Terbangun dari sebuah mimpi yang menyedihkan aku melanjutkan
hidupku yang seorang diri, tanpamu, tersenyum pahit sambil memandang ke luar
jendela pada bukit-bukit merah, pada terik yang membakar di atasnya.
Mengharapkan simpati dari penumpang sebelah, aku bertanya, “Udaipur masih
jauh?” Lelaki berpenutup sorban itu
tampak bingung, yang semula kupikir hanya karena tidak berbahasa Inggris, dia
mencari bantuan penumpang lain yang mengungkapkan rasa simpatinya bahwa aku
seharusnya turun pagi buta tadi ketika bis itu berhenti untuk istirahat makan.
Sekarang matahari mulai meninggi dan bis ini terus melaju melewati kota-kota
asing menuju sebuah kota asing. Aku hampir bersedia dibawa ke mana saja hingga bis
ini berhenti, berharap menemukanmu di sana, namun aku hanya punya sedikit waktu
dan lebih banyak mimpi tentangmu. Memikul backpack-ku
aku berjalan ke arah sopir untuk diturunkan di sebuah persimpangan jalan yang berdebu
dan sepi kemudian naik bis ke arah sebaliknya.
Sesampainya di kota ini aku langsung menuju stasiun kereta
untuk memesan tiket ke Delhi malam nanti,
namun aku terlalu naïf menemukan bahwa tiketnya habis, masih asing dengan
sistem pembelian tiketnya. Pada akhirnya aku harus bermalam di kota ini (lagi pula aku belum mandi dua hari karena selalu dalam perjalanan), menyusuri
gang-gang sempit di sekitar danau yang bau, dan menghampiri sopir riksaw yang
membawaku ke istana di puncak bukit dimana aku bisa melihat seluruh kota dari
atas sana. Pada malam harinya aku mengunjungi mall di bagian modern dari kota
ini. Memesan burger di sebuah waralaba karena bosan dengan rempah-rempah negeri
ini yang terlalu kuat namun sia-sia karena semua hal telah dibumbui kuat-kuat
seolah pernikahan yang dipaksakan dan aku hanya bisa beradaptasi. Aku melanjutkan
menonton film dalam bahasa hindi yang secara mengejutkan tidak terdapat adegan
menari dan menyanyi namun aku jatuh tertidur karena tidak mampu mengikuti jalan
ceritanya.
Keesokan hari aku berjalan di sekitar penginapan dan
membawaku pada gerbang sebuah istana
yang juga merupakan sebuah museum yang memamerkan kacamata yang dipakai pemeran
Mahatma Gandhi dalam film Gandhi, aku sendiri tak tahu harus bereaksi seperti
apa melihat kaca mata bulat itu. Namun itulah yang seorang pelancong lakukan,
menyusuri museum suatu kota tanpa berusaha untuk terlalu serius karena hidup
sudah cukup serius kemudian melupakan kenangan-kenangan itu seperti melupakan
masa lalu. Bersyukur dari museum yang sama juga aku dapat membeli tiket untuk
mengelilingi danau, mengagumi istana
putih yang berdiri anggun diantara air
danau yang berkilauan, meratapi bagian kota yang kotor dan tua, dan menatap
perbukitan di kejauhan bertanya-tanya di sebelah mana istana yang kukunjungi
kemarin berada.
Seperti pengelana yang putus asa, akan cinta, akan hidup
yang dingin, aku sudah berada di peron stasiun kereta sorenya, menunggu dengan
bingung kereta yang akan membawaku ke Delhi. Aku membeli tiket dari biro
perjalanan di dekat penginapan sebelum membeli dua helai sari dari sebuah toko
yang dipenuhi wanita lokal berbalut sari hingga aku bisa melihat perut
mereka, besar atau kecil, hanya karena dua kata yang terpampang di depan
toko: fixed price. Di kereta aku
bercakap-cakap dengan seorang mahasiswa arsitektur yang tampak antusias melihat
orang asing, kecewa mendapati dia tidak pernah mendengar tentang Pulau Bali
atau komodo dragon, dan terkejut mengetahui
bahwa mata uang India disebut juga rupiah.
Dia turun di kota yang cukup dekat kemudian digantikan oleh penumpang
perjalanan malam sepertiku. Tiketku sleeper
class, aku membayangkan akan bisa tidur selonjoran namun kenyataannya hanya
duduk berjejer dan berhadapan, dengan
satu pasangan suami-istri yang berumur
yang hanya tersenyum melihatku dan satu pasang lagi yang lebih muda dan berbahasa
Inggris. Yang muda adalah pasangan yang rupawan, sama-sama berhidung mancung
dan berkulit cokelat yang tidak terlalu gelap. Diam-diam aku menyimpan rasa
kagum yang bercampur iri pada mereka. Di saat makan malam pasangan muda itu makan dari satu bungkus yang sama dengan tangan telanjang, menawariku dengan sopan,
kemudian saling berbicara tentang kehidupan mereka yang intim. Aku melihat romantisme itu
seolah-olah mereka berciuman di hadapanku. Sementara di saat jam tidur sang suami pasangan tua
mengungkapkan apa arti sleeper class
kepadaku dengan cekatan dia menaikkan sandaran tempat duduk kami sehingga
menjadi tempat tidur kedua di antara tempat tidur atas dan bawah, kemudian
menyiapkan tempat tidur tersebut untuk sang isteri dimana dia membantunya naik
ke atasnya. Aku melihatnya seolah-olah mereka bercinta di hadapanku. Sementara aku meringkuk di tempat tidur
paling bawah, dengan hati yang seorang diri, berusaha memejamkan mata dan
membayangkan bagaimana rupa wajah cantikmu dan lekuk senyum manismu, merasakan
getaran kereta yang menembus malam yang dingin dan panjang, tak menyadari bahwa
kota yang akan dituju begitu besar dan aku akan berkerumun bersama jutaan orang
lain, merasa begitu kecil dan tak berarti, dan merasa sungguh-sungguh tersesat tanpamu.
Amazing mas..;(
BalasHapusI feel you bro...
BalasHapuswah, ini ceritanya kurang panjang... yg kamu ceritakan ke aku sampai ngakak2 itu belum semuanya tersirat disini.. ayo tambahi lagi Sur hehe