Minggu, 10 Oktober 2010

Celana Dalam Favorit

Ini tentang perasaan terkalahkan seperti ditolak seorang perempuan. Lalu hujan turun dan aku mencoba menghentikannya dengan doa. Dapatkah hujan menghapuskan kemiskinan? Hujan hanya jadi membuatku sedih.
***

Dulu aku sering berlari menyusuri trotoar kenangan terburu-buru menuju SMA-ku. Lalu gerbang sekolah ditutup di hadapan kita. Kehampaan masa muda jadi menyelimuti kita. Aku ingin menari balet di hadapan semua orang biar mereka tahu kalau aku mengagumkan. Kalau masa mudaku menggairahkan, tidak seperti hidup mereka yang membosankan. Beranjak dari motif tegel trotoar yang berbentuk segi lima itu menuju masa depan yang tak terbatas. Aku jadi ingin berteriak sekuatnya. Lalu terbang.

Aku anak muda yang membaca buku filsafat di masa SMA. Jenis yang berkaca mata, dengan jerawat, dan sebut saja cupu. Mungkin aku termasuk si kutu buku absurd itu yang lama-lama kelihatan seksi. Yang percaya dengan memahami kehidupan akan membuatku mendapatkan cewek paling keren se-SMA. Lalu bertapa dengan buku-buku dan berharap bertransformasi jadi sesosok cowok korea yang imut yang digandrungi cewek-cewek labil.

Ini hanya kilasan kenangan tentang idealisme. Aku hanya ingin menuju tempatku sekarang. Berdoa dengan keimanan seorang ulama. Surga ada di kehidupan berikutnya, kawan. Dunia ini dipenuhi bau amis kemiskinan dan kita jadi mengutuk kapitalisme namun tetap saja memborong semua hal di mall-mall dengan keimanan seorang pendeta sambil mendorong troli belanja dengan khusyuk seperti menyusuri gereja.

Aku melihat rumah-rumah kayu sederhana di Ruteng ini, anak-anak sekolah yang harus berjalan jauh untuk sekolah, pemuda-pemuda pengangguran yang bermimpi menikah, dengan kepahitan dan kemelengosan, bertanya kenapa semua uang di dunia ini hanya jadi milik segelintir orang. Aku membawa idelisme konyol ini seperti celana dalam favorit. Aku rajin mencucinya untuk aku pakai lagi. Aku jadi merasa seksi.

Aku akan jadi filsuf kali ini. Anggap aku membosankan. Kita pikir kita membenci kemiskinan namun jauh dalam hati kita hanya cemas terjerumus ke dalam lumpur itu, lalu karena kita tak cukup kaya kita mengutuk kapitalisme seperti nenek-nenek, diam-diam kita memendam rasa iri pada orang kaya, dan berandai dengan putus asa kalau kita seperti mereka pasti akan hidup bahagia. Paling tidak aku begitu. Aku ingin mengalahkan sistem itu namun aku tak punya jalan keluar. Aku hanya anak SMA yang berlari menyusuri trotoar mimpi suatu kali dan mendapati gerbang sekolah itu telah ditutup sekali lagi. Bahwa hidup tidak melulu idealisme, karena surga sudah menanti di kehidupan berikutnya.
***

Selang tak lama setelah hujan itu reda kabut perlahan menutupi kota. Aku jadi merasa agak lega, selain karena kabut menyamarkan kemiskinan daerah ini yang sendu, aku jadi teringat bahwa hari itu aku sedang memakai celana dalam favoritku. Aku jadi merasa seksi.




5 komentar:

  1. gak menarik....
    gak punya tema...
    garing dan mengada-ada...
    gak terfokus...

    dan terakhir...
    pitch kontrolnya mlempem...
    oiya..satu lagi...
    foto yg terakhir itu lebih baik dihilangkan..
    makin merusak suasana

    *komen pedassss cabe rawit SIMON COWELL
    huahahaha...
    peace...
    lanjut bok!!!

    BalasHapus
  2. @dikjok: lucu kah, adek? py mu ping polkadot ungu y?noraaaaaaak!!!
    @andik : terima kasih telah begitu jujur, tajam, mengupas karya saiyah!!!(asyem tak balang raimu, pisss). Makasih yah atas masupannyah...

    BalasHapus
  3. tadinya aku berpikir fotonya adalah kau dan celana dalam favoritmu.. :P

    ayo dong ganti fotonya (loh?)hahahaha...

    BalasHapus
  4. @eltiiii: kwaaaaaaaa elti g nyangko kau begono
    Sebenarny emg rencanany mo pasang foto itu (udah foto puol2an pake hape) tp nanti dikira maho, el
    sori y...
    santai, el, tp nanti aq kirimi aja
    langsung dari hape aku XD

    BalasHapus