Selasa, 30 November 2010

Mempelajari Perempuan

Aku tidak tidur pada sabtu malam, bukan karena memikirkan cinta, atau insomnia, aku menonton serial korea. Sehingga pada keesokan harinya aku bisa sholat subuh di masjid. Aku mengenakan sweater-ku menyambut hawa dingin di luar, berjalan di atas rerumputan yang berembun, dan tertatih menyembahMu. Aku bertanya-tanya apa aku sungguh-sungguh tulus dengan semua ritual itu. 

Sejak SMA aku mulai membatasi doaku sehabis sholat, aku tidak ingin terdengar berlebihan di hadapanMu namun fajar itu aku berdoa secara khusus untuk ibu karena hari itu ulang tahunnya. Setelah sholat aku menelpon ibu untuk mengucapkan selamat. Aku sempat merasa malu menelpon di jam sedini itu, apalagi dengan perbedaan waktu Ruteng-Salatiga dimana tempatku  satu jam lebih cepat. Pada kenyataannya ibu belum bangun tidur, dan hal itu membuatku makin merasa tidak enak. Walaupun dia menjawab tidak apa apa atas pertanyaan masih-tidurkah-ku, malahan mengeluhkan diri sendiri mengapa akhir-akhir ini dia malas bangun untuk sholat tahajud, dia bingung merespon ucapan selamatku, seolah-olah aku lelaki yang ditaksirnya yang baru saja mengucapkan kalimat-kalimat cinta. Dia berterima kasih padaku lalu bercerita bahwa dia sedang flu padahal sehari sebelumnya dia ikut acara bekam massal. Aku bersimpati pada flu yang menyerang di hari ulang tahunnya. Ibu semakin tua dan aku jadi takut kehilangan dia. Aku jadi terkenang masa-masa sehabis subuh-ku di rumah dimana ibu sering memaksaku menonton acara siraman rohani di televisi. Sebelum aku duduk di bangku kuliah acara semacam itu jadi acara yang wajib ditonton. Ibu menontonnya sambil memotong sayuran atau bumbu-bumbu yang akan dimasak untuk menu sarapan.

Karena hari itu hari Minggu jadi sah-sah saja aku lalu tidur seharian. Aku sudah mencuci baju pada hari Sabtu, mengucapkan selamat ulang tahun untuk ibu di awal hari, tak ada alasan lagi untuk tidak tidur nyenyak. Aku tidur hingga melewatkan telepon kakak perempuanku.

***

Aku baru menelpon kakak pada keesokan harinya. Dia bertanya apa aku sudah memberi ibu ucapan selamat ulang tahun kemarin. Apa aku tahu kalau ibu terserang flu. Sekarang kakak sedang asyik mengurus bayinya. Dia sering menceritakan perkembangan anaknya yang baru berusia beberapa bulan, bahwa sekarang keponakanku sudah bisa miring, semakin sering memasukkan jemarinya ke mulut, atau kulitnya kemerahan karena biang keringat. Aku mendengarkan semuanya dengan antusiasme seorang ayah, bahwa aku membayangkan betapa luar biasanya perasaan itu. Di telepon dia sering mengajak ngobrol anaknya bahwa Om sedang menelpon sekarang. Lalu aku akan mendengar suara keponakanku yang menggumam tidak jelas dan hal itu membuatku tertawa.

Ibu dan kakak perempuanku adalah dua wanita yang paling dekat denganku. Dari mereka aku belajar bagaimana cara memperlakukan seorang wanita. Bagaimana mereka bisa terluka atau jadi sangat peyayang. Minimnya pengalamanku dengan seorang wanita sering jadi bahan olokan teman satu kontrakan. Bahwa aku terlalu bodoh menyia-nyiakan masa mudaku dengan pasif dalam memburu wanita. Ada seorang teman yang bercerita bahwa dia tak pernah mandeg dalam mendapatkan pasangan, bahwa jeda paling singkatnya sebagai jomblo tidak kurang dari satu bulan. Teman yang lain menunjukkan foto bersama sang mantan dan aku mengancamnya akan melaporkan hal itu pada pacarnya sekarang. Yang lain lagi memaparkan teori psikologi mereka tentang perempuan; romantisme, perhatian, atau sensitivitas. Bahwa mereka hanya menunjukkan prestasi mereka sebagai seorang lelaki, bahwa mereka memiliki masa muda yang penuh warna, kenyataan itu membuatku merasa rendah diri. Kemudian aku akan terus menjalani hari demi hari sepiku, merindukan cinta, aku akan belajar tentang wanita dari serial korea yang kutonton hingga bergadang, teman-teman satu kontrakan yang hobi mengolok-olokku, bahkan jika akhirnya aku menemukan seorang wanita yang lebih bawel dari ibuku, lebih cerewet dari kakak perempuanku, aku akan menahan rasa frustasiku, sepanjang aku sungguh-sungguh cinta.




Rabu, 17 November 2010

Kurban Perasaan

Lebaran kurban tahun keduaku di Ruteng, kali ini aku tidak datang paling akhir ke masjid untuk sholat, tidak lagi sholat di jalan raya luar masjid yang telah ditutup, namun di halaman masjidnya yang sekaligus merupakan lapangan voli. Kambing-kambing diikat pada pepohonan di halaman rumput. Anak-anak mengelilingi mereka, mempermainkan tanduk salah seekor kambing jantan yang jinak, merasa bangga dan  terlihat bodoh. Aku tak akan melakukan hal semacam itu bahkan di masa kanak-kanak paling nakalku. Ada seorang gadis kecil berkerudung yang melakukan hal yang sama pada kambing yang lain. Sialnya tidak semua kambing bersahabat seperti dalam dongeng dunia taman kanak-kanak, kambing itu memberontak dan membuat gadis itu menangis. Kasihan sekali, walaupun aku lebih merasa itu lucu, aku berharap semoga gadis itu tidak mengalami trauma jangka panjang.

Tahun ini aku tidak ikut berkurban. Tabunganku tipis. Tapi alasan utama yang menjadi pembelaanku, yang kuutarakan di hadapan ibu lewat telpon tadi subuh adalah aku mengalokasikan uang kurbanku untuk donasi bencana yang sedang melanda negeri ini. Entah apa itu alasan yang masuk akal atau tidak, ibu hanya berkata tidak jadi soal. Dia bercerita beberapa hari yang lalu dia menjadi relawan di Magelang untuk korban bencana letusan gunung. Dari tunjangan kerjanya pun sudah dipotong untuk donasi semacam itu. Di perkumpulan para guru ada juga bentuk donasi yang serupa. Dia melakukan semua hal itu dan tetap berkurban. Aku hanya merasa iri saat dia menceritakan semua hal itu dan sedikit merasa bersalah. Diam-diam aku mengagumi ibuku sendiri yang walaupun aku membenci cara berfikirnya yang kolot dan cenderung konservatif, dia melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh nyata dan berguna. Sedangkan aku di sini hanya menghitung tabunganku apa akan cukup untuk aku membangun rumah dan menikah, merasa mematikan lampu sudah akan membantu dunia, seperti halnya menghemat air ataupun kertas di kantorku.

Hari ini aku hanya main PES 2011, bukannya membantu memotong daging kurban di masjid, kalah berkali-kali dan menjadi bahan olokan. Rambutku dipotong salah seorang teman kontrakanku dengan gaya alay--gaya yang tak pernah kupakai hampir selama 22 tahun hidupku dimana aku biasa rapi dan membosankan. Lalu tanpa keramas, menjalani sisa hari dengan kealayan. Tidur sampai sore lalu terbangun dan merasa tak berguna. Setelah itu mencuci motor dan pergi ke toko swalayan sendirian dengan rambut alay itu, memilih sepatu kerja seorang diri, dan membelinya tanpa pikir panjang. Lalu memborong makanan ringan yang membuatku merasa bersalah telah menghamburkan uang. Di kontrakan, teman-teman memasak daging sapi yang dibagikan mesjid menjadi dua macam masakan; gulai dan oseng kacang panjang. Melihat bagaimana mereka menangani daging sapi mentah itu menjadi sedemikian rupa, membuatku kembali merasa inkompeten. Aku hanya makan makanan ringanku di kamar lalu memikirkan cinta yang tak kunjung datang, atau bagaimana untuk kesekian kalinya aku melewatkan cinta, aku merasa pipiku semakin cabi dan hal itu membuatku ketakutan setengah mati. Aku hanya bisa menyimpulkan hari itu, walaupun aku tidak ikut berkurban kambing seperti ibuku, aku sudah berkurban hati dan perasaanku habis-habisan.

Rabu, 10 November 2010

Doa Cepet Jodoh

Dengan sepeda motor kotorku, dari kantor aku meluncur ke sebuah ATM, seharusnya aku mencuci motor itu dari dulu. Langit telah gelap, Maghrib lewat, aku merasa bersalah sendiri belum sholat. Berhati-hati melihat sekitar, Ruteng malam hari adalah keremangan yang membawaku pada kesendirian. Di pinggir jalan masih saja dijual bensin dalam botol-botol air mineral. Aku jadi teringat tangki bensin motorku yang hampir kosong. ATM menyambutku dengan suara mesinnya yang telah diprogram, hal semacam itu sedikit menghiburku. Lampu dalam ruangan ATM itu redup sekali, ketika melihat layar handphone untuk melihat nomor rekening dimana aku akan mentransfer uangku, aku merasa kesulitan. Aku mulai terbiasa belanja online sekarang--sesuatu yang tak terbayangkan bahwa hidup jadi lebih mudah sekarang namun aku jadi kelebihan waktu dan hal itu jadi membuatku lebih sering mengingatmu. ATM itu dalam komplek sebuah bank, meninggalkan komplek bank itu aku jadi teringat pegawai-pegawai bank yang biasanya cantik. Aku memikirkan bagaimana seandainya aku jatuh cinta pada mereka.

Cahaya lampu motorku berwarna oranye, aku merasa cahaya itu tidak terlalu membantu. Aku pelan-pelan menyusuri jalanan Ruteng dan jadi berfikir bahwa jauh  dalam hati aku cukup konservatif dalam menjalani hidup; memimpikan menikah, memiliki anak, menabung, dan  tak terpikir untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Aku melihat lampu papan reklame yang benderang. Lampu-lampu berbentuk huruf yang merupakan nama sebuah toko. Melintasi warung makan yang menyajikan masakan mereka di balik kaca sehingga kita bisa melihat ikan-ikan yang terpejam, telur-telur yang ditumpuk, atau mi goreng yang menggunung. Hampir lupa, akhirnya aku membeli bensin eceran dari seorang pemuda yang tak bisa kulihat dengan jelas wajahnya karena gelap. Sampai di kontrakan aku hanya merasa lega, tersebersit dalam pikiranku untuk berlari sekuatnya ke arah patung Yesus atau siapalah itu yang mengarahkan telunjuknya ke arah bandara. Aku hanya sedang romantis, berlari sekuatnya menujumu. Melintasi kantor-kantor daerah yang tutup, lapangan kosong tempat dimana pernah disinggahi rombongan pasar malam yang dipenuhi anak-anak, dan lapangan yang lebih sempit tempat kami bermain bola di sore hari. Akhir-akhir ini aku merindukanmu. Aku berharap kamu menyambutku, menyelamatkanku dari kesendirianku yang beku. Dengan sabar mengajariku bahwa cinta itu adalah hal yang benar-benar eksis, bukan hanya romantisme semu. Aku merindukanmu dan gemetaran dalam naungan langit Ruteng yang kelam malam itu.

Di kontrakan aku segera menunaikan sholat Maghrib dan mengaji. Sudah lama sekali aku tidak mengaji. Aku berdoa semoga kita cepat bertemu. Ketika adzan Isya' berkumandang aku memutuskan untuk sholat di masjid, sudah jarang sekali aku sholat bersama di masjid, aku merasa akhir-akhir ini jadi kurang religius. Melihat gapura masjid, menyusuri rerumputan basah di halamannya, dan pada akhirnya memasuki ruangan masjidnya yang megah, mendengar ayat-ayat Tuhan dilafalkan, aku jadi agak terhibur. Ternyata aku masih punya Tuhan yang menghiburku. Sehabis sholat aku akan berdoa lagi pada Dia agar kita cepat bertemu.




Minggu, 07 November 2010

Melankolis Romantis

Seandainya aku punya kisah untuk diceritakan, aku akan menceritakannya kepadamu. Kamu akan menatap wajahku yang malu. Terpesona dengan ceritaku dan menganggapku lucu atau menarik. Seandainya aku menjadi semua yang kamu impikan dari seorang lelaki. Aku akan menikahimu.

Namun satu-satunya cerita yang kumiliki hanyalah cerita kesenduan. Aku tak ubahnya seekor anak kucing yang terlantar. 

Aku akan berusaha meyakinkanmu bahwa aku lelaki yang baik, setia, dan pekerja keras. Namun aku takut kamu berfikir bahwa aku membosankan. Bahwa hidupmu akan jadi tidak menarik jika kelak menjadi istriku. Lalu aku akan merasa kedinginan lagi.

Aku bertanya-tanya harus berapa lamakah, memutari jalan sejauh apakah, menyingkirkan rintangan seberapa banyakkah untuk sampai ke tempatmu? Berdiam di hatimu yang cantik? Aku lewati malam-malam yang panjang dan dingin. Hari-hari kerja yang hampa dan datar. Aku menderita karenamu.

Kamu menghancurkanku. Kamu membuatku sekarat.

Kenapa kita tak bisa langsung saja bertemu, langsung saja jatuh cinta pada pandangan pertama, langsung saja meyakini satu sama lain bahwa kita akan menghabiskan sisa hidup kita bersama? Kenapa harus serumit ini?

Cinta, aku tahu aku tak bisa menyerah, bahwa perjuangan untuk mendapatkanmu mungkin berliku dan tak mudah, bahwa aku akan melewatkan bahkan seribu tahun lagi, namun untuk sesuatu yang sangat berharga dan indah, untuk sesuatu yang membuat hidupku pantas untuk dijalani, aku akan lebih banyak belajar lagi, berusaha lagi, bersabar lagi, berdoa lagi.....

Senin, 01 November 2010

Menulis Kesenduan

Ada saat-saat dimana aku berfikir dan bertanya kepada diriku sediri mengapa aku terus-menerus menulis seperti ini. Aku selalu berusaha menggambarkan suasana sendu seolah-olah langit selalu kelabu. Seolah-olah hal semacam itu menarik untuk dituliskan lalu terkadang menulis tentang cinta dengan romantisme murahan. Tentu pembaca--yang merupakan lingkaran teman facebookku--punya penafsirannya sendiri; aku cowok kesepian, menyedihkan, atau hanya menunjukkan bakat menulisnya yang payah. Prasangka itulah yang menghantui pikiranku. Terkadang aku ingin menyingkirkan prasangka itu dan mengesampingkan kecemasan akan motivasi diri yang kurang tulus maupun penilaian-penilaian miring yang membuatku menulis dalam keraguan. Aku seperti pelukis yang tertatih menyapu kuasnya di atas selembar kanvas terbuka.

Kesenduan yang kurasakan dalam hawa dingin di Ruteng ini atau dalam masakan yang kumakan sehari-hari, di tempat dimana aku tidur, di dinding-dinding bisu rumah-rumah, atau di dalam bangunan masjid yang lengang muncul bukan karena ada yang salah dengan kota ini. Tentu saja hal semacam itu tumbuh dari dalam diri. Bahwa aku kurang optimis dalam memandang hidup. Bahwa ada gambaran yang lebih sempurna dalam benakku. Aku sedang bergelut dengan idealismeku sendiri.

Cinta dan kapitalisme adalah tema besarku. Aku hanya ikan kecil yang terseret arus.

Kesenduan yang menarik perhatianku mungkin salah satunya berasal dari kesendirian. Aku berfikir jikalau aku telah beristri dan memiliki beberapa anak mungkin aku akan lebih bersemangat dalam menjalani hidup; bekerja lebih keras dan merencanakan keuangan dan sebagainya. Satu hal lagi sumber kesenduanku mungkin berasal dari kemiskinan daerah tempat aku bekerja. Di masa aku menulis hal ini provinsi Nusa Tenggara Timur cukup terkenal dengan kasus gizi buruk dan tingkat kelulusan yang mengenaskan. Walaupun aku tahu bahwa warga di sini bisa hidup bahagia dengan keadaan mereka, masih bisa saling mencintai dan bercanda, namun citra ketidakadilan yang selalu digemborkan media dengan cara dramatis bagaimanapun juga mengusikku. Aku hanya terusik kemudian merasa sendu kemudian menuliskan hal itu dalam sebuah blog. Sendu sendiri dengan perasaan tak berdaya.

Aku akan menikmati kopi pagiku. Tersenyum kepada orang-orang yang datang ke kantor pajak tempat aku bekerja. Aku akan menjalani hariku. Berhemat untuk masa depanku. Tidur dengan mimpi-mimpi indah. Kesenduan pada akhirnya mengajarkanku tentang optimisme. Cahaya yang terang benderang. Angin segar yang menerpa wajah mengantukku.

Pertanyaan mendasar yang seharusnya diajukan bukannya mengapa aku menulis tentang kesenduan namun mengapa aku masih saja keras kepala untuk menulis seolah-olah tulisanku ini akan dibaca jutaan orang. Satu hal yang kusadari seiring bertambahnya usia adalah aku ingin sekali menjadi seorang penulis dan berusaha mewujudkan hal itu walaupun aku akan menyesal di masa tuaku nanti karena mendapati diri ternyata aku gagal, paling tidak dengan terus menulis seperti ini, walaupun hanya dibaca oleh lingkaran teman facebookku, aku telah berusaha menerangi ruang gelap kesenduan dalam hatiku.