi. Sesederhana kebahagiaan itu sendiri. Sembari menunggu ayam dimasak, kita beranjak ke pantai.


Dalam perjalanan kembali ke Ruteng kita mengunjungi Ulumbu untuk mandi air panas. Jalan menuju tempat itu rusak berat sehingga mobil terpaksa diparkir di puncak bukit. Kita harus menuruni separo bukit itu untuk sampai ke tempatnya Kita berjalan bersama dan saling mendengar tarikan nafas satu sama lain. Kepala kantorku bercerita bahwa dia tahan sekali berjalan, bahwa di masa lalunya dia tidak bisa dilawan. Dia juga melempar tebak-tebakan tentang apa saja nama pepohonan yang kita lewati bersama. Aku tak bisa berhenti memandang ke luar bukit, hanya kabut putih yang mengelilingi kita.

Aku menelepon kakak perempuanku yang tengah mempersiapkan persalinannya di sebuah rumah sakit di Salatiga sebelum akhirnya terputus karena kehilangan sinyal. Ternyata tempatnya lumayan jauh dan kita kelelahan sendiri. Kita akan mendengar suara berisik di tempat itu; suara pembangkit listrik tenaga panas bumi. Tempatnya berupa bukit-bukit warna merah yang dipenuhi asap belerang. Bau kentut dimana-mana jadi tak perlu menuduh siapa-siapa. Aku sudah membayangkan akan ada sebuah kolam air panas dimana aku bisa berendam di dalamnya namun yang ada hanyalah sebuah pancuran dimana kita harus mandi bergantian. Rasanya panas sekali waktu pertama kali. Setelah itu terasa nikmat di punggung kita.

Ketika hendak kembali ke mobil sudah terbayang betapa jauh tempat parkirnya. Kemudian hujan membuat tindakan mencapai mobil jadi sebuah kemenangan kecil yang harus kita raih.

***
Dalam perjalanan pulang aku hanya diam saja sementara kepala kantor, kasi, dan temanku membicarakan hal yang lain lagi saat itu. Seperti kata temanku, perjalanan ini memang tidak terlalu buruk. Hari itu aku sudah menggrogoti sebatang jagung rebus yang empuk, hampir menyembelih seekor ayam untuk hidangan makan siang, menyusuri suatu pantai di pulau tempat aku hidup sekarang, mandi di sebuah pancuran air panas di suatu lembah antah-berantah yang masih saja mempesonaku sampai hari ini, dan basah kuyup karena hujan. Aku juga sudah mencium semua aroma alam, dari aroma laut hingga bau kentut belerang. Aku bersyukur jadi bagian dari perjalanan itu. Sebuah akhir minggu yang sangat berkesan. Bahwa aku hanya membawa separo hatiku, itu tak jadi soal, pada kenyataannya aku masih bisa merasa bahagia. Belajar dari temanku, mulai saat itu aku hanya ingin menjadi orang yang lebih tulus lagi. Aku ingin menguasai semua pengetahuan untuk membuat semua orang bahagia. Baik itu tentang ayam hutan ataupun tentang jenis-jenis pepohonan. Aku memang takut menjadi tua dan membosankan, namun aku akan lebih takut lagi jika nanti hanya terdiam di hadapan calon bapak mertua. Aku bertekad akan lebih sering lagi membaca koran atau menonton berita di televisi agar suatu hari nanti, dengan gagah berani bisa mengatakan di hadapan calon bapak mertuaku, "Keadaan politik di negeri ini sungguh kacau dan mengerikan, untuk itu ijinkan saya membawa putri Anda ke dalam hidup saya, dimana hanya ada politik cinta di dalamnya."
***
Pada hari berikutnya aku terserang flu. Ketika makan siang dengan semangkuk soto di warung sebelah kontrakan, kakak perempuanku mengirimi sebuah pesan gambar.

Aku jadi seorang paman sekarang. Aku flu hari itu namun bahagia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar